Liputan6.com, Jakarta Senin pagi kini menjadi hari paling dinanti dan bikin deg-degan. Aku bangun subuh, mandi, dandan karena jam 7 pagi sudah ada yang menjemput. Dan ya, Agha hari itu tampak santai dengan celana jin biru belel, kaus hitam V-neck, dan kacamata Ray-ban. Aku masuk ke mobil dan langsung mencium pipi kirinya.
Pipi yang enggak bersih karena berewokan belum dicukur. Masa bodo. Mendapat ciuman dariku, Agha mengernyitkan dahi. Aku menaruh bekal sarapan di jok belakang dan tanpa diminta menjelaskan duduk persoalan.
Advertisement
Baca Juga
“Sengaja aku enggak cerita di WhatsApp karena mau menyampaikan ini secara langsung. Kemarin aku dan Madha selesai. Aku pilih kamu,” aku memulai obrolan. Dan bibir Agha menganga.
Agha Menciumku
Tanpa diminta dia menciumku kemudian memelukku. Belum pernah aku sebahagia pagi ini. Tanpa kata, ia bergegas mengemudikan mobil menuju lokasi syuting. Saat itu aku membisukan akun Instagram Madha, baik unggahan maupun Instagram Stories. Kalau ku-unfollow, warganet yang budiman pasti heboh. Belum akun gosip mengintai 24 jam nonstop.
Kami menjalani syuting seperti biasa. Tak ada ritual khusus pacaran seperti yang biasanya dilakukan Madha. Karena bagi kami, setiap hari adalah pacaran. Lokasi syuting mendadak terasa indah. Jadi tempat yang selalu kurindukan. Persetan dengan omongan kru dan lawan main di belakangku.
Advertisement
Diam Bukan Berarti Tak Mendengar
Aku diam bukan berarti tak mendengar selentingan yang menyebut, “Chanda dan Agha pacaran?” Atau yang nyinyir bertanya, “Gara-gara cinlok mas aktor ganteng dikepret gitu aja?” So what gitu, lo. Ini hidupku. Suka-suka aku karena akulah yang pegang kendali. Bukan mereka.
Yang kusyukuri, hari ini syuting berjalan ringkas. Adegan yang melibatkanku sedikit. Jam 9 malam aku sudah sampai rumah. Sayangnya Agha mesti menjalani adegan bertengkar dengan pria selingkuhan ibunya. Alamat sampai malam ini, mah.
Tiba di rumah, ada Ian, sahabat sekaligus tempat curhat-ku selama ini. Agak aneh ujug-ujug ia datang tanpa pemberitahuan dan sekarang asyik mengobrol dengan Mama. Topiknya bisa ditebak dari nostalgia bareng Shania Twain sampai membahas di mana istimewanya Ariana Grande.
Tanya Ian
Selesai mandi, aku menemui Ian. Mama beringsut ke kamar, menonton program berita politik yang sering membuatnya uring-uringan sendiri.
“Tumben datang tanpa kabar, ada apose?” tanyaku sambil selonjoran di ubin teras yang anyep.
“Iya, ih. Biasanya Minggu kita berjumpa manja di kafe sekarang lo jarang nongol,” ujarnya sambil menyeruput teh hangat. Ia melanjutkan, “Chan, sorry nih, gue mau tanya tapi no hard feeling, ya Beb. Lo benar jadian sama Agha?”
Advertisement
Bingung Merangkai Kata
Nah. Aku bingung sekarang. Sengaja aku sembunyikan hal ini dari Ian sambil merangkai kalimat yang pas dan masuk akal. Meski aku sadar, enggak mungkin berlama-lama menyembunyikan ini darinya.
Ian itu seperti tong sampahku. Masalah se-njelimet apapun kalau dibuang ke Ian hasilnya selalu sesuai harapan. Plong seketika. Apa jadinya aku kalau enggak punya sahabat yang pintar menjaga rahasia seperti dia.
Malam itu, mendengar pertanyaan Ian, aku jadi enggak nyaman. Entah mengapa. Ada rasa gerah, waswas, enggak siap. Entah apalah namanya.
Pacaran Dengan Agha Tidak Tepat?
“Oh, si Madha ngadu sama lo?” tanyaku penuh selidik.
“Enggak. Gue sama Madha, kan enggak dekat,” ia merespons dengan tersenyum.
“Terus, tahu dari mana lo kalau gue jadian sama Agha?”
“Chan, sebagai sahabat gue cuma mengingatkan dan berharap keputusan lo tepat. Enggak menimbulkan penyesalan di kemudian hari.”
“Maksud lo? Lo mau bilang gue pacaran sama Agha, tuh enggak tepat?” Tahu dari mana kalau Agha sama gue enggak tepat kalau kami enggak mencoba?”
Advertisement
Emosiku Menanjak
Emosiku mulai menanjak.
“Ya kita, tahu sama tahu rekam jejaknya kayak apa. Orang bilang Agha spesialis cinlok. Pemain cinta. Gue enggak mau ini terjadi sama lo.”
“Eh tunggu, deh. Lo ke sini sebagai sahabat atau sebagai Tuhan? Enak banget mulut lo menghakimi orang? Gue tanya sama lo sekarang: Lo korbannya Agha? Pernah pacaran dan diputusