Liputan6.com, Jakarta - ‎Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan ingin meningkatkan transaksi repo untuk mendorong perkembangan pasar modal Indonesia.
Repo sendiri merupakan kontrak jual beli efek dengan janji beli atau jual kembali dengan waktu serta harga yang telah disepakati.
Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal OJK Nurhaida mengatakan, untuk itu perlu adanya insentif pajak untuk mendorong instrumen tersebut.
‎"Kalau ada perlakuan perpajakan yang bisa memberikan semacam insentif bisa berkembang. Tentu kita akan bicara dengan Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Jadi saya belum bisa katakan bentuk insentifnya masih perlu dibahas‎ level teknis. Kick off meeting sudah dilakukan dikoordinasikan dibantu Pak Menko. Kami harapkan di teknis ada pembahasan lebih detil yang mendorong repo‎ lebih jauh," jelas dia di Jakarta, Jumat (29/1/2016).
Pihaknya tak menjelaskan secara detil insetif pajak seperti apa yang dimaksud. Dia bilang, untuk itu masih perlu kajian di tingkat teknis.
Advertisement
Baca Juga
"‎Secara umum saja, repo itu ada underlying obligasi dan ada saham, pada saat ini sesuai dengan pajak obligasi maupun saham kalau bisa didorong ada keberpihakan mendorong repo‎," tutur dia.
Saat ini, pihak OJK sedang menyelesaikan satu-persatu penghambat transaksi repo. Salah satunya dengan meluncurkan Global Master Repurchase Agreement (GMRA) Indonesia. GMRA Indonesia sendiri merupakan perjanjian yang digunakan lembaga jasa keuangan yang melakukan transaksi repo.
GMRA Indonesia mengadopsi GMRA global yang diterbitkan International Capital Market Association (ICMA). Tujuannya, untuk memberikan standardisasi perjanjian transaksi repo.
Dalam GMRA memuat keharusan perpindahan kepemilikan dalam setiap leg transaksi repo, pemeliharaan margin, dan penanganan kegagalan.
Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman D Hadad mengatakan, transaksi repo terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Sepanjang 2011-2015 tercatat volume transaksi mencapai 150,2 triliun dengan nilai transaksi Rp 136,8 triliun. Dibanding 2006-2011 volumenya hanya 42,6 triliun dengan nilai transaksi Rp 35,78 triliun.
"Namun demikian perkembangan transaksi repo di Indonesia yang cukup menggembirakan itu ternyata diikuti dengan perkembangan yang beragam permasalahan atau tantangan dalam implementasinya. Terutama muncul berbagai variasi transaksi repo yang tidak terstandar dan berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum‎," tukas dia. (Amd/Ahm)