Liputan6.com, Jakarta - Gubernur NTT Melki Laka Lena akhirnya mengklarifikasi pernyataannya terkait ancaman pencabutan izin praktek dua dokter anestesi. Pernyataan keras Laka Lena itu menanggapi ketiadaan dokter anestesi di RSUD TC Hillers Maumere.
Reaksi keras Laka Lena itu pun dinilai tak mendasar dan sepihak. Pasalnya, dua dokter itu ternyata sudah selesai masa kontrak pada akhir Desember 2024 lalu.
Laka Lena mengaku mendengar informasi yang tidak benar yang mengkaitkan kematian pasien dengan dua dokter anestesi itu.
Advertisement
Baca Juga
"Kemarin saya keluarkan pernyataan agak keras ya. Tapi setelah melakukan rapat dengan Dirjen Kesehatan dan dokter, ternyata kedua dokter anestesi (Remi dan Evi) ini sudah tidak bekerja lagi, dan tidak ada kaitan dengan kematian pasien," ujar Melki.
Menurutnya, informasi itu muncul dari sistem manajemen kesehatan di RSUD TC Hillers yang tidak berjalan baik.
"Informasi itu mungkin muncul dari bawah atau dari sistem kesehatan yang tidak baik, tapi nanti kita evaluasi dulu. Sekali lagi, karena informasi yang saya terima itu tidak benar maka tentu saya harus meluruskan lagi, bahwa ini tidak terkait dengan dua dokter anestesi," jelasnya.
Terkait dua dokter yang sebelumnya dijanjikan dirjen kesehatan, menurut dia, komunikasi akan tetap dibangun guna mengatasi tingginya beban kerja dua dokter anestesi yang telah disiapkan.
"Ke depan, RSUD TC Hillers ini seperti RSUD WZ Johanis di daratan Timor. TC Hillers akan jadi rujukan tertinggi di daratan Flores, dari Lembata, Flotim, Ende, sehingga kita butuh banyak dokter," tandasnya.
Â
Simak Video Pilihan Ini:
Beasiswa Kementerian
Pasca-pernyataan keras gubernur NTT, dua dokter anestesi, dr Remi dan dr Evi pun angkat bicara. Keduanya mengaku mengantongi kontrak dari Kementerian Kesehatan dan ditugaskan di wilayah NTT.
"Kami adalah dokter anestesi yang mendapat beasiswa dari kementerian, bukan beasiswa Pemda Sikka seperti yang diisukan di media," ungkap dr Remi.
Menurutnya, kontrak kerja mereka di RSUD TC Hillers Maumere telah selesai di akhir Desember 2024.
Bahkan, tiga bulan sebelum berakhirnya masa kontrak, dua dokter itu sudah mengajukan permohonan ke pihak manajemen untuk segera membuat analisis beban kerja.
Namun, rupanya niat baik dua anak daerah itu tak dihargai manajemen RSUD TC Hillers yang seakan membiarkan mereka pergi.
"Kenapa kami dikait-kaitkan dengan kematian pasien? Padahal kami bukan lagi karyawan di RSUD TC Hillers, kontrak kami sudah habis," ujarnya.
Diadukan ke Kementerian
Usai tak memperpanjang kontrak kerja, dr Remi dan dr Evi dilaporkan manajemen RSUD TC Hillers ke Kementerian Kesehatan. Keduanya dilaporkan dengan tuduhan mangkir dari tugas.
Namun setelah melalui sidang Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), keduanya dinyatakan tak melakukan pelanggaran dan Surat Tanda Registrasi (STR) mereka tetap berlaku.
“Seandainya kami bersalah, karier kami pasti sudah mati, karena STR kami akan dicabut Kementerian Kesehatan," tutupnya.
Advertisement
