Liputan6.com, Jakarta - Sebelum yang lain-lain, saya ingin Anda terlebih dahulu tahu: Star Wars: The Force Awakens film yang keren. Sangat keren!
Namun, ada satu pertanyaan yang kerap ditanya mereka yang tak mengakrabi film-film Star Wars, apakah filmnya bisa dinikmati mereka yang tak nonton enam film Star Wars yang sudah dibuat?
Well, entah Anda penggemar Star Wars atau bukan, Anda tetap bakal suka filmnya. Saya jamin itu.
Advertisement
Star Wars: The Force Awakens film yang paling kami tunggu, penggemar berat Star Wars. Film itu menawarkan “A New Hope” alias harapan baru. Setelah kami dikhianati George Lucas, sang pencipta Star Wars sendiri, dengan tiga suguhan prekuel yang bikin kami dilematis: kami tak suka filmnya, tapi kami toh hapal juga ceritanya lantaran kami penggemar Star Wars.
Baca Juga
Nah, ketika Lucasfilm dijual ke Disney dan ada rencana membuat film lanjutan Star Wars, kami berharap-harap cemas. Apa sutradara yang ditunjuk Disney, J.J. Abrams bakal menunaikan tugasnya dengan baik dan benar.
Saya baca entah di mana, saat ditunjuk Disney, Abrams bertanya pada petinggi Lucasfilm, nuansa film Star Wars seperti apa yang ingin mereka wujudkan di cerita yang baru. Abrams dapat jawaban, yang ingin diraih adalah keasyikan saat menonton trilogi asli Star Wars, episode IV-VI, yang dibuat Lucas dari 1970-an hingga 1980-an.
Setelah menontonnya, saya merasakan nuansa yang sama antara Star Wars: The Force Awakens dengan trilogi aslinya. Abrams seolah ingin membuang ingatan kita pada kisah prekuelnya, episode I-III, yang dibuat Lucas dari akhir 1990-an hingga pertengahan 2000-an.
Saya bahkan merasakan nuansa yang sama hingga ke plot cerita yang disusun Abrams bareng Lawrence Kasdan.
Alkisah, Luke Skywalker menghilang. Sebagai ksatria Jedi terakhir, keberadaannya dicari baik oleh kubu jahat, First Order maupun kubu baik, para pemberontak alias kelompok Resistance. Potongan peta menuju keberadaan Luke disimpan Poe (Oscar Isaac) pada droidnya, BB 8. Ia lalu ditawan Kylo Ren (Adam Driver).
Sang droid imut BB 8 lantas terdampar di planet gurun nan gersang, Jakku. Di sana ia bertemu gadis penjual besi bekas rongsokan pesawat ruang angkasa, Rey ( Daisy Ridley).
Hm, terasa familiar plot cerita awalnya?
Bagi yang sudah nonton, apalagi hapal cerita Star Wars, plot awal itu mengingatkan dengan Star Wars: Episode IV—A New Hope: Putri Leia, pemimpin pemberontak, menyimpan data rahasia Death Star yang mampu menghancurkan planet. Ia menyelundupkan rahasia itu pada droidnya, R2D2 dan robot pelayan C3PO. Kedua robot itu terdampar di planet gurun gersang pula, Tattoine. Di sana, nasib mempertemukan mereka dengan Luke Skywalker.
Saat menonton The Force Awakens, kita yang hapal cerita Star Wars langsung bisa mengidentikkan para tokoh-tokohnya dengan pendahulu mereka dari trilogi asli. Rey adalah versi lain Luke Skywalker, Kylo Ren adalah Dart Vader-nya. Sedangkan Poe dan Finn (John Boyega) seperti gabungan Han Solo.
Meski demikian, tetap ada yang berbeda pada karakter-karakter baru tersebut. Rey seorang jagoan tangguh sejak dari awal. Ia bukan pemurung seperti Luke sebelum jadi ksatria Jedi. Finn mewarisi sifat Han Solo yang pragmatis, tapi ia juga punya idealisme tersendiri sebagai bekas prajurit Stormtrooper yang beralih ke kubu baik. Poe, di lain pihak, mewarisi sifat karismatik Han Solo.
Sementara itu, Kylo Ren adalah kunci konflik utama episode ke-tujuh ini. Membicarkan jati dirinya berarti pula membocorkan bagian kunci filmnya. Saya tak hendak melakukannya.
Yang bisa saya katakan, Kylo Ren seorang pengagum Darth Vader. Di trilogi asli, kita hanya melihat sisi jahat Vader. Ia bagai robot kejam yang mengikuti perintah tuannya, sang Emperor. Bagaimana ia berubah muncul di trilogi berikutnya atau kisah prekuel.
Abrams memberi asupan emosi manusiawi pada Kylo Ren. Di film pertama ini kita langsung tahu ironisme apa yang menyelubungi dirinya. Dan sedikit kenyataan, mungkin masih ada sisi baik dari dirinya yang tersisa untuk muncul di film berikutnya.
Yang patut jadi catatan pula, Abrams menggarap Star Wars: The Force Awakens seperti seorang penggemar sejati yang diberi kesempatan membuat film yang ia gemari sedari awal. Ia paling tahu apa yang membuat Star Wars disukai penggemar lantaran sebagai fans ia tahu bagian mana yang ia sukai dan tidak. Kemunculan para karakter dari trilogy asli (Han Solo, Leia [kini jenderal, bukan putri], Luke Skywalker dll) adalah juga sebagai pengobat rindu, bukan sekadar tuntutan cerita.
Ini mungkin yang membedakan bila film Star Wars baru digarap penciptanya sendiri, George Lucas. Sang kreator hanya mencipta apa yang ia rasa bagus untuknya. Syukur bila penggemar dan masyarakat awam suka. Tapi kenyataannya, saat ia melanjutkan Star Wars dengan kisah prekuel episode I-III kebanyakan penggemarnya emoh.
Sampai di sini saya lantas teringat ketika pertama kali keluar bioskop nonton Star Wars: Episode I—The Phantom Menace tahun 1999 silam.
Waktu itu saya keluar dengan perasaan kagum pada suguhan Lucas. Saya kurang mencerna kalau film yang barusan saya tonton tersebut sebetulnya busuk. Ketika keluar bioskop saya hanya paling ingat pada adegan laganya. Padahal Lucas menyuguhkan juga banyak adegan orang mengobrol membicarakan perjanjian dagang dan pajak yang dilanggar.
Selama dua hari ini sejak nonton Star wars: The Force Awakens pertama kali saat pemutaran perdananya, Selasa (15/12/2015) malam lalu, saya mencoba tak melakukan hal serupa: menganggap filmnya baik, padahal aslinya busuk. Saya ingat-ingat lagi dengan seksama apa filmnya terasa membosankan, banyak obrol atau tidak.
Dan sejauh yang saya resapi, saya berani jamin Star wars: The Force Awakens tontonan yang asyik! Film ini bisa berdampingan sejajar dengan film-film Star Wars terbaik episode IV-VI. ** (Ade/Feb)