COO Bareksa Ni Putu Kurniasari: Banyak Masyarakat Butuh Edukasi dan Literasi Keuangan

Chief of Operating Officer Bareksa (COO Bareksa) Ni Putu Kurniasari bicara mengenai prospek reksa dana dan aplikasi fintech investasi. Berikut wawancara lengkapnya.

oleh Agustina Melani Diperbarui 24 Feb 2025, 15:00 WIB
Diterbitkan 24 Feb 2025, 15:00 WIB
COO Bareksa Ni Putu Kurniasari: Banyak Masyarakat Butuh Edukasi dan Literasi Keuangan
Chief of Operating Officer Bareksa (COO Bareksa) Ni Putu Kurniasari. (Foto: Liputan6.com/Zulfikar)... Selengkapnya

Liputan6.com, Jakarta - Investasi reksa dana termasuk salah satu investasi yang cukup diminati oleh investor. Hal ini juga ditunjukkan dana kelolaan reksa dana.

Hingga Januari 2025, dana kelolaan industri reksa dana mencapai Rp 500,90 triliun dengan Unit Penyertaan (UP) 390,45 miliar. Akan tetapi, dana kelolaan ini turun dibandingkan Desember 2024 sebesar Rp 502,92 triliun dengan unit penyertaan sekitar 392,63 miliar. 

Meski dana kelolaan industri reksa dana turun, tetapi dana kelolaan reksa dana di financial technology terutama investasi alami kenaikan. Hal itu seperti disampaikan Chief of Operating Officer Bareksa (COO Bareksa) Ni Putu Kurniasari.

"Tapi kita lihat fintech, dana kelolaan berasal dari fintech justru masih tumbuh. Tumbuh di atas 10 persen. Artinya dari sisi individu melakukan investasi meningkat, walau di tengah kondisi makro yang saat ini masih ada beberapa challenge termasuk dari global,” ujar Ni Putu.

Seiring hal itu, bagaimana prospek investasi reksa dana pada 2025? Lalu apa dampak kebijakan Donald Trump terhadap industri reksa dana? Bagaimana potensi bisnis aplikasi financial technology terutama di investasi?

Berikut wawancara Liputan6.com dengan COO Bareksa Ni Putu Kurniasari, ditulis Sabtu (22/2/2025):

Bagaimana prospek reksa dana pada 2025?

Jadi memang kalau dari sisi industri reksa dana kita lihat beberapa tahun terakhir secara total memang agak stagnan karena itu kurang lebih disebabkannya dari sisi institusi. Memang ada beberapa kebijakan dikeluarkan yang cukup berdampak terhadap nasabah institusi untuk melakukan pembelian.

Untuk asuransi akhirnya tidak bisa beli reksa dana, bentuk KPD ber-impact di industri reksa dana secara keseluruhan. Tapi kita lihat fintech, dana kelolaan berasal dari fintech justru masih tumbuh. Tumbuh di atas 10 persen.

Artinya dari sisi individu melakukan investasi meningkat, walau di tengah kondisi makro yang saat ini masih ada beberapa challenge termasuk dari global.

 

Faktor global dan internal cukup pengaruhi industri reksa dana?

Chief of Operating Officer Bareksa (COO Bareksa) Ni Putu Kurniasari. (Foto: Liputan6.com/Zulfikar)
 Chief of Operating Officer Bareksa (COO Bareksa) Ni Putu Kurniasari. (Foto: Liputan6.com/Zulfikar)... Selengkapnya

Kalau lihat dari investasi memang cukup berat. Kemarin dana asing sudah keluar cukup banyak karena terkait di luar karena dolar AS juga meningkat sehingga depresiasi ini menyebabkan investasi asing keluar, faktor yang berat juga untuk investasi di dalam negeri.

Tadi kita lihat untuk ritel sendiri dari fintech tetap tumbuh 10 persen. Kalau impact dari makro cukup berimpact transaksi di bawah Rp 20 juta, transaksi di atas itu bertahan jadi motor pertumbuhan dari AUM fintech selama setahun terakhir. 2024 masih tumbuh 10 persen, saya rasa 2025 masih tumbuh sebesar itu.

Apa faktor yang mendukung investor ritel tetap ada pertumbuhan terutama di aplikasi financial technology (fintech) investasi?

Jadi memang di asset under management (AUM) fintech bertumbuh kalau melihat reksa dana masih yang berbasis reksa dana pasar uang dan pendapatan tetap. 

