Alhamdulillah.. 37 Pasangan di Jabar Resmi jadi Suami Istri, Sah Secara Agama dan Negara

Ada 37 pasangan menikah pada kegiatan yang digelar dalam rangka HUT ke-79 Provinsi Jawa Barat, bertepatan dengan WJF 2024

oleh Arie Nugraha diperbarui 27 Agu 2024, 00:00 WIB
Diterbitkan 27 Agu 2024, 00:00 WIB
Nikah massal, jawa barat, bandung
Kegiatan nikah massal dalam rangkaian West Java Festival 2024 di kawasan Gedung Sate, Kota Bandung, Sabtu (24/8/2024).(sumber foto: Biro Adpim Jabar)

Liputan6.com, Bandung - Sebanyak 37 pasangan di Provinsi Jawa Barat (Jabar) resmi menjadi suami istri usai melaksanakan nikah massal dalam rangkaian West Java Festival (WJF) 2024 di kawasan Kantor Gubernur Jabar, Gedung Sate, Kota Bandung, Sabtu (24/8/2024).

Artinya mereka secara sah secara agama dan negara tercatat sebagai pasangan hidup yang memasuki mahligai rumah tangga.

Penjabat (Pj) Gubernur Jabar Bey Machmudin mengimbau kepada seluruh mempelai pria dan wanita agar saling pengertian dan mencurahkan kasih sayang sepenuhnya.

"Yang penting adalah saling pengertian dan memahami. Intinya jangan berlaku dan berkata-kata kasar dalam situasi apapun," ujar Bey ditulis Minggu (25/8/2024).

Bey mengatakan bahwa dalam memasuki awal kehidupan rumah tangga setiap permasalahan yang hadir harus dihadapi bersama.

"Kami hanya mengingatkan bahwa tentunya pada awal pernikahan semuanya akan berbeda, dimana yang baru memulai kerjaan, wirausaha, atau sebagai pegawai tidak akan langsung mapan, maka dalam menempuh bahtera rumah tangga ini bersama-sama, apapun yang dijalani," kata Bey.

Terpenting ucap Bey, kepada calon pengantin jangan mencoba melakukan pinjaman dan judi online (judol). Pasalnya judol tidak hanya menjerumuskan individu dalam kecanduan, tetapi juga berakibat fatal bagi keutuhan rumah tangga.

"Kami ingatkan jangan coba-coba meminjam pinjaman online dan jangan mencari rezeki secara pintas lewat judi online. Mohon saling mengingatkan karena kuncinya ada pada calon mempelai pria dan wanita untuk mengatasi hal itu," ucap Bey.

Kegiatan nikah massal yang digelar ujar Bey, merupakan komitmen dari Pemerintah Provinsi Jabar dalam membantu warga yang tidak memiliki biaya untuk menikah dan pencatatan pernikahan yang sah dan legal.

"Tentunya acara ini mendukung program pemerintah dalam hal pencatatan pernikahan yang sah dan legal, serta penting untuk administrasi kependudukan dan kepentingan hukum bagi keluarga," ungkap Bey.

Terakhir, Bey beraharap pernikahan masal ini bisa membawa kebahagiaan bagi calon mempelai.

"Saya harap pernikahan ini membawa kebahagiaan calon mempelai pria dan wanita. Semoga memberikan berkah dan rezeki bagi yang akan menikah hari ini," tukas Bey.

 

Simak Video Pilihan ini:

Rincian Peserta Nikah Massal

nikah massal, hawa barat, bandung
Kegiatan nikah massal dalam rangkaian West Java Festival 2024 di kawasan Gedung Sate, Kota Bandung, Sabtu (24/8/2024).(sumber foto: Biro Adpim Jabar)

Kepala Bidang Urusan Agama Islam Kanwil Kemenag Kantor Wilayah Kementerian Agama (URAIS Kanwil Kemenag) Jabar, Dr. H. Ohan Burhan, mengatakan sebanyak 37 pasangan menikah pada kegiatan yang digelar dalam rangka HUT ke-79 Provinsi Jawa Barat, bertepatan dengan WJF 2024 tersebut.

Mereka berasal dari wilayah Bandung Raya, yaitu 5 pasang pengantin berasal dari Kota Cimahi, 5 pasang dari Kabupaten Bandung Barat, 12 pasang dari Kabupaten Bandung, 11 pasang dari Kota Bandung dan 4 pasang dari Kabupaten Sumedang.

"Penikahan massal ini merupakan pelayanan terpadu, selain mendapatkan buku nikah dan kartu nikah dari Kantor Urusan Agama, para pengantin juga mendapatkan Kartu Keluarga beserta Kartu Tanda Penduduk dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil," ucap Ohan dicuplik dari laman Kemenag Jabar.

Angka Pernikahan dan Perceraian di Jabar

Sementara itu Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama (Kanwil Kemenag) Jabar, Ajam Mustajam menjelaskan pernikahan tersebut adalah menjalin hubungan keluarga.

Ajam berharap seluruh pasangan nikah tersebut yang bisa membawa keluarga sakinah. Pasalnya, di Jabar angka pernikahannya terbanyak di Indonesia, tapi yang paling menyedihkan angka perceraiannya juga tinggi se-Indonesia.

Ajam memaparkan bahwa di tahun 2021 jumlah pernikahan sebanyak 346.484 peristiwa pernikahan, di tahun 2022 sebanyak 336.912 peristiwa pernikahan dan tahun 2023 sebanyak 317.715 peristiwa pernikahan.

"Sedangkan angka perceraian, pada tahun 2021 sebanyak 98.088 peristiwa, tahun 2022 sebanyak 113.643 peristiwa, dan tahun 2023 sebanyak 102.280 peristiwa," ucap Ajam Ohan dicuplik dari laman Kemenag Jabar.

Ajam berharap agar para pengantin ini menjadi keluarga sakinah, mawaddah dan warrahmah, serta bukan yang menunjang angka perceraian di Jabar.

 

Gangguan Kesehatan Mental Penyebab Tingginya Angka Perceraian

Dilansir Liputan6, Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo menyatakan angka perceraian mengalami peningkatan signifikan sejak 2015. Saat itu angka perceraian berkisar pada angka 30-50ribu perkara. Namun pada tahun 2017-2018 angka perceraian itu bisa mencapai 400rb perkara.

"Dan di tahun 2021 itu sekitar 580 ribu, sedangkan pernikahan kan terbilang praktis tidak ada lonjakan sekitar 1,9-2 juta per tahun," kata Hasto kepada Liputan6.com.

Menurut dia, peningkatan atau kenaikan angka perceraian tersebut berhubungan dengan mental emotional disorder atau gangguan kesehatan mental yang mempengaruhi keadaan emosi seseorang. Hasto menyatakan berdasarkan data ada kenaikan mental emotional disorder pada remaja.

Yaitu 6,1 persen pada 2013 dan naik menjadi 9,8 persen pada 2018. Kemudian, data dari riset Kesehatan Dasar mengenai Orang Dalam Gangguan Jiwa (ODGJ) juga alami peningkatan. Pada tahun 2013 angkanya 1,7 per 1000 orang per rata-rata nasional, tetapi angkanya pada tahun 2018 naik menjadi 7,1 per 1000 orang.

"Artinya peningkatan ini kan hampir tiga kali lipat. Ini sangat relate dengan toxic people, toxic relationship dan toxic friendship. Jadi jika dia membentuk keluarga sangat mungkin terjadinya pertikaian kronis karena suami atau istrinya bisa tidak mengenakan atau suami dan istrinya memiliki sikap toxic. Ini yang menurut saya dari data perlu dibuktikan, tapi saya kira sangat berkorelasi," paparnya.

Hasto juga menilai pernikahan di usia muda juga memiliki kontribusi dalam penyebab perceraian. Sebab usia muda belum dapat mengatur emosinya dan menimbulkan percecokan dalam suatu rumah tangga.

