Mahasiswa UGM Teliti Kualitas Air Sumur di Kota Yogyakarta, Hasilnya?

  Lebih dari 90% masyarakat Kota Yogyakarta menggunakan air tanah (sumur). Tapi penelitian kualitas air sumur di Kota Yogyakarta ini menemukan adanya cemaran bakteri Escherichia coli. 

oleh Yanuar H diperbarui 25 Jul 2024, 08:00 WIB
Diterbitkan 25 Jul 2024, 08:00 WIB
FOTO: Sumur Timba Masih Jadi Sumber Air Warga Pinggiran Ibu Kota
Warga menggunakan sumur timba untuk keperluan mandi, cuci, dan kakus (MCK) di kawasan Sukapura, Cilincing, Jakarta, Senin (22/3/2021). Sumur timba menjadi sumber air utama untuk keperluan MCK walau jaringan pompa listrik dan PAM sudah tersedia. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Liputan6.com, Yogyakarta - Sejumlah penelitian menemukan adanya cemaran bakteri Escherichia coli  di air sumur di Kota Yogyakarta  yang dapat menyebabkan diare dan memengaruhi stunting dalam jangka panjang. Penyebab munculnya cemaran E. coli di sumur warga itu salah satunya karena pembuatan atau pengeboran sumur yang kurang tepat.

 Adelvin Pradana Putra Mujiono, mahasiswa Program Studi Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) UGM angkatan 2022, Parahita Janu Arundati (Ilmu Ekonomi 2022), Syafina Kinaya Amelia (Hukum 2022), Meidita Farah Widodo (Teknik Infrastruktur Lingkungan 2022), dan Sabri Indrajati (Sosiologi 2022) melakukan penelitian terhadap fenomena tersebut, khususnya di wilayah Kemantren Kotagede yang merupakan daerah wisata dan budaya Yogyakarta.

“Sebagian besar (58,3%) jarak septic tank dengan sumur yang ada di rumah tinggal di Kemantren Kotagede belum memenuhi batas aman. Sementara arahan Badan Standardisasi Nasional (BSN) terkait dengan jarak antara septic tank dan air sumur melalui SNI (Standar Nasional Indonesia) adalah 10 meter,” ungkapnya di FEB UGM, Rabu 17 Juli 2024.

Melalui penelitian tersebut mereka ingin menggali lebih dalam tentang celah hukum yang ada dalam perizinan penggunaan air tanah atau sumur di Kota Yogyakarta dan dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan akibat rendahnya kualitas air di Kemantren Kotagede. Adelvin menjelaskan dari penelitiannya sejak bulan Januari 2024 lalu mereka menemukan fakta tingginya cemaran mikrobiologi dalam sumur warga dikarenakan cemaran limbah septic tank terhadap air tanah atau air sumur.

"Regulasi mengenai izin pembangunan sumur di wilayah Kota Yogyakarta sebenarnya telah tertera di dalam Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 28 Tahun 2013 tentang Perizinan Air Tanah di Pemerintah Kota Yogyakarta. Meskipun saat ini aturan tersebut hanya berlaku secara administratif saja, tetapi dalam peraturan tersebut disebutkan bahwa pembangunan sumur untuk kebutuhan rumah tangga tidak perlu melalui izin. Kondisi ini dikhawatirkan dapat memicu permasalahan sosial dan ekonomi bagi warga."

Adelvin mengatakan terdapat adanya kesenjangan antara regulasi di tingkat pusat dan daerah. Hal ini ditunjukkan mulai dari terbitnya Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) nomor 291.K/GL.01/MEM.G/2023 tentang Standar Penyelenggaraan Persetujuan Penggunaan Air Tanah Pasal 11 Bab VIII yang telah secara eksplisit mengatur perizinan penggunaan atau eksplorasi air tanah. Selain itu, terdapat Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air yang mengatur mengenai pengelolaan sumber daya air. 

"Namun, hukum yang terbaru ternyata belum diolah kembali oleh Pemerintah Daerah Kota Yogyakarta dengan belum diterbitkannya sebuah Perwal baru sebagai terjemahan lebih lanjut dari adanya aturan-aturan baru mengenai perizinan pembangunan sumur dan hal-hal yang terkait."

Menurutnya dengan adanya regulasi terbaru serta fenomena kualitas air yang tercemar bisa segera ditangkap oleh pemerintah daerah. Dengan begitu, regulasi yang dibentuk mampu berperan sebagai respons preventif maupun represif dampak jangka pendek dan panjang pencemaran air tanah atau sumur di Kota Yogyakarta.

Ia menjelaskan masyarakat Kotagede telah sadar akan terjadinya fenomena rendahnya kualitas air di wilayah mereka. Salah satu respons warga adalah dengan menggunakan filter air sebagai instrumen untuk memurnikan air sumur yang dilakukan oleh masyarakat di Kelurahan Prenggan, tepatnya kelompok masyarakat yang tinggal di sekitar Sungai Gajahwong. 

Selain itu, pengelolaan tinja di wilayah ini juga telah terintegrasi melalui IPAL Komunal yang dibangun oleh Pemerintah Kota Yogyakarta.

“Kami menemukan jarak IPAL Komunal yang sangat dekat yaitu kurang dari 5 meter dengan air sumur warga yang telah terpasang filter air. Kedepan diharapkan ada evaluasi optimalisasi pembangunan IPAL Komunal yang berdekatan dengan air sumur warga,” ujarnya.

Penelitian berjudul Analisis Rendahnya Kualitas Air di Kemantren Kotagede: Celah Hukum dan Dampak Sosial Ekonomi Masyarakat yang diajukan lima mahasiswa muda ini berhasil mendapatkan dana hibah riset melalui Program Kreativitas Mahasiswa Bidang Riset Sosial Humaniora (PKM-RSH) 2024 dari Kemendikbud Ristek.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya