Pakar UGM: Pelajaran AI dan Coding di SD dan SMP Jangan Memberatkan Anak

Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) RI, Prof. Abdul Mu’ti, menyebut bahwa Artificial Intelligence (AI) dan coding akan diajarkan pada mulai dari kelas 4 SD hingga SMP.

oleh Yanuar H diperbarui 29 Nov 2024, 19:00 WIB
Diterbitkan 29 Nov 2024, 19:00 WIB
Ilustrasi coding, pemrograman, programmer, programming. Kredit: Pexels via Pixabay
Ilustrasi coding, pemrograman, programmer, programming. Kredit: Pexels via Pixabay

Liputan6.com, Yogyakarta - Peneliti isu masyarakat digital, Deputi Sekretaris dari Center for Digital Society (CfDS) Fisipol UGM, Iradat Wirid, menanggapi rencana pengajaran teknologi berupa AI dan coding sejak dini di tingkat SD dan SMP dapat membuka ruang eksplorasi pada anak. Namun, harus memperhatikan beberapa hal yang dapat memberi beban pada anak karena ambisi pemerintah ingin menciptakan talenta digital yang menurutnya tidaklah tepat. “Materi ajar harus sesuai dengan kapasitas anak,” kata Iradat, Rabu 20 November 2024.

Iradat mengatakan yang paling penting yang harus diberikan kepada siswa adalah logika berpikir supaya dapat memecahkan masalah dengan baik. Menurutnya programmer atau coder harus dapat menyelesaikan masalah secara berurutan dalam sistem coding, sehingga perlu pengajaran moral mengenai kesabaran dan ketelitian tinggi sehingga tidak perlu mengulang pekerjaan dari awal. “Siswa harus diberi pemahaman hakikat dari proses agar tidak terjebak dengan keinstanan AI,” katanya.

Penanaman nilai moral dan etika sangat penting didahulukan dalam pengajaran teknologi, agar anak bisa bijak menggunakan AI dan dapat menghargai orang lain dalam ranah hak dan privasi. Selain itu literasi digital harus menjadi bekal anak untuk memahami isu sebagai bagian dari pemahaman untuk AI dan coding. Iradat memberikan usul agar pembelajaran coding secara teknis bisa dikemas dengan konsep belajar sambil bermain. Jika kapasitas anak tergolong mampu, dapat dilakukan praktik pembuatan game sederhana untuk jenjang SMP atau SMA. “Diajarkan saja dengan metode-metode yang menyenangkan, sesuai dengan kapasitas usianya. Jangan membebani dengan tuntutan harus jadi coder di usia segitu,” ungkapnya.

Menyinggung perihal pengkhususan mata pelajaran AI dan Coding diperuntukan di sejumlah sekolah terpilih saja, Iradatmenyebut ide itu tidak tepat, sebab dari segi tenaga pengajar, guru-guru muda diharuskan mengajarkan logika matematika dan logika komputasi yang rasional dan kembali pada konsep dasar. Guru-guru perlu melakukan peningkatan pengetahuan mengenai tools pembuatan coding sementara pemerintah apakah siap dengan sarana-prasarana yang akan digunakan guru dan murid. “Eksklusifitas pembelajaran itu tidak pernah bagus. Tidak perlu ambisius dan buru-buru karena ini semua harus disiapkan secara totalitas,” tambahnya.

Iradat justru menuntut pemerintah agar bisa menciptakan program yang lebih inklusif dan merata. Menurutnya kalau program AI dan Coding hanyalah pilot project, maka sampel percobaannya tidak hanya membidik pada sekolah di kota-kota besar dan sekolah yang sudah maju saja namun harus menggunakan prinsip pemerataan dan keadilan. “Kalau nanti hanya memilih di sekolah yang bagus, itu berarti cherry picking (pembenaran sepihak),” imbuhnya.

Iradat berharap, kemajuan Sains, Technology, Engineering, and Mathematic (STEM) memang perlu digalakkan namun harus diimbangi dengan ilmu-ilmu sosial agar tercipta kolaborasi antar disiplin ilmu sehingga dapat menghasilkan generasi muda yang melek isu sosial. Ia percaya, individu yang memiliki kemampuan STEM dan bisa tumbuh dengan kultur social science yang baik akan generasi emas bermartabat sebagai pendorong kemajuan bangsa. “Pemahaman social science-nya tetap harus diperkuat di dalam level yang sama supaya tidak kehilangan arah dan tidak apatis,” ujarnya.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya