Liputan6.com, Jakarta - Lembaga pemeringkat Standard and Poor’s (S&P) menilai keputusan PT Lippo Karawaci Tbk (LPKR) untuk tidak konsolidasikan atau dekonsolidasi proyek Meikarta dari laporan keuangan melemahkan posisi bisnis dalam jangka panjang.
Hal itu mengingat proyek Meikarta termasuk proyek pengembangan properti terbesar Lippo. Hal itu disampaikan S&P dalam laporannya, seperti ditulis Jumat (26/10/2018).
Namun, peringkat B- untuk jangka panjang dan prospek negatif tidak terpengaruhi dari langkah tersebut. Hal itu karena likuiditas Lippo tidak berubah.
Advertisement
Baca Juga
Perseroan mengumumkan kinerja keuangan semester I 2018 yang lama tertunda, S&P menyebutkan Lippo telah tidak konsolidasikan proyek Meikarta dan menurunkan kepemilikan sahamnya menjadi 47 persen pada 2018. S&P menilai dekonsolidasi akan berdampak kerugian margin pada keuangan Lippo karena proyek Meikarta tidak utang.
"Kami yakin ini akan hasilkan proyek Meikarta yang mandiri. Mendapatkan pendanaan dalam waktu dekat mungkin menjadi tantangan hingga tuduhan penyuapan terkait proyek itu diselesaikan. Petinggi Lippo ditangkap pada 15 Oktober 2018 karena tuduhan dugaan suap pejabat untuk menerima izin mega proyek," tulis laporan S&P, seperti ditulis Jumat (26/10/2018).
S&P mengharapkan Lippo dapat mendukung proyek itu bila perlu mengingat ukuran dan risiko reputasinya bagi seluruh grup.
"Peringkat dan prospek kami mencerminkan likuiditas Lippo yang tipis di grup. Arus kas perusahaan untuk 12 bulan yang berakhir Juni 2019 termasuk biaya bunga sekitar Rp 1 triliun dan biaya konstruksi, sewa kami perkirakan Rp 1,1 triliun. Kami yakin Lippo juga perlu pertahankan uang tunai Rp 800 miliar di perusahaan induk sesuai perjanjian pinjamannya," tulis laporan S&P.
S&P menyebutkan kalau penjualan saham perusahaan rumah sakit di Singapura lewat first reit yang akan selesai November 2018 akan topang likuiditas perseroan. "Kami percaya Lippo akan terekspos dengan risiko pembiayaan kembali yang haruskan jual aset lebih lanjut untuk jembatani kesenjangan pendanaannya," dikutip dari laporan S&P.
Laporan S&P menyebutkan perseroan memiliki pinjaman sindikasi yang jatuh tempo pada April 2019 sebesar USD 50 juta dan tambahan obligasi jatuh tempo pada Juni 2020 sebesar USD 75 juta. Ini tidak termasuk pinjaman dalam negeri Rp 660 miliar dalam waktu 12 bulan dari Juni 2018.
Terkait kinerja perseroan selama enam bulan pertama 2018, S&P menilai hal itu masih sesuai harapan. "Di tingkat perusahaan induk, arus kas dan kinerja sejalan dengan harapan," tulis S&P.
Lippo Karawaci Bukukan Laba Bersih Rp 1,1 Triliun
Sebelumnya, PT Lippo Karawaci Tbk (LPKR) mampu membukukan pendapatan sebesar Rp 5,6 triliun pada Semester I 2018. Angka tersebut naik 13 persen jika dibanding dengan periode yang sama tahun lalu. Sedangkan laba bersih naik 135 persen menjadi Rp 1,1 triliun.
Presiden Direktur Lippo Karawaci Ketut Budi Wijaya menjelaskan, laba bersih dan pendapatan perseroan mengalami kenaikan didorong oleh dekonsolidasi PT Mahkota Sentosa Utama, anak perusahaan tidak langsung, dengan keuntungan bersih Rp 1,3 triliun.
Pendapatan divisi bisnis Healthcare sebesar Rp 2,8 triliun, yang terutama didorong oleh pendapatan dari 8 rumah sakit mapan yang naik sebesar 7,7 persen menjadi Rp 1,4 triliun dari Rp 1,3 triliun.
"Pendapatan dari 11 rumah sakit berkembang naik sebesar 8,3 persen menjadi Rp 909 miliar dari Rp 839 miliar," jelas dia dikutip dari keterangan tertulis, Kamis 25 Oktober 2018.
10 rumah sakit yang baru dibuka di 2017 dan 2018 mencatat pendapatan sebesar Rp 134 miliar yang naik sebesar 481,5 persen dari Rp 23 miliar.
Selain itu, kunjungan pasien rawat jalan meningkat sebesar 13persen dan penerimaan pasien rawat inap meningkat sebesar 15 persen.
Pendapatan divisi usaha Residential & Urban Development meningkat 17 persen menjadi Rp 1,8 triliun dari Rp 1,6 triliun, terutama disebabkan oleh peningkatan pendapatan Urban Development sebesar 49 persen menjadi Rp 1,4 triliun.
Pendapatan divisi Komersial yang terdiri dari Mal Ritel & Hotel, sedikit meningkat sebesar 3 persen menjadi Rp 376 miliar terutama karena penurunan pendapatan divisi Mal Ritel sebesar 8 persen menjadi Rp 177 miliar.
Pendapatan divisi Manajemen Aset meningkat sebesar 9 persen menjadi Rp 522 miliar, terutama disebabkan oleh berkembangnya aset yang dikelola.
Pendapatan recurring Lippo Karawaci tumbuh sebesar 12 persen menjadi Rp 3,7 triliun dan memberikan kontribusi 67 persen dari total pendapatan perseroan pada semester 1 2018.
Menurut Ketut, BI telah meningkatkan suku bunga acuannya beberapa kali total sebesar 150 basis poin sepanjang tahun 2018 menjadi 5,75 persen.
Tingkat suku bunga yang lebih tinggi bersamaan dengan ketidakpastian ekonomi global akibat perang dagang antara Amerika Serikat dengan China serta tekanan pada rupiah yang berkelanjutan akan berdampak buruk terhadap sentimen orang-orang untuk membeli properti di tahun 2018.
Kinerja perseroan pada semester I 2018 mencerminkan fokus kami pada efisiensi operasional di saat pasar properti sedang lesu.
"Kami tetap yakin terhadap fundamental pasar properti Indonesia jangka panjang dan tetap fokus pada penciptaan nilai perseroan yang berkelanjutan di tahun tahun mendatang.” Ujar dia.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Advertisement