Karena hal itu dipentingkannya edukasi mengenai parenting yang baik. Dalam sebuah keluarga yang bercerai itu akan berdampak pada anak dan meningkatnya mental emotional disorder di kalangan remaja.

"Jika kalangan broken home meningkat tentu bisa menjadi lingkaran setan yang kalau tidak kita putus akan semakin banyak anak broken home. Dan makin banyak anak remaja yang tidak terurus, tidak dapat kasih sayang dan makin banyak yang toxic juga, oleh karena itu perlu ada upaya lebih disitu (parenting yang baik)," ujar dia.

Selanjutnya dibutuhkannya yaiti adanya bimbingan pra nikah. Saat ini kata Hasto, setiap kantor Kementrian Agama sudah mengupayakan adanya kelas pra nikah. "Kalau dari BKKBN, kita ada di desa atau kampung yang bisa mengumpulkan anak-anak remaja untuk diberikan informasi dan juga memberikan bimbingan kepada orang tua mereka juga. Kemudian setelah melakukan proses pernikahan, maka perlu juga melakukan pembelajaran atau pembinaan menjadi orang tua yang hebat," ucapnya.

 

Edukasi Parenting Dibutuhkan untuk Antisipasi Perceraian

Selain itu, pihaknya juga terus melakukan sosialisasi mengenai pemahaman remaja terkait masalah reproduksi khususnya risiko melakukan sex pada usia dini.

"Itu penting sekali, karena salah satu alasan mereka sering kawin di usia muda itu karena hamil diluar nikah, nah ini yang menjadi akar permasalahannya," Hasto menandaskan.

Sementara itu, anggota Komisi IX DPR Fraksi PKS Kurniasih Mufidayati mengaku prihatin dengan adanya kenaikan kasus perceraian di Indonesia setiap tahunnya. Menurut dia, hal tersebut dampak dari rentannya ketahanan keluarga.

Kurniasih menyatakan banyak hal yang dirugikan dari setiap proses perceraian. Karena dapat memengaruhi kualitas keluarga. Sebuah keluarga, lanjut dia, harus fokus dalam sebuah kebijakan.

"Sebab kalau tidak akan muncul persoalannya yang melebar kemana-mana. Anak-anak bisa jadi korban, kekerasan dalam rumah tangga, kualitas kesehatan anggota keluarga akan terganggu termasuk memperbesar terjadinya stunting jika ternyata dalam keluarga terjadi perceraian dalam kondisi mengandung atau memiliki anak balita," kata Kurniasih kepada Liputan6.com.

Karena hal itu, dia meminta adanya penguatan keluarga harus sudah dilakukan kepada anak muda sebagai bentuk persiapan sebelum pernikahan. Misalnya dalam memberikan pandangan dan arahan mengenai sejumlah faktor penyebab perceraian.

Mulai dari masalah ekonomi, pertengkaran, kesiapan mental termasuk media sosial harus diselesaikan sebelum pelaksanaan pernikahan.

"Tidak ada salahnya anak-anak muda belajar soal parenting sebelum menikah sebagai bagian dari persiapan mengarungi pernikahan. Dukungan ekonomi bisa juga dijalankan dengan memperluas lapangan dan kesempatan kerja atau dukungan bagi wirausaha baru," ucapnya.

Selain itu kata dia, antisipasi peningkatan data kehamilan pelajar di luar nikah yang bisa berujung pada pernikahan gagal di masa depan juga perlu diperhatikan. Kasus pernikahan dini akibat kehamilan di luar nikah menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya perceraian.

"Hulunya sampai hilir harus diatur dan diuraikan. Semua faktor yang menjadi penyebab kasus perceraian di Indonesia harus dipelajari dan masing-masing harus dicarikan alternatif solusi dengan kebijakan-kebijakan yang harus segera direalisasikan. Kita sudah darurat kasus perceraian," Kurniasih menandaskan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya