Liputan6.com, Jakarta - Rumah adat Aceh Krong Bade adalah salah satu bentuk rumah tradisional yang melambangkan kekayaan budaya dan kearifan lokal masyarakat Aceh.
Rumah adat ini memiliki bentuk panggung yang tidak hanya estetik, tetapi juga memiliki nilai fungsional yang tinggi. Secara historis, rumah adat Krong Bade dibangun dengan konsep arsitektur yang menyatu dengan lingkungan alam, memanfaatkan bahan-bahan lokal seperti kayu, bambu, dan daun rumbia.
Advertisement
Struktur panggung pada rumah ini menunjukkan adaptasi masyarakat Aceh terhadap kondisi geografis wilayahnya, yang sering kali terpapar banjir akibat curah hujan yang tinggi.
Advertisement
Baca Juga
Selain itu, struktur panggung ini berfungsi untuk melindungi rumah dari hewan liar, sekaligus menciptakan sirkulasi udara yang baik sehingga rumah tetap sejuk meskipun berada di iklim tropis.
Ciri khas utama rumah Krong Bade adalah atapnya yang curam, menyerupai perahu terbalik. Desain ini bukan hanya indah secara estetika, tetapi juga memiliki makna filosofis yang mendalam.
Atap yang menjulang tinggi mencerminkan hubungan manusia dengan Tuhan, mengingatkan masyarakat untuk selalu dekat dengan Sang Pencipta. Rumah ini biasanya dibangun menghadap kiblat, sebagai simbol kesalehan masyarakat Aceh yang mayoritas beragama Islam.
Di bagian dalam rumah, terdapat ruang-ruang yang diatur sedemikian rupa sesuai dengan adat istiadat dan fungsi sosial. Rumah ini terdiri dari beberapa bagian utama, yaitu serambi depan, ruang utama, dan serambi belakang.
Serambi depan biasanya digunakan untuk menerima tamu, sedangkan ruang utama berfungsi sebagai tempat berkumpul keluarga dan melaksanakan aktivitas sehari-hari. Serambi belakang biasanya digunakan sebagai dapur atau tempat penyimpanan barang.
Sumber Inspirasi Budaya
Salah satu aspek yang menarik dari rumah Krong Bade adalah cara pembangunannya yang menggunakan teknik tradisional tanpa paku. Sambungan-sambungan kayu dibuat dengan sistem pasak, yang menunjukkan keahlian luar biasa para pengrajin kayu Aceh.
Teknik ini tidak hanya membuat rumah lebih fleksibel menghadapi gempa, tetapi juga mencerminkan keharmonisan hubungan antara manusia dengan alam.
Proses pembangunan rumah ini melibatkan banyak orang dan biasanya dilakukan secara gotong royong oleh masyarakat sekitar. Ini mencerminkan semangat kebersamaan dan solidaritas yang menjadi ciri khas masyarakat Aceh.
Rumah Krong Bade juga sarat akan simbolisme budaya. Misalnya, jumlah anak tangga rumah yang biasanya ganjil melambangkan keberkahan. Tangga ini bukan hanya akses masuk, tetapi juga dianggap sebagai elemen sakral yang harus dijaga kebersihannya.
Selain itu, ornamen ukiran yang menghiasi rumah memiliki makna filosofis tertentu, seperti motif flora dan geometris yang melambangkan keindahan dan keagungan ciptaan Tuhan.
Warna-warna pada rumah ini, seperti hitam, putih, dan merah, memiliki makna simbolis yang terkait dengan kehidupan, kematian, dan spiritualitas.
Namun, keberadaan rumah adat Aceh Krong Bade kini semakin terancam oleh modernisasi. Banyak masyarakat Aceh yang beralih membangun rumah dengan desain modern karena dianggap lebih praktis dan ekonomis. Padahal, rumah Krong Bade memiliki nilai budaya yang sangat tinggi dan dapat menjadi sumber inspirasi untuk pengembangan arsitektur berkelanjutan.
Oleh karena itu, upaya pelestarian rumah adat ini sangat penting, baik melalui pendidikan, dokumentasi, maupun penggalangan dana untuk restorasi rumah-rumah tradisional yang tersisa.
Pemerintah dan masyarakat perlu bekerja sama untuk menjaga keberadaan rumah adat Krong Bade sebagai warisan budaya yang tidak ternilai.Rumah adat Aceh Krong Bade ini, tidak hanya berfungsi sebagai tempat tinggal, tetapi juga sebagai simbol identitas dan kebanggaan masyarakat Aceh.
Keindahan arsitekturnya, kedalaman makna filosofisnya, dan kekayaan nilai-nilai tradisional yang terkandung di dalamnya menjadikan rumah ini sebagai salah satu warisan budaya yang harus terus dilestarikan.
Rumah Krong Bade adalah bukti nyata bahwa budaya tradisional dapat menjadi sumber inspirasi dan kebijaksanaan dalam menghadapi tantangan zaman.
Penulis: Belvana Fasya Saad
Advertisement