Liputan6.com, Sumba - Berada di ujung selatan Sumba, Desa Ratenggaro menjadi sebuah desa adat yang masih memegang erat tradisi peninggalan para leluhur. Rumah adat di desa ini tak hanya berfungsi sebagai tempat tinggal, tetapi juga sebagai sarana pemujaan.
Desa Adat Ratenggaro tepatnya berlokasi di Desa Maliti Bondo Ate, Kecamatan Kodi Bangedo, Kabupaten Sumba Barat Daya. Desa ini berada persis di muara Sungai Wai Ha dan bersebelahan dengan Kampung Adat Wainyapu.
Mengutip dari indonesia.go.id, masyarakat setempat menganggap pemujaan kepada leluhur merupakan bagian utama dari kepercayaan mereka, yakni Marapu. Kepercayaan ini juga dianut oleh sebagian masyarakat di Pulau Sumba.
Advertisement
Baca Juga
Hal tersebut tampak dari tempat tinggal yang berbentuk rumah panggung dengan atap menara yang menjulang tinggi. Menara pada rumah adat Ratenggaro adalah yang tertinggi di antara rumah adat lain di seluruh Pulau Sumba, yakni mencapai 15-30 meter.
Menara ini melambangkan status sosial sekaligus merupakan simbol penghormatan terhadap arwah para leluhur. Oleh sebab itu, rumah bagi masyarakat Desa Ratenggaro tak hanya berfungsi sebagai tempat hunian, tetapi juga sebagai sarana pemujaan.
Pada masa sebelum 1964, Desa Adat Ratenggaro pernah tiga kali nyaris musnah terbakar api. Kebakaran yang dipicu oleh persaingan antardesa ini konon membakar seluruh rumah di kampung tersebut.
Pada tahun yang sama, peristiwa kebakaran terulang kembali. Tragedi ini terjadi ketika warga kampung sedang menggelar pesta adat pada malam hari.
Seperti perisitiwa kebakaran sebelumnya, api telah melahap habis rumah para penduduk. Hal ini menyebabkan para penduduk terpaksa mengungsi ke luar kampung.
Kebakaran untuk Ketiga Kalinya
Selanjutnya pada 2004, terjadi kebakaran untuk ketiga kalinya. Mirisnya, kebakaran terjadi ketika perkampungan baru separuh dibangun ulang. Akibatnya, sebanyak 13 rumah ludes terbakar.
Bagi masyarakat setempat, mendirikan rumah adat merupakan pekerjaan besar. Tak hanya melibatkan penduduk kampung, pembangunan rumah juga berkaitan dengan restu para leluhur.
Mereka kemudian melakukan ritual adat yang dipimpin oleh tetua desa untuk mendapatkan petunjuk membangun rumah. Kaitannya adalah tentang izin leluhur yang memperbolehkan masyarakat membangun rumah atau tidak. Jika disetujui, ada rangkaian upacara lain yang harus dilaksanakan selama proses pembangunan rumah.
Akhirnya, rumah utama di Desa Ratenggaro yaitu Uma Katoda Kataku telah selesai dibangun pada 2011. Rumah tersebut menjadi simbolisasi ayah atau dituakan. Selain Uma Katoda Kataku, di desa ini juga masih terdapat beberapa bangunan lain yang dihormati, seperti Uma Kalama (simbolisasi ibu) dan Uma Katoda Kuridan Uma Katoda Amahu (sebagai simbolisasi saudara ayah dan ibu).
Posisi rumah ini saling berhadapan, mewakili empat penjuru mata angin. Secara umum, rumah adat Ratenggaro berbentuk rumah panggung yang terdiri dari empat tingkat.
Tingkat pertama diperuntukkan bagi hewan peliharaan warga, sedangkan tingkat berikutnya merupakan tempat tinggal pemilik rumah. Selanjutnya tingkat keempat untuk menyimpan hasil panen dan tingkat paling atas berfungsi sebagai tempat memasak.
Tipikal rumah adat di Desa Ratenggaro hampir sama seperti di Flores dan Toraja. Terdapat rahang babi hutan lengkap dengan taringnya serta adanya tanduk kerbau yang digantung di dalam atau pekarangan rumah. Bukan sebagai hiasan, melainkan sebagai simbol bahwa pemilik rumah pernah melaksanakan upacara adat.
Selain keunikan rumah adat, desa ini juga memiliki ratusan kubur batu atau menhir berusia ribuan tahun yang menjadi daya tarik tersendiri. Bahkan, desa ini juga dihiasi kawasan pantai yang tak kalah cantik.
Penulis: Resla Aknaita Chak
Advertisement