Di tengah ketidakpastian ini masyarakat masih mencari investasi yang agak less volatile karena itu makanya ada permintaan terhadap reksa dana ini.

Motor pertumbuhan reksa dana basis pendapatan tetap surat berharga negara (SBN), obligasi korporasi masih menjadi penahan di tengah situasi ekonomi agak berat. Tapi memang dengan turunnya suku bunga itu jadi motor aset obligasi. Untuk tahun ini masih jadi penopang pertumbuhan AUM di fintech.

Bagaimana dampak kebijakan Presiden AS Donald Trump terhadap industri reksa dana?

Dari jangka pendek yang paling kelihatan sekali dari depresiasi. Kalau kita lihat potensi depresiasi 10 persen. Lihat treasury bill 4,5 persen. Donald Trump ini sebabkan depresiasi tinggi, ini jadi hitung-hitungan investor asing untuk masuk investasi di Indonesia.

Katakan ambil terjelek depresiasi sampai 10 persen misalnya, ditambah 14,5. Kalau investasi di Indonesia harus ada aset yang return lebih tinggi dari 14 persen karena itu sulit untuk aset-aset di Indonesia itu sebabkan efek Donald Trump ini investor asing jadi pull out dulu dari market Indonesia. Atas hal tersebut, indeks turun.

Ini jadi peluang investasi?

Chief of Operating Officer Bareksa (COO Bareksa) Ni Putu Kurniasari. (Foto: Liputan6.com/Zulfikar)
Chief of Operating Officer Bareksa (COO Bareksa) Ni Putu Kurniasari. (Foto: Liputan6.com/Zulfikar)... Selengkapnya

 Sebenarnya ini menjadi peluang untuk investor lokal berinvestasi, selected product karena misalnya bank-bank besar masih menarik karena turun ada outflow dari investor asing.

Dari sisi fundamental, dua bulan lagi ada pembagian dividen dari bank besar. Ini jadi kesempatan ketika terkoreksi kesempatan investasi di saham.

Misalkan investor takut langsung beli saham, sebenarnya bisa beli reksa dana indeks. Reksa dana indeks kalau  mau basis saham perbankan besar bisa masuk reksa dana indeks Infobank. Atau basis indeks MSCI atau IDX 30 karena itu bobot saham perbankan cukup besar di sana.

Kalau tak berani langsung bisa masuk ke dalam reksa dana saham berbasis indeks. Kalau dua bulan ke depan mengejar dan peroleh imbal hasil dividen karena dividennya akan dibagikan. Kayak sekarang dari sisi SBN cukup menarik.

Bank Indonesia (BI) sudah turunkan suku bunga tapi yang terjadi berlangsung dari penerbitan Obligasi Ritel Indonesia (ORI)027 kupon lebih tinggi dibandingkan ORI yang diterbitkan sebelumnya walau BI rate turun kesempatan investor.

Ini karena kalau lihat trennya ketika ekonomi sudah stabil itu akan turun, yield SBN dan ORI yang diterbitkan akan turun, ini mengapa ORI belum turun kayak ORI027 karena masih ada efek Trump, pergantian pimpinan justru yang kesempatan kita untuk masuk aset investasi yang terkoreksi termasuk yield ORI027.Yield jadi tinggi.

Kita belum tahu dampaknya nanti kalau ada penerbitan ORI lagi di akhir tahun, kupon yang diberikan tinggi saat ini. In general suku bunga turun baik the Fed dan BI.

Walau the Fed terakhir masih hawkish sedikit, BI berani langsung potong suku bunga karena rupiah untuk menjaga rupiah itu akan jadi tren jangka panjang. Once ekonomi sudah stabil kita kehilangan momentum.  Justru di tengah pesismisme jadi peluang bagi investor untuk melakukan pembelian. Kalau tak berani di aset langsung, bisa beli lewat reksa dana.

Apa saja tantangan industri reksa dana pada 2025?

Chief of Operating Officer Bareksa (COO Bareksa) Ni Putu Kurniasari. (Foto: Liputan6.com/Zulfikar)
Chief of Operating Officer Bareksa (COO Bareksa) Ni Putu Kurniasari. (Foto: Liputan6.com/Zulfikar)... Selengkapnya

Kondisi market sendiri juga kita masih peralihan tak hanya Indonesia tetapi juga peralihan pemerintah seperti di Amerika Serikat. Itu juga satu tantangan. Perang dagang berpengaruh terhadap pergerakan mata uang kita, itu yang tantangan pertama. Kondisi market cukup berat.

