Liputan6.com, Jakarta Sepanjang pertengahan 2015, ada satu berita yang tak putus-putusnya disiarkan oleh media. Yakni kematian Angeline, bocah delapan tahun yang tewas setelah menerima siksaan fisik dan mental yang bertubi-tubi.
Kini, sekitar setahun setelah jenazah Angeline diangkat dari lubang di belakang rumahnya, bocah itu kini diberi tempat bercerita tentang penderitaannya.
Bukan secara langsung tentu saja, namun lewat sebuah film adaptasi bertajuk Untuk Angeline yang mulai diputar sejak Kamis, (21/7/2016) kemarin.
Advertisement
Baca Juga
Film yang diarahkan oleh sutradara Jitto Banyu ini, terlihat relatif setia dengan kronologi kematian Angeline yang diketahui masyarakat.
Namun, tentu saja ada dramatisasi di sana-sini, terutama seputar kehidupan pribadi tokoh-tokohnya.
Film diawali dengan Samidah (Kinaryosih) dan Santo (Teuku Rifnu Wikana), pasangan suami istri yang tak mampu membayar biaya persalinan anaknya, Angeline.
Bayi merah tersebut akhirnya diserahkan pada pasangan John (Hans de Kraker) dan Terry (Roweina Umboh), yang kemudian mengangkatnya sebagai anak.
John rupanya begitu mengasihi Angeline (Audrey), dan memberi perlakuan yang berbeda pada anak Terry, yang tak diakui John sebagai anak kandungnya.
Rupanya, hal ini menyemai benih benci di hati Terry, yang mencapai puncaknya setelah John meninggal. Yang selanjutnya terjadi, adalah kisah horor yang telah begitu dikenal publik.
Mengangkat film dari kisah nyata yang memiliki detail brutal dan mengerikan, sutradara Jito Banyu sebenarnya bisa saja membuat Untuk Angeline sebagai sebuah film yang memperlihatkan kekerasan secara frontal.
Contohnya saja An American Crime yang memiliki latar belakang persis Untuk Angeline, yaitu film dari kisah nyata tentang seorang gadis muda yang disiksa hingga tewas.
Namun, dibanding menonjolkan siksaan secara fisik, Untuk Angeline lebih memperlihatkan siksaan batin yang dialami Angeline. Seperti saat Angeline diminta guru sekolahnya untuk membuat karangan tentang kasih sayang seorang ibu, satu hal yang tak bisa ditulis Angeline.
Atau teror mental yang menghantuinya sampai ke luar rumah, yang bahkan membuatnya ragu untuk menerima secuil roti dari teman sekolahnya.
Memang, adegan penyiksaan masih muncul dalam Untuk Angeline. Namun, bagian ini lebih banyak disamarkan, dan sangat jarang ditampilkan secara frontal.
Langkah ini, memang tak memberikan efek kejut sebesar bila adegan ini ditampilkan secara langsung. Namun sepertinya, penonton memang tak diajak untuk ikut merasakan kesakitan Angeline secara fisik.
Sebaliknya, Untuk Angeline membuat kasus mengerikan ini sebagai sebuah pengalaman menonton yang menarik-narik sisi emosional penonton. Apalagi tak hanya sudut pandang Angeline yang dieksplorasi dalam film ini, namun juga perspektif Samidah sebagai seorang ibu.
Audrey sebagai Angeline kecil dan Naomi Ivo yang berperan sebagai Angeline besar, bermain dengan baik. Naomi Ivo misalnya, sudah mampu menampilkan emosi lewat ekspresi wajah. Bahkan untuk beberapa dialog yang terasa sedikit kaku, keduanya pun mampu melakoninya dengan baik.
Kemunculan Untuk Angeline, meski sempat diiringi pro kontra di masyarakat, setidaknya menjadi pengingat. Bahwa bisa saja ada anak seperti Angeline yang saat ini tengah menahan siksa fisik dan batin. Dan siapa pun, mengemban tugas yang sama agar tak ada Angeline kedua di sekitar kita.