Liputan6.com, Gorontalo - Masyarakat Adat memainkan peran krusial dalam menjaga kedaulatan pangan nasional melalui sistem pengelolaan sumber daya alam berbasis kearifan lokal. Dengan pengetahuan yang diwariskan turun-temurun, mereka mampu mengelola pertanian, perikanan, dan kehutanan secara berkelanjutan, tanpa merusak keseimbangan ekologi. Di Papua, misalnya, sistem pangan masyarakat adat disesuaikan dengan kondisi geografis.
“Masyarakat di dataran rendah membangun ‘dusun sagu’ yang dikelola berdasarkan hukum adat, sementara di dataran tinggi, umbi-umbian menjadi makanan pokok,” kata Maria, perempuan Mpur Kebar dari Tambrauw, Papua Barat Daya.
Baca Juga
Sementara itu, di wilayah Kasepuhan, Jawa Barat, sistem ketahanan pangan dijaga melalui pembangunan ‘leuit’ atau lumbung padi komunal. “Leuit dapat menyimpan hasil panen selama bertahun-tahun, tidak hanya untuk keluarga, tetapi juga untuk ketahanan pangan komunitas,” ujar Sucia Lisdamara, Perempuan Adat Kasepuhan Bayah.
Advertisement
Ketahanan pangan berbasis kearifan lokal terbukti menjadi solusi efektif saat pandemi Covid-19. Laporan Ahmad Arif (2022) menunjukkan bahwa komunitas adat tetap mandiri dalam memenuhi kebutuhan pangan mereka. Masyarakat Adat Boti di Nusa Tenggara Timur, misalnya, mengelola kebun komunal secara kolektif untuk memastikan tidak ada anggota yang mengalami kelaparan. “Kami memiliki kebun pribadi dan kebun komunal yang hasilnya didedikasikan bagi mereka yang membutuhkan,” ungkap Bebie, anggota Masyarakat Adat Boti.
Ia juga menekankan bahwa Kabupaten Timor Tengah Selatan memiliki angka stunting tinggi, tetapi tidak ada kasus serupa di komunitas mereka berkat sistem pangan berkelanjutan.
Pangan Lokal sebagai Identitas Budaya
Selain sebagai sumber gizi, pangan lokal juga menjadi simbol budaya. Di Nusa Tenggara Timur, Masyarakat Adat Leuhoe di Kabupaten Lembata menjadikan konsumsi jali-jali (Leye) sebagai bagian dari identitas sosial. Tradisi ‘Puting Watar Ka Leye’ mewajibkan perempuan suku tertentu untuk mengonsumsi Leye seumur hidup, mencerminkan eratnya keterkaitan pangan dengan adat.
Di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, pengelolaan sumber daya perikanan berbasis kearifan lokal tetap dipertahankan. Beberapa contoh di antaranya adalah Panglima Laot di Aceh, Mane’e di Kepulauan Talaud, Ola Nua di Lamalera, dan Sasi Ikan Lompa di Pulau Haruku. Studi di komunitas Paser di Teluk Balikpapan menunjukkan bahwa keberlanjutan ekosistem mangrove sangat berkaitan dengan ketahanan pangan masyarakat adat pesisir.
Advertisement
Urgensi Pengesahan RUU Masyarakat Adat
Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat diharapkan menjadi instrumen hukum yang tidak hanya mengakui hak-hak masyarakat adat, tetapi juga melindungi kedaulatan pangan berbasis komunitas. Koordinator Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat, Veni Siregar, menegaskan bahwa RUU ini telah masuk dalam Program Legislasi Nasional Prioritas 2025. “RUU Masyarakat Adat adalah jalan menuju kemandirian mereka dalam mengelola sumber daya alam,” ujarnya.
Dengan menjaga keseimbangan antara kebutuhan manusia dan kelestarian lingkungan, masyarakat adat telah membuktikan bahwa kedaulatan pangan dapat dicapai dengan harmoni alam. Pengakuan dan perlindungan terhadap mereka bukan hanya tanggung jawab negara, tetapi juga langkah strategis dalam membangun sistem pangan nasional yang inklusif, berkeadilan, dan berkelanjutan.