Dari sisi pesimisme ada sisi optimisme di mana kita lihat dari suku bunga turun itu satu motor. Bicara dua tahun lalu ketidakpastian ini tidak disertai dengan satu motor. Dua tahun terakhir agak stagnan indeks. Kita lihat sekarang suku bunga turun secara fundamental bagus. Tinggal menunggu kestabilan saja.

Sekarang tidak stabil karena ada rezim pemerintahan, ketika era konsolidasi sudah berakhir, ini akan kembali pulih. Saya melihat di tengah pesimisme ini justru jadi opportunity untuk kita mendorong masyarakat berinvestasi karena aset lagi murah.

Tantangan kedua, edukasi dan literasi. Di kita itu tetap masih kurang. Tadi saya bilang bagaimana memberantas, selain sisi posisif sisi negative juga  banyak penipuan online, robot trading.

Orang banyak salah persepsi untuk mencapai financial freedom harus kaya sekali, kalau dari ilmu keuangan, financial freedom tidak punya utang, punya asuransi, punya investasi itu financial freedom. Kalau sekarang financial freedom dipersepsikan adalah harus punya Ferrari, rumah mewah, harus jalan-jalan, itu satu persepsi yang salah. Literasi dan edukasi masih kurang yang ini menjadi tantangan. Dua hal itu jadi tantangan.

OJK baru keluarkan regulasi reksa dana terkait aktivitas pinjam meminjam, bagaimana mengenai aturan ini?

Chief of Operating Officer Bareksa (COO Bareksa) Ni Putu Kurniasari. (Foto: Liputan6.com/Zulfikar)
Chief of Operating Officer Bareksa (COO Bareksa) Ni Putu Kurniasari. (Foto: Liputan6.com/Zulfikar)... Selengkapnya

Sudah jadi pembicaraan sekarang itu masih di level untuk bagaimana Manajer Investasi (MI) kelola aset investasinya belum ke sisi, misalkan jadi investor reksa dana. Masih di area MI kelola asetnya, aset di dalam reksa dana itu pinjamkan dulu. Masih di area MI fungsinya kembali untuk sekarang market kondisinya pengelolaan semakin sulit dari sisi MI terutama untuk basis berisiko seperti saham. Untuk membantu mereka dikeluarkan hal tersebut.

Suplai emiten di Indonesia yang besar-besar itu-itu saja. Berbeda di Amerika Serikat, pilihan investor , dari sedang ke besar banyak, beda dengan kita. Di Indonesia besarnya UMKM. Atas hal itu OJK menyadari ada keterbatasan juga dari sisi pengelola investasi untuk mengelola aset sehingga beberapa kebijakan dibuka agar membantu perform lebih baik Lihat dari data reksa dana saham 10 tahun terakhir memang bahkan kalah dengan reksa dana pasar uang karena kesulitan dalam pemilihan karena keterbatasan aset maka dibuka hal itu.

Dibuka reksa dana beli reksa dana lain dibuka juga kalau aset di Indonesia lagi terbatas, buka kesempatan beli aset di luar. Dari pada uang ke luar, lebih baik tetap dalam pengelolaan fund manajer daripada orang beli direct ke luar, tetapi lebih baik tetap lewat manajer investasi. Ruang-ruang yang saat ini dibuka regulator untuk support MI bisa membantu dalam pengelolana bisa beri imbal hasil produk lebih baik.

 

Bagaimana dengan prospek reksa dana saham?

Jadi memang kembali karena dinamika cukup tinggi, memang akhirnya reksa dana saham tidak bisa dilihat untuk jangka panjang. Jangka panjang 10 tahun terakhir imbal hasil kurang baik, tetapi membelinya saat momentum, kalau sekarang ketika banyak orang pesimis karena ketidakstabilan kesempatan beli reksa dana sama. Once market euforia tinggi, di situ waktu melakukan penjualan reksa dana berbasis saham. Seperti itu masih perform.

Era sudah lewat, beli reksa dana saham ditinggal saja. Reksa dana naik sendiri, seperti saat ini sulit satu reksa dana saham performing terus dalam waktu panjang agak sulit.

Cara siasati, itu kenapa tahun ini fokus advisory, investor perlu dilakukan guidance, kapan melakukan pembelian, penjualan. Bukan hanya momentum trading, tetapi ada event besar, market turun banget, advice, investor bau beli reksa dana saham saatnya beli reksa dana saham.

Kapan idealnya pegang reksa dana saham?

Tidak ada time frame-nya. Tapi sebenarnya itu tadi saja kalau sekarang lihat simpelnya, kalau kita lihat dan dengar melemah, itu waktu yang tepat kita beli. Misalkan kalau melihat membaik, indeks terus hijau, di situ itu kita mulai realisasikan keuntungan. Time frame bisa beda-beda, bisa satu tahun dan dua tahun. Beli reksa dana saham, kita perlu melihat minimal makro.

Kita ikuti makro seperti apa, meski tak terlalu spesifik detil. Kalau spesifik detil bisa beli aset langsung. Saat pesimisme muncul timing beli reksa dana saham, tak lagi era beli reksa dana saham kemudian dipegang jangka panjang akan tumbuh. Bisa berhasil.

Time frame orang-orang itu 10 tahun. Minimal jangka waktu panjang 30 tahun, ada kondisi naik tinggi. Kalau time frame 10 tahun, bukan ditradingkan tapi beli dan jual. Kalau banyak optimistis kita jual. Kalau strategi cost dollar averaging yang basisnya aman seperti reksa dana pasar uang dan campuran.

Rencana Bareksa pada 2025

Chief of Operating Officer Bareksa (COO Bareksa) Ni Putu Kurniasari. (Foto: Liputan6.com/Zulfikar)
Chief of Operating Officer Bareksa (COO Bareksa) Ni Putu Kurniasari. (Foto: Liputan6.com/Zulfikar)... Selengkapnya

Bagaimana dengan jumlah investor di Bareksa?

3,6 juta investor di Bareksa (akhir 2024-red). Itu kurang lebih hampir di aset kelas. Tak hanya reksa dana, kita juga sebagai mitra distribusi Kementerian Keuangan untuk SBN. Kita ada saham.

Varian investasi investasi di Bareksa. Karena itu adalah produk investasi yang pertama kita distrbusikan. Kalau kita lihat tren aset kelas kami meningkat yang jadi pembeda aplikasi kami multi aset. Kami tempatkan di aplikasi sama. Investor beli SBN, reksa dana bisa beli dalam satu aplikasi.

Pertumbuhan tinggi selain reksa dana?

Sesuai urutan, reksa dana, SBN, kita membantu jual emas Pegadaian Terakhir baru diluncurkan transaksi saham. Kalau besaran investor dan nilai investasi urutan saham.

Ada produk baru yang akan diluncurkan Bareksa?

Reksa dana sudah cukup besar. Sebelumnya perkenalkan reksa dana dari reksa dana pasar uang. Sudah berhasil untuk edukasi dari reksa dana pasar uang ke reksa dana pendapatan tetap. Sekarang kami sedang edukasi nasabah untuk juga masuk ke reksa dana basis saham seperti reksa dana campuran, reksa dana indeks dan saham. Dibutuhkan advisory, bagaimana cara advisory itu bisa masuk dan terjangkau bagi user kita.

Itu yang ke depan akan kami kembangkan dan karena sebetulnya kami peroleh izin investasi, tak hanya sebagai aperd. Punya empat izin, mitra pemasar dari OJK, mitra distribusi dari Kementerian Keuangan. Punya izin penasihat investasi dari OJK.

Apa saja yang akan kami develop sebuah tool membantu investor untuk bisa lebih mudah masuk ke aset yang lebih berisiko berbasis di saham atau beli saham langsung. Atau beli obligasi sekunder tidak di pasar primer. Tool advisory yang kami buat. Di Bareksa sendiri sudah ada robot advisor. Ini di tahun ini kami kembangkan lebih dalam.

Robot advisor akan dikembangkan seperti apa?

Bareksa luncurkan robo advisor (Dok: Bareksa)
Bareksa luncurkan robo advisor (Dok: Bareksa)... Selengkapnya

Saat ini baru di sisi reksa dana, nantinya kita akan coba multi aset yang akan kita kembangkan di Bareksa. Itu yang kita kerja.

Sudah gandeng 40 manajer investasi, tahun ini ada tambahan?

Untuk partner MI, besar-besar sudah menjadi partner kami. Itu kami lebih sekarang manajer investasi dengan kami pun lebih seleksi karena kita lihat produknya benar-benar perform yang bagus. Masih bisa jadi incaran kami. Kalau saat ini kita tidak bisa tahu apakah nanti akan kerja sama dengan MI apa, kita akan lebih melihat jika memang ada MI baru, produknya bagus, kerja sama dengan MI tersebut.

Kalau saat ini dengan partner kami saat ini variasi yang besar juga, small medium juga. Yang kami lihat bukan sizing MI, tapi kami kurasi produknya dlihat dari performance.

Apakah secara performance produknya memang menghasilkan imbal hasil bagus. Kedua, yang terpenting di Bareksa yaitu GCG MI tersebut bagus atau tidak. Kalau misalkan imbal hasil bagus tapi kami melihat GCG berkurang, kami tak berani distribusikan.

Bagaimana dengan rencana bisnis Bareksa pada 2025?

Fokus saat ini dari sisi produk investasi sudah melengkapi bahkan kita coba kejar untuk obligasi pasar sekunder seperti FR. Itu yang kita kerja. Secara diversifikasi produk sudah lengkap. Investor sangat safe ada SBN, ada emas, pasar uang atau pendapatan tetap.

Sudah mulai ada saham. Kalau dari sisi produk sebetulnya bisa penuhi kebutuhan investasi. Kuncinya bagaimana advisorynya itu fokus kami. Satu hal yang dibutuhkan advice ke investor kami. Mana produk yang bagus, mana produk yang momentum untuk melakukan pembelian itu yang kami perkuat. Belajar dari pengalaman kami mengapa investor kami masih menjadi investor Bareksa di tengah kompetisi fintech yang cukup luar biasa. Kembali lagi sisi advice produk yang menjadi satu sisi kekuatan kami dan itu tetap dorong.

Bagaimana Bareksa melihat aplikasi fintech terutama di investasi makin banyak?

Ruang lobi gedung kantor Bareksa di Jakarta (Dok: Bareksa)
Ruang lobi gedung kantor Bareksa di Jakarta (Dok: Bareksa)... Selengkapnya

Kalau dari pasar sudah hampir 15 juta investor di pasar modal dibandingkan demografi masih cukup kecil dibandingkan negara tetangga.

Jadi sebetulnya dilihat dari potensi masih banyak masyarakat kita butuh edukasi dan literasi. Kita melihat kompetitor bukan lihat full kompetisi tapi lihat ada bantuan sama-sama membangun memberi edukasi dan literasi cukup masif terhadap masyarakat.

Senang banyak juga. Banyak yang juga join terbantu dari sisi edukasi dan literasi bareng teman agen penjualan reksa dana (APERD) lain. Bukan hanya area investasi saja, sejak tech winter agak berat untuk bermunculan yang baru kami harapkan akan kembali stabil sehingga teman industri bisa bertumbuh kembali juga.

Saya rasa penetrasi relatif meski tumbuh signifikan dibandingkan populasi masih kecil dibandingkan negara lain. Harusnya tidak hanya satu dan dua pemain perlu banyak juga pemain. OJK pernah bilang ada konsolidasi perkuat permodalan juga akan terjadi di industri fintech di area investasi.

Saya rasa di area investasi akan banyak juga potensi ada konsolidasi karena arah OJK MI diarahkan konsolidasi juga karena untuk survive. Sekarang sudah berhasil distribusikan produk investasi. Saat awal berdiri 500 ribu sekarang 15 juta (investor pasar modal-red).

Tantangan lain dari security. Area-area kita harus perkuat, kita misalkan butuh banyak support. Support regulator kalau di area pasar modal cukup supportif untuk membantu di industri. Itu yang kita butuhkan butuh literasi dan edukasi serta security. Penipuan investasi banyak juga.  

Dengan ada teknologi tidak hanya membantu peningkatan jumlah investor tetapi juga penipuan investasi banyak.

Sekaligus mengingatkan masyarakat pastikan minimal transfer tidak ke nama pribadi tetapi ke perusahaan jelas ada izin. Kalau misalkan reksa dana harus masuk ke produk reksa dana bukan ke rekening pribadi perlu kita banyak sosialisasi masyarakat. Karena pertumbuhan tak hanya investor tetapi dimanfaatkan para scammer untuk melakukan penipuan digital.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya