Mengenal Apa Itu Inverted Yield yang Jadi Indikator Potensi Resesi AS

Salah satu indikator yang sebabkan probabilitas resesi AS tinggi, salah satunya inverted yield.

oleh Pipit Ika Ramadhani diperbarui 27 Okt 2022, 18:33 WIB
Diterbitkan 27 Okt 2022, 18:33 WIB
Ilustrasi Obligasi
Ilustrasi Obligasi (Photo created by rawpixel.com on Freepik)

Liputan6.com, Jakarta - Sejumlah negara diperkirakan masuk dalam jurang resesi pada 2023.  Head of Retail Research CGS CIMB Sekuritas, Fanny Suherman menerangkan, berdasarkan data Bloomberg, kemungkinan resesi di Amerika Serikat (AS) naik menjadi 60 persen.

Sementara kemungkinan resesi di China sebesar 20 persen. Menariknya, meski Indonesia disebut juga akan alami resesi, tetapi kemungkinannya hanya sebesar 5 persen.

"Menariknya, probabilitas Indonesia masuk resesi itu hanya 5 persen. Paling kecil di antara negara Asia Pasifik, AS dan China,” kata Fanny dalam Money Buzz bertajuk 2023: Buckle Up and Enjoy the Ride, Kamis (27/10/2022).

Fanny menyebutkan, salah satu indikator yang sebabkan probabilitas resesi AS tinggi, salah satunya inverted yield. Secara sederhana, Fanny menjelaskan inverted yield merupakan selisih antara imbal hasil (yield) surat utang jangka pendek dan surat utang jangka panjang.

Pada kondisi normal, imbal hasil surat utang jangka panjang akan lebih tinggi dibandingkan surat utang jangka pendek. Namun, hal yang terjadi di AS saat ini adalah sebaliknya, sehingga disebut inverted atau terbalik. 

Imbal hasil surat utang janga pandek lebih tinggi dibanding surat utang jangka panjang. “Normalnya yield 10 tahun harus lebih tinggi dibanding yang yield 2 tahun. Sekarang yang terjadi sebaliknya. Artinya investor melihat risiko dalam jangka waktu dekat juga cukup tinggi. Dan by historical, ketika sudah terjadi inverted yield memang ada potensi ke arah resesi," terang Fanny.

Potensi Resesi Membayangi, Sektor Saham Ini Dapat Dilirik

IHSG Menguat
Pekerja melintas di depan layar yang menampilkan informasi pergerakan saham di gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Senin (8/6/2020). Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menguat 1,34% ke level 5.014,08 pada pembukaan perdagangan sesi I, Senin (8/6). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, masyarakat tampaknya perlu merencanakan investasi yang matang guna mengantisipasi dampak dari ancaman gejolak ekonomi. Hal itu menyusul adanya prediksi World Bank yang menyebutkan sejumlah negara mengalami resesi pada 2023.

Head of Retail Research CGS CIMB Sekuritas, Fanny Suherman mencermati, masyarakat pada umumnya akan lebih menyukai instrumen investasi yang bersifat defensif antara lain tabungan, obligasi, dan emas. Namun dari sisi imbal hasil atau return yang diberikan, ternyata saham menjadi yang paling tinggi.

"By historical yang return nya paling tinggi justru di saham. Jadi perhatikan jika terjadi koreksi saat ada resei, itu kesempatan yang bisa diambil untuk masuk ke saham,” kata Fanny dalam Money Buzz bertajuk 2023: Buckle Up and Enjoy the Ride, Kamis (27/10/2022).

Meski begitu, investor cenderung terpaku pada sektor saham yang bersifat defensif, seperti consumer goods. Padahal, sektor ini juga berpotensi boncos siring melemahnya daya beli masyarakat. Untuk itu, Fanny merekomendasikan sejumlah saham dari sektor berbeda yang menarik untuk dicermati tahun depan.

"Tahun depan masih cukup oke bisa melihat ke saham-saham perbankan yang cukup besar. Misalnya BBCA, BMRI, BBRI, dan BBNI. Lalu dari saham telekomunikasi seperti EXCL dan TLKM,” kata Fanny.

Berburu Instrumen Investasi Paling Menarik saat Hadapi Potensi Resesi

Akhir 2019, IHSG Ditutup Melemah
Pengunjung melintas dilayar pergerakan saham di BEI, Jakarta, Senin (30/12/2019). Pada penutupan IHSG 2019 ditutup melemah cukup signifikan 29,78 (0,47%) ke posisi 6.194.50. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, bayangan potensi resesi di depan mata. Meski Indonesia diakui sebagai salah satu negara yang terdampak minim, bukan berarti tidak ada persiapan yang perlu dilakukan.

Head of Retail Research CGS CIMB Sekuritas, Fanny Suherman mengatakan, pada situasi ini investor akan fokuskan investasi pada aset atau instrumen yang bersifat defensif. Instrumen investasi defensif yang biasanya dipilih berupa tabungan, deposito, dan emas. Padahal, ada instrumen lain yang disebut Fanny dapat memberikan peluang imbal hasil (return) lebih tinggi, yakni saham.

"By historical yang return nya paling tinggi justru di saham. Jadi perhatikan jika terjadi koreksi saat ada resesi, itu kesempatan yang bisa diambil untuk masuk ke saham,” kata Fanny dalam Money Buzz bertajuk 2023: Buckle Up and Enjoy the Ride, Kamis (27/10/2022).

Dia menilai, investasi pada instrumen saham cenderung bergerak uptrend untuk jangka panjang. Meski diakui sempat ada koreksi, tetapi pemulihan atau rebound nya relatif cepat. Meski sudah masuk pada investasi saham, Fanny mengamati investor umumnya juga akan menyasar sektor yang defensif, seperti consumer goods.

Berdampak terhadap Rupiah

IHSG Awal Pekan Ditutup di Zona Hijau
Pejalan kaki duduk di dekat layar pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di kawasan Jakarta, Senin (13/1/2020). IHSG sore ini ditutup di zona hijau pada level 6.296 naik 21,62 poin atau 0,34 persen. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Padahal, jika ada resesi dan inflasi tinggi, akan berdampak pada daya beli masyarakat. Sehingga sektor ini nampaknya juga akan terimbas.

"Jadi tetap ada risiko di saham-saham consumer good karena adanya pelemahan daya beli masyarakat,” imbuh dia.

Lebih lanjut, Fanny menjelaskan dampak resesi saat ini terasa pada nilai tukar Rupiah terhadap dolar AS. Kondisi ini berdampak positif untuk perusahaan atau emiten yang banyak ekspor. Sebaliknya, kondisi ini tak menguntungkan bagi emiten yang banyak impor dan memiliki utang tinggi karena ada tren kenaikan suku bunga.

"Kondisi ini negatif untuk perusahaan yang banyak impor dan tingkat hutang tinggi. Terutama potensi suku bunga naik masih ada, otomatis perusahaan yang memiliki hutang apalagi dengan bunga floating (bukan fix rate), akan terkena dampaknya,” ujar Fanny.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya