Liputan6.com, Jakarta Bisa menarik 170 ribu penonton lebih ke bioskop pada hari pertama penayangan menjadikan Gundala sebagai film paling ditonton pekan ini. Gundala juga menjadi film Joko Anwar dengan jumlah penonton terbanyak di hari pertama.
Sebelumnya, ada Pengabdi Setan yang mengumpulkan 91 ribu penonton lebih pada hari pertama. Pengabdi Setan berakhir dengan jumlah penonton 4,2 juta jiwa. Dengan angka pembuka sebagus ini, mampukah Gundala melampaui Pengabdi Setan?
Yang jelas, Gundala harus sukses mengingat ia membuka pintu gerbang bagi para pahlawan super lain seperti Sri Asih, Godam dan Tira, Mandala, hingga Si Buta Dari Gua Hantu. Kesuksesan Gundala juga menjadi angin isis bagi produser lain yang masih gamang memproduksi genre aksi pahlawan super.
Advertisement
Baca Juga
Tujuan akhirnya, memperkaya genre film lokal dan mengejar ketertinggalan dari negara maju lain. Di tangan Joko Anwar, apa jadinya Gundala?
Sancaka
Gundala berpusat pada kelamnya hidup Sancaka (Muzakki). Ayahnya (Rio) memimpin pergerakan demo buruh menuntut upah dan jam kerja yang lebih manusiawi. Pihak pabrik minta perwakilan para buruh menghadap. Tiga hari berselang, perwakilan buruh raib tanpa kabar. Ayah Sancaka mengajak buruh lain menuntut keadilan. Ibu Sancaka, Kurniati (Marissa) mengajak putranya menemani istri buruh suaminya tak pulang. Alangkah syoknya Kurniati memergoki buruh yang konon hilang baik-baik saja di rumah.
Sadar terjadi pengkhianatan, Kurniati berupaya memberi tahu suaminya yang tengah menghadapi aparat bersenjata. Ayah Sancaka tewas dengan sejumlah luka tusuk. Beberapa hari setelahnya, Kurniati meninggalkan Sancaka ke Tenggara untuk mencari peluang kerja yang baru. Ia tak pernah pulang. Sancaka lantas ditolong Awang (Faris). Dari Awang, ia belajar baku hantam. Belasan tahun berlalu, Sancaka dewasa (Abimana) bekerja sebagai sekuriti pabrik koran. Ia bertetangga dengan Wulan (Tara).
Negeri tempat Sancaka tinggal makin kacau. Beredar kabar, DPR dikendalikan Pengkor (Bront). Dua anggota dewan yang paling vokal, Ridwan Bahri (Lukman) dan Ferry Dani (Arswendi), bersiasat menghadapi polah Pengkor. Situasi makin kacau karena maraknya penjarahan dan puncaknya, keracunan massal. Sadar negerinya dalam bahaya, Sancaka yang kerap tersambar petir mengambil keputusan terbesar dalam hidupnya.
Jika Jagat Sinema Bumi Langit umpama gedung bertingkat, Gundala adalah fondasi. Film ini adalah origin. Joko Anwar menghabiskan 60 menit pertama untuk membangun alasan mengapa pahlawan super harus hadir. Ia menggambarkan negara yang mendekati fase ambyar. Negara ini bagaikan Gotham City yang nyaris tanpa harapan di Batman Begins. Lalu, seorang anak berproses lewat trial and error. Naluri patriotnya diasah dari sakitnya kehilangan, ditinggal tanpa kabar, digebuki sekumpulan pemuda, lalu bertahan hidup dari gaji pas-pasan.
Advertisement
Sudah Terbaca
Sampai di sini, kita belum 100 persen tahu ke mana arah Sancaka dan mengapa hatinya tak tega melihat penindasan. Para pemain cilik tampil meyakinkan dengan takaran emosi yang pas. Lewat dari menit ke-60, Joko meperlihatkan progres cerita dengan ritme bergegas. Sejumlah konflik menumpuk dan beberapa tokoh anyar muncul, menuntut perhatian Anda. Gundala mengharuskan kita fokus pada penokohan dan grafik konflik yang fluktuatif. Sebagai jilid pembuka, jangan kaget jika interaksi Abimana dan Tara tampak berjarak atau sedikit kaku.
Ini baru permulaan. Akan ada fase baru dengan ikatan emosi yang lebih erat. Kekuatan film Gundala terletak pada kesigapan Joko menggambarkan kacau balaunya tatanan masyarakat. Ia mengombinasikan komik dengan catatan Hasmi dalam porsi berimbang. Ada sejumlah tribut untuk komik di antaranya dialog soal cita-cita Sancaka kecil. Sejak awal sikap Joko Anwar di film ini jelas. Yang dilawan Gundala buka alien atau makhluk setengah manusia yang ingin menghancurkan dunia.
Gundala tidak semuluk itu. Ia lebih membumi. Petir adalah bonus kekuatan yang dipakai hanya dalam kondisi darurat. Kekuatan sejati Gundala ada dalam pendiriannya. Tak heran jika porsi baku hantam lebih dominan dari pendar sinar ajaib untuk membabat musuh. Disajikan dengan pendekatan realistis, sosok Gundala jadi lebih manusiawi. Karena ini jilid pembuka, belum semua karakter di dunia Gundala mekar. Namun, fondasinya tertancap kuat. Yang dilawan, sudah kentara. Yang akan hadir setelah ini pun sudah terbaca.
Butuh Banyak Patriot
Di atas kekurangan dan kelebihannya, Gundala menjadi pernyataan sikap Joko Anwar. Hasmi dan angkatannya memiliki keresahan yang dituangkan ke dalam komik. Era Hasmi bisa jadi tak sebebas sekarang. Problem masyarakat di era Hasmi juga berbeda dengan sekarang. Joko menempatkan Gundala di era sekarang dengan segala keruwetannya. Sikap dan keresahan Joko tergambar dalam sejumlah dialog yang disampaikan beberapa tokoh.
Dari seabrek dialog penting itu, ada dua yang mengena di benak kami. Pertama, “Karena kalau kita membiarkan ketidakadilan terjadi di depan kita maka kita bukan manusia lagi.” Kedua, “Sepanjang hidup saya, hal yang tidak bisa bertahan lama adalah perdamaian.” Bagi kami, ini dialog kunci. Selama masih ada manusia yang rela berhenti menjadi manusia (baca: melakukan ketidakadilan) kita butuh patriot. Dan karena kedamaian tak pernah langgeng, kita butuh (lebih banyak) patriot. Jadi, selamat datang di Jagat Sinema Bumi Langit.
(Wayan Diananto)
Pemain: Abimana Aryasatya, Tara Basro, Bront Palarae, Lukman Sardi, Marissa Anita, Rio Dewanto, Faris Fajar, Arswendi Bening Swara, Muzakki Ramdhan
Produser: Wicky V. Olindo, Sukhdev Singh, Bismarka Kurniawan
Sutradara: Joko Anwar
Penulis: Joko Anwar, Hasmi
Produksi: Screenplay Films, Bumilangit Studios, Ideosource Entertainment, Legacy Pictures
Durasi: 2 jam, 3 menit
Advertisement