Liputan6.com, Jember - Pondok Pesantren Mahfilud Dluror yang ada di Desa Suger, Kecamatan Jelbuk menggelar salat Idul Fitri pada hari ini, Minggu (30/3/2025) atau sehari lebih awal dari versi yang ditetapkan pemerintah.
Meski berlebaran lebih awal sehari, jumlah puasa yang dijalani pesantren ini tetap 30 hari, seperti halnya lebaran versi pemerintah. Sebab, Pondok Pesantren Mahfilud Dluror menetapkan awal puasa atau 1 Ramadan pada 28 Februari 2025, atau sehari lebih awal dari versi pemerintah.
Advertisement
Advertisement
Baca Juga
Penetapan yang dilakukan oleh Pondok Pesantren Mahfilud Dluror ini tidak hanya diikuti oleh santri dan juga warga yang ada di Desa Suger, Jember. Namun juga sejumlah desa yang ada di Kecamatan Maesan, Bondowoso. Sebab, Desa Suger merupakan desa di Jember yang berbatasan langsung dengan Bondowoso.
Penetapan awal puasa dan Idul Fitri maupun Idul Adha yang berbeda dengan versi pemerintah, bukan hal baru bagi santri dan masyarakat di sekitar Pondok Pesantren Mahfilud Dluror.
Menurut KH Ali Wafa, pemimpin pesantren, pihaknya memiliki dasar perhitungan tersendiri dalam menetapkan awal puasa dan lebaran. Yakni berdasarkan sistem perhitungan (hisab) yang merujuk pada kitab Najhatul Majalis, karya Syaikh Abdurrahman As-Sufuri Asy-Syafii. Sistem tersebut bernama sistem Khumasi.
“Di pesantren ini, insyaallah sudah dilakukan sejak tahun 1911, saat pesantren ini didirikan oleh kakek saya, KH Muhammad Sholeh. Beliau berguru kepada KH Abdul Hamid Misbat, dari Pondok Pesantren Banyuanyar, Madura,” tutur Lora Ali Wafa, Minggu (30/3/2025)
Kata Khumasi yang dalam bahasa Indonesia berarti lima, merujuk pada cara menetapkan awal puasa dan lebaran selisih lima hari dari penetapan tahun sebelumnya. Sistem ini dikemukakan oleh Imam Ja’far Ash-Shodiq, salah satu keturunan Nabi Muhamamd SAW.
“Kitab Najhatul Majalis ini setebal 246 halaman, isinya berbagai hal seputar fiqh (hukum Islam), tak hanya soal awal puasa dan lebaran,” papar KH Ali Wafa.
Karena menggunakan perhitungan tanpa melihat bulan (rukyatul hilal), KH Ali Wafa sudah dapat menetapkan awal bulan Ramadan dan Syawal lama.
“Saya biasa berijtihad untuk menghitung penetapan awal puasa dan Syawal untuk jangka waktu 8 tahun,” tutur pria yang juga akrab disapa Lora Ali.
Lora merupakan panggilan kehormatan dalam masyarakat Madura untuk menyapa putra kiai atau tokoh agama.
Simak Video Pilihan Ini:
Tidak Setiap Tahun Berbeda
Diakuinya, tidak setiap tahun perhitungannya berbeda dengan pemerintah. Adakalanya sama. Namun jika berbeda, pasti mendahului sehari.
“Dalam lima tahun, ada setidaknya 2 hingga 3 kali lebaran yang sama,” tutur KH Ali Wafa.
Meski kerap berbeda, masyarakat setempat tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang luar biasa. Mereka bahkan sudah terbiasa bertoleransi, jika dalam setahun ada dua versi awal puasa atau lebaran dalam satu masyarakat desa. Toleransi itu juga diterapkan di lingkungan keluarga sang kyai.
“Tahun lalu, kita kan berbeda juga. Anak saya laki-laki yang nomor empat, ikut versi pemerintah. Jadi kita hari raya, dia masih puasa, seperti anda ini,” papar KH Ali Wafa.
Perbedaan itu karena pada awal puasa, sang anak masih berada di Gresik untuk menuntut ilmu. Saat itu, sang anak mengikuti awal puasa yang ditetapkan oleh pemerintah.
“Kalau dia ikut versi kami, maka puasanya jadi cuma 28 hari. Itu tidak sah secara keseluruhan puasanya,” tutur KH Ali Wafa.
Seperti halnya aturan fiqh yang disepakati para ulama, hanya ada dua kemungkinan jumlah hari dalam bulan Ramadan seperti yang ditentukan dalam hadis. Yakni 29 hari atau 30 hari, tidak lebih dan tidak kurang.
KH Ali Wafa sendiri merupakan alumnus Pondok Pesantren Bata-bata yang ada di Pamekasan, Madura. Sebuah pesantren yang identik dengan nahdliyyin, sebutan untuk warga Nahdlatul Ulama (NU). Ia juga masih berkerabat dengan sejumlah kiai NU yang ada di Jember bagian utara.
“Dengan Kyai Muqit (KH A Muqiet Arief, mantan Wabup Jember, pengasuh Pondok Pesantren Al Falah, Silo), masih paman,” pungkas KH Ali Wafa.
Advertisement
