Liputan6.com, Jakarta Jawaban Agha seperti tamparan yang mendarat dengan keras di pipiku. Mendengar ujaran itu aku terdiam. Mataku mendadak memberat, seolah berupaya keras membendung sesuatu dari pelupuk. Tak kuasa, akhirnya butiran-butiran bening menetes di pipi. Aku tak bisa berkata apa-apa untuk beberapa saat. Kepalaku tertunduk.
Sementara Agha melandaikan kursi mobil seolah ingin melanjutkan tidurnya yang terganggu. Saat itulah aku menyadari betapa egoisnya laki-laki yang sangat kucintai ini.
Advertisement
Baca Juga
“Setelah semua gue kasih ke lo. Gue enggak berharap ucapan terima kasih atau imbal balik dari lo. Gue cuma berharap diperlakukan dengan pantas. Harapan gue terhadap hubungan kita serendah itu. Harapan yang rendah pun enggak lo penuhi apa kabar kalau gue berharap muluk dari lo,” ucapku terbata-bata, menahan dada yang sesak.
Siapa Yang Bodoh?
Yang membuatku makin ambyar malam itu adalah jawaban Agha. Sambil merebahkan tubuh, ia bilang dengan enteng, “Yang bego siapa?” Inilah pengusiran dalam bentuk lain. Sadar kehadiranku tak dianggap, akhirnya kubuka pintu mobil Agha dan kembali ke mobilku sendiri. Malam itu, aku merasa kakiku melayang. Badanku seperti limbung.
Aku masuk ke mobil dan minta Kang Manu tancap gas. Ingin menangis untuk mengurangi sensasi sesak di dada tapi tak bisa. Mungkin ini yang disebut menangis tanpa air mata. Tiba di rumah, aku tak mau mandi. Ingin segera merebahkan tubuh dan berharap pagi lebih cepat tiba dari biasanya.
Pagi itu, saat membuka mata entah kenapa Tuhan seperti mengingatkanku pada mereka yang selama ini menyayangiku. Yang pertama berkelebat di benakku, wajah Ian. Sahabat yang kesetiaannya teruji oleh waktu namun kutendang hanya demi seonggok daging bernyawa bernama Agha.
Advertisement
Rasa Malu Yang Menumpuk
Dengan rasa malu yang menumpuk, aku menghubunginya namun tak diangkat. Setelah makan siang aku pamit sama Mama untuk keluar rumah sebentar. Aku minta Kang Manu mengantarku ke rumah Ian di Tebet Jakarta Selatan.
Deg-degan rasanya mengetuk pintu rumah Ian. Takut diusir. Namun Ian membukakan pintu.
“Ian...” sapaku tanpa mampu melanjutkan kalimat berikutnya.
“Masuk, Chan,” ajaknya. Sebelum masuk aku memeluk Ian dan menangis sejadi-jadinya. Terasa betul Ian mengusap rambutku dan membisikkan, “Enggak papa, Chan. Enggak papa.”
Sambil melangkah ke sofa, aku terus terisak. “Ian gue malu banget sama lo. Gue enggak pantas buat dapat maaf lo...”
“Udah, Chan. Kalau gue ada di posisi lo belum tentu juga gue bisa bijaksana, kan?”
Agha Merampokku Habis-habisan
Siang itu aku meluapkan emosi, air mata, dan menceritakan semua kegilaan yang kulakukan bersama Agha. Tanpa tedeng aling-aling. Ibarat kasus kriminal, Agha telah merampokku habis-habisan. Luar dan dalam. Aku curhat sampai hari mulai gelap. Ian menawariku menginap jika masih banyak masalah yang ingin kubuang padanya.
Ia juga merekomendasikan terapi menulis padaku. Siapa tahu dengan menulis, bebanku berkurang signifikan. Usai curhat aku balik ke rumah. Mama tahu aku sedang ada masalah tapi tak mau kepo.
Mama hanya bilang, “Kalau ada yang mau kamu ceritakan, Mama siap mendengar.” Namun aku malu. Apa jadinya jika Mama tahu aku meninggalkan Madha hanya demi Agha.
Advertisement
Seorang Pria di Kedai Kopi
Keesokan harinya, berbekal laptop, aku diantar Kang Manu ke kedai Kopi Projection. Tiba di sana aku memesan segelas kopi susu lalu duduk di sudut ruangan. Kunyalakan laptop dan mulai menulis.
Dimulai dengan malam ketika hubunganku dan Agha berakhir. Seseorang duduk di kursi sebelah. Aku tak peduli. Maklum aku sedang berapi-api mencaci maki Agha dalam tulisan.
“Semangat banget nulisnya,” sapa pria ini sambil mencucukkan garpu ke sepotong brownies. Aku menoleh. Dan, oh!
Nasib Apes Yang Menimpa
“Lo ngapain ke sini? Kalau lo mau memaki atau nyukurin gue atas semua nasib apes yang menimpa gue, gue kasih waktu 10 menit. Tapi setelah itu please, gue minta lo pergi dari sini. Oke?” ucapku pada Madha. Mataku mulai berkaca.
“Yaelah, GR amat jadi cewek.”
“Heh, maksud lo apa?”
“Siapa juga yang mau nyukurin lo. Lagian apa hak lo ngusir gue? Ini kedai kopi milik bos Projector Pictures. Pak Pumvirat yang punya, bukan lo. Siapa pun berhak datang ke sini. Lo enggak bisa, dong asal ngusir gue.”
“Mau lo apa, sih Madha?”
“Gue ke sini karena ada meeting dengan Pak Pumvirat buat proyek layar lebar baru. Gue datang kecepetan. Kebetulan gue lihat lo di sini. Gue turut sedih. Gue dengar kabar tentang lo, Chanda.”
Advertisement
Madha, Gue Minta Maaf
Mendengar ujaran Madha aku terdiam. Ingin minta maaf tapi gengsi. Makin kutahan bibir, hati kecilku makin lantang berkata ini saat yang tepat untuk minta maaf.
“Madha, gue minta maaf,” ucapku dengan nada makin melirih.
“Susah buat maafin lo awalnya. Beberapa hari setelah kita bertemu di Senayan, gue liburan ke Ubud. Belajar bikin sesaji, belajar soal ganjaran dan karma, ikut ibadah di pura, dan lain-lain. Entah kenapa saat itu gue mulai tenang dan berdamai dengan diri sendiri.”
Madha melanjutkan, “Gue ingat kata Bunga Citra Lestari. Dia bilang ke infotainment kala itu kalau patah hati, sah-sah saja menangis dua atau tiga hari di kamar. Tapi setelah itu sadari bahwa hidup harus dilanjutkan. Jujur gue menangis 4 hari. Lalu ke luar rumah. Puncaknya gue kabur ke Bali. Ngapain gue nangis sementara lo tertawa bahagia dengan bintang sinetron itu. Rugi amat hidup gue menangisi orang yang sedang bahagia-bahagianya?”
Sudut Pandang yang Bergeser
Lagi-lagi aku hanya bisa diam. Madha menyeruput secangkir teh hijau.
“Pulang dari Bali, sudut pandang gue tentang lo bergeser. Gue maafin lo. Gue harap Agha pemberhentian terakhir lo. Meski ternyata enggak. Jujur, Agha sebenarnya lebih beruntung dapat lo daripada dapat Lika,” beber Agha sembari menatapku.
“Hah? Lika tuh santun, lembut orangnya,” aku menyahut.
“Tampak dari luar, kan? Lagian lo udah berapa tahun, sih di dunia showbiz? Belum pernah dengar istilah pencitraan?”
“Jadi lo maafin gue kan, Madha?”
“Sini, gue peluk.”
Madha memelukku erat.
Advertisement
Indikator Kedewasaan
“Jangan GR, ini pelukan sahabat,” seloroh Madha.
“Najis! Gue juga ogah balikan sama lo,” cetusku sambil menepuk punggungnya.
“Yakin? Enggak kangen spageti tuna rawit ala Chef Madha?”
“Kangen, sih.”
“Salah satu kedewasaan seseorang katanya diukur saat hubungannya dengan seseorang berakhir. Kalau setelah putus, dia masih sambung silaturahmi, itu artinya dia dewasa menyikapi pertemuan dan perpisahan.”
“Madha, gue pengin lebih dewasa. Bantu gue, ya?”
(Selesai)
(Anjali L.)
Disclaimer:
Kisah dalam cerita ini adalah milik penulis. Jika ada kesamaan jalan cerita, tokoh dan tempat kejadian itu hanya kebetulan. Seluruh karya ini dilindungi oleh hak cipta di bawah publikasi Liputan6.com.