Mengenal Legundi, 'Pohon Duit' Penopang Ekonomi Warga Rote Ndao saat Harga Beras Melambung Tinggi

Legundi merupakan tumbuhan liar yang tumbuh di pesisir pantai, bantaran sungai dan di perbukitan, di Rote Ndao, NTT

oleh Ola Keda diperbarui 16 Agu 2024, 05:30 WIB
Diterbitkan 16 Agu 2024, 05:30 WIB
Legundi,  "Pohon Duit" Penopang Ekonomi Warga Saat Harga Beras Melambung. (Foto: Liputan6.com/Ola Keda)
Legundi, "Pohon Duit" Penopang Ekonomi Warga Saat Harga Beras Melambung. (Foto: Liputan6.com/Ola Keda)

Liputan6.com, Jakarta - Di tengah kekhawatiran warga akan harga beras yang kian meroket, pohon Legundi menjadi solusi menopang ekonomi warga di Kabupaten Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Legundi merupakan tumbuhan liar yang tumbuh di pesisir pantai, bantaran sungai dan di perbukitan.

Tumbuhan yang oleh masyarakat Rote Ndao disebut kaingela atau kailena itu sebelumnya hanya digunakan sebagai kayu bakar.

Ternyata pohon yang tumbuh liar itu menopang ekonomi masyarakat saat inflasi tidak terkendali dan iklim ekonomi tidak kondusif.

Harga beras yang meningkat dari hari ke hari, di tengah ketidakberdayaan masyarakat, para pengepul buah pohon Legundi atau vitex trifolia hadir dengan harga yang menggiurkan.

Buah Legundi kering dihargai dengan Rp35 ribu sampai Rp40 ribu per kilogram. Tidak heran jika masyarakat desa Nusakdale dan Batulilok di kecamatan Pantai Baru menyebutnya dengan sebutan "pohon duit".

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

Simak Video Pilihan Ini:


Pemetik Buah Legundi

Curah hujan yang tidak menentu membuat sejumlah lahan persawahan tidak dikelola. Dengan demikian banyak petani memilih untuk menjadi pemetik buah Legundi. Pasalnya, 1 kilogram buah legundi sudah bisa menghasilkan 2 kilogram beras.

"Tahun ini kami tidak kerja sawah, fokus petik buah kaingela (Legundi)", ujar Horiana Dano, seorang perempuan paruh baya yang mengaku sudah melakoni pekerjaan sebagai pemetik buah Legundi selama 2 bulan.

"Saya berangkat sekitar jam 5 pagi dan kembali sekitar jam 10, kemudian istirahat dan berangkat lagi jam 3 sore sampai jam 6", tambah Viktoria Malelak.

Dalam sehari, setiap pemetik buah Legundi mampu mengumpulkan 10 kilogram buah Legundi mentah.

"Buah mentah kami kumpukan kemudian dijemur sampai kering. 1 karung kecil ukuran 10 kilogram bisa menghasilkan 5 kilogram Legundi kering," jelas Teri.

Hamparan Legundi sekitar 5 hektar menjadi lahan berburu warga dua desa untuk memenuhi kebutuhan hidup.

"Saya selaku salah satu pemilik lahan mengizinkan warga untuk memetik buah Legundi secara cuma-cuma," jelas Yoce Dupe, pemilik lahan Legundi di desa Batulilok.

 


Penolong saat Sawah Kekeringan

Pria yang berprofesi sebagai aparatur sipil negara sekaligus penjabat Kepala Desa Batulilok itu mengatur jadwal untuk warganya memetik buah legundi yang tumbuh di atas lahannya.

"Kalau petik setiap hari bisa, tetapi buahnya masih kecil. Karena itu harus diatur sehingga bisa kita peroleh buah Legundi yang bagus dan berkualitas," tandas Yoce.

"Saya bersyukur, di saat harga beras mahal, masyarakat menjerit, Tuhan kasi kita solusi. Legundi yang selama ini tidak bermanfaat ternyata memiliki nilai ekonomi yang tinggi," imbuhnya.

Sementara Penjabat Kepala Desa Nusakdale, Derita Riya Kolmakani menjelaskan curah hujan tahun ini yang tidak menentu membuat lahan persawahan mengalami kekeringan.

Dia berharap pemerintah Kabupaten Rote Ndao dan Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), dapat menekan laju inflasi khusunya harga sembako.

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya