Liputan6.com, Yogyakarta - Pertarungan kekuasaan di tanah Jawa pada awal abad ke-19 menyaksikan kemunculan sosok perempuan yang membuat penguasa kolonial gelisah. Ratu Kencono Wulan, permaisuri ketiga Sultan Hamengkubuwono II, menjadi tokoh yang disegani sekaligus ditakuti karena pengaruhnya yang melampaui tembok keraton hingga ke lingkaran kekuasaan kolonial.
Herman Willem Daendels, Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang terkenal keras, menemukan tandingannya dalam sosok permaisuri yang menguasai jaringan politik dan ekonomi Yogyakarta. Mengutip dari berbagai sumber, melalui sistem patronase yang dibangunnya, Kencono Wulan mampu mengontrol arus kekayaan dan kekuasaan di wilayah kesultanan.
Kekuatan Kencono Wulan tidak terletak pada pasukan bersenjata, melainkan pada jaringan ekonomi politik yang dibangunnya. Dengan latar belakang keluarga pedagang dan keturunan kiai terkemuka Mataram abad ke-16, ia memahami betul cara memainkan pengaruh melalui transaksi ekonomi dan politik.
Advertisement
Baca Juga
Sistem kekuasaan yang dibangunnya mencakup praktik jual-beli jabatan dan distribusi tanah lungguh yang strategis. Para bangsawan yang menginginkan posisi di keraton harus berhadapan dengan pengaruh Kencono Wulan.
Kekayaannya pun semakin bertambah melalui perdagangan candu, perhiasan, dan batu mulia. Pengaruh Kencono Wulan semakin mengkhawatirkan pihak kolonial ketika dana yang dipinjamkannya kepada para bangsawan mulai digunakan untuk membiayai perlawanan.
Raden Ronggo Prawirodirjo III, salah satu peminjam dana terbesar, menggunakan kekayaan ini untuk mendanai pemberontakan melawan Belanda. Dukungan Sultan Hamengkubuwono II terhadap Kencono Wulan semakin memperkuat posisinya.
Meski berstatus permaisuri ketiga, perannya sebagai istri favorit memungkinkannya membangun kekuasaan yang bahkan membuat pejabat kolonial waspada. Kekhawatiran pihak kolonial terhadap pengaruh Kencono Wulan terbukti beralasan.
Jaringan ekonomi yang dibangunnya tidak hanya memperkaya diri sendiri, tetapi juga memperkuat basis perlawanan terhadap kekuasaan kolonial melalui pendanaan yang ia salurkan. Akhir kekuasaan Kencono Wulan datang secara dramatis pada 20 Juni 1812, ketika tentara Inggris-Sepoy menyerbu Keraton Yogyakarta. Penyerbuan ini tidak hanya mengincar pusaka keraton, tetapi juga secara khusus membidik kekayaan pribadi sang ratu, termasuk sabuk berkantung berisi permata yang selalu dikenakannya.
Â
Penulis: Ade Yofi Faidzun