Liputan6.com, Jakarta Benar saja. Keesokan paginya Agha menjemputku. Kami berangkat ke lokasi syuting di Bintaro. Biasanya sebelum aku berangkat syuting, Madha video call, tapi pagi itu tidak. Aku maklumi mengingat terakhir video call, ia kurang enak badan. Sementara kegiatan terus berjalan. Setidaknya masih bisa setor muka lewat foto yang dikirim via WhatsApp.
Kali pertama diizinkan menjemput, Agha serasa mendapat izin untuk hari-hari berikutnya. Entah mengapa aku merasa nyaman di sisinya. Dua minggu berlalu, aku merasa bersalah. Jatuh cinta pada Agha, lalu bagaimana dengan Madha?
“Kalau lo memang pengin jalan sama gue, boleh aja. Tapi gue enggak mau disangka pebinor-lah, perebut bini orang-lah, dibilang teman makan temanlah. Ya meski sebenarnya...,” ujaran Agha itu terus terngiang di benakku.
Advertisement
Baca Juga
Perhatian Agha yang menyaingi Madha membuatku berada di ambang bimbang. Beberapa minggu berlalu, kujalani hari dengan membagi hati menjadi dua sama rata. Tapi aku bukan Tuhan atau Nabi yang bisa berlaku adil.
Hatiku Berat Padanya
Hatiku berat sebelah. Sialnya, berat ke Agha. Usai syuting Cinta dan Khianat, Madha mengajakku bertemu di salah satu mal kelas priayi di Senayan, Jakarta, Minggu sore. Aku menyanggupi karena Minggu libur syuting. Sore itu, saat aku melihat Madha entah mengapa terasa lain. Tak sehangat dan seantusias dulu.
Dia datang membawa banyak oleh-oleh dari kaus, cokelat, cincin emas putih, hingga cover ponsel. Itu tak lagi membuat hatiku menggelora. Madha memulai percakapan dengan minta maaf karena belakangan komunikasi tak seintens dulu. “Mungkin terdengar klise, aku minta maaf untuk komunikasi yang merenggang tiga bulan ini. Sibuk syuting memang enggak bisa dijadikan excuse. Maaf ya,” pintanya.
“Enggak usah minta maaflah. Kita berdua memang sudah enggak sehangat dulu,” jawabku sambil menilik tas berisi oleh-oleh.
“Sorry, maksudnya bagaimana nih, Chan?”
“Ya gue kecewa lo hambar hanya gara-gara syuting.”
“Hanya? Kita pacaran berawal dari passion yang sama. Seni. Sekarang seni kamu bilang hanya? Tunggu, sejak kapan kamu pakai kata gue?”
Advertisement
Terusik Oleh Pacar Sendiri...
Melihat wajah Madha yang kebingungan sejujurnya aku tak enak hati. Aku sendiri bingung dari mana aku dapat keberanian untuk memulai pertengkaran ini.
Sejak berangkat ke Senayan, aku antusias chat dengan Agha. Begitu tiba di mal dan melihat Madha aku merasa kehadirannya mengganggu keasyikanku mengobrol dengan Agha.
Sampai di sini, aku merasa terusik. Lebih tepatnya, terusik oleh pacar sendiri. Kami duduk berdua, tapi aku merasa berjarak dengan Madha. Entah keputusanku sore itu hanya luapan emosi sesaat atau memang telah dipersiapkan.
Aku, Gue, dan Saya
“Apa bedanya aku dengan gue dan saya?” tanyaku pada Madha.
“Kamu marah karena kita jarang video call selama syuting? Kita masih bisa perbaiki ini, kan Chan? Lagipula ini bukan kali pertama kita bermasalah soal komunikasi, kan?” Madha mencoba meyakinkanku.
“Justru karena ini bukan pertama kali makanya gue merasa bodoh terjebak masalah yang sama dengan orang yang sama. Lo paham enggak, sih?”
“Oke, aku paham. Kasih aku kesempatan untuk memperbaiki kesalahanku ini, Chan.”
Advertisement
Aku Sudah Mati Rasa
Oh, come on! Kesempatan kedua jelas makin menyulitkanku. Enggak. Aku enggak mau memberi kesempatan lagi. Aku kadung menikmati cara Agha yang eksentrik. Lagipula kesempatan dengan Agha tidak datang dua kali. Jadi ini waktu yang tepat untuk berpisah. Dengan Madha aku sudah mati rasa. Setahuku, rasa tak bisa dipaksakan.
Aku menetapkan hati untuk mengakhiri ini. Aku putuskan tidak memberi Madha kesempatan untuk memperbaiki masalah komunikasi yang sejujurnya tidak ambyar-ambyar amat.
“Enggak. Menurut gue enggak setiap orang berhak mendapat kesempatan kedua atau ketiga,” jawabku datar.
“Artinya, kesempatan kedua dan ketiga hanya untuk orang-orang spesial di hati kamu?” Madha merespons.
“Ya.”
“Dengan kata lain aku bukan orang spesial lagi buat kamu.”
“Harus banget gue jawab?”
“Aku enggak bertanya, lo. Barusan aku menyimpulkan. Sejak kamu datang tadi, air mukamu datar. Caramu memandangku tidak lagi berbinar. Sudah berubah.”
Jadi Cenayang
“Oh pulang dari luar negeri lo jadi cenayang sekarang? Oke, sip. Gue cabut, deh,” kataku sekalian menutup obrolan yang garing ini.
“Ya sudah. Ini aku ada...,” ucap Madha sembari mengeluarkan paper bag dari dalam ranselnya.
“By the way Mad, gue enggak minta oleh-oleh dan enggak perlu juga lo ngasih gue lagi.”
“Yang di paper bag ini bukan buat kamu tapi mamamu. Dua hari lalu dia telepon, nitip sesuatu. Aku sanggupi dan aku anggap ini amanat. Jadi harus ditunaikan dan disampaikan. Tapi tampaknya kamu keberatan. It’s oke. Aku kirim via ojol saja.”
“Bilang, dong kalau buat Mama. Gue, kan jadi ke-GR-an.”
“Enggak usah, besok pagi saja aku kirim via ojol. Thank you sudah menemuiku dan mau berkata jujur.”
Advertisement
Sebahagia Itu...
Aku langsung berdiri dan membalik badan. Aku pulang dengan Kang Manu. Sore itu aku benar-benar pulang. Tak menoleh ke belakang, ke arah Madha sama sekali. Yang di benakku hanya Agha. Di dalam mobil, aku langsung cek WhatsApp. Ada 7 pesan dari Agha. Oh, jadi begini rasanya disayang dan diperhatikan.
Sebahagia itu aku mendapat pesan Agha. Sore itu untuk kali pertama aku bertanya kepada diri sendiri: kenapa, sih harus ada hari Minggu? Kenapa, sih harus libur syuting dan melihat muka Madha?
7 Pesan
“Sudah sampai Senayan?”
“Cieee... ketemuan sama Tuan Muda lagi setelah tiga abad eh, tiga bulan.”
“Wah, sudah 10 menit enggak di-read. Fix lagi ayang-ayangan, nih sama Tuan Muda. Apalah artinya hamba yang hanya remah-remah rengginang di dasar stoples biskuit ini.”
“Bantu hamba bersabar menanti balasan, ya Lord...”
“Tidur ah, siapa tahu besok pagi melek mata cek WhatsApp sudah dibalas.”
“Kalau enggak dibalas juga, ya tidur lagi enggak usah syuting. Laporan sama koordinator lapangan kalau sakit liver alias sakit hati.”
“Oke, belum dibalas juga. Hamba koprol dulu ke Slipi, siapa tahu dari Slipi bisa ngintip yang lagi pacaran di Senayan.”
Advertisement
Kesambet Cinta Mas-mas Bad Boy
Membaca chat beruntun dari Agha ini, aku senyum-senyum sendiri. Agha, Agha... selalu ada cara untuk bikin aku terhibur. Besok panggilan syuting pagi. Hei kamu Agha, siap-siap dapat kabar bahagia dariku. Tak ada lagi penghalang bagi hubungan kita!
“Senyum-senyum sendiri, Mbak. Saya khawatir Mbak kesambet,” celetuk Kang Manu.
“Kesambet cinta mas-mas bad boy, Kang,” jawabku sambil membalas pesan Agha.
“Mirip judul FTV ya, Mbak. Biasanya rating dan share-nya tinggi meski ditayangkan ulang.”
(Bersambung)
(Anjali L.)
Disclaimer:
Kisah dalam cerita ini adalah milik penulis. Jika ada kesamaan jalan cerita, tokoh dan tempat kejadian itu hanya kebetulan. Seluruh karya ini dilindungi oleh hak cipta di bawah publikasi Liputan6.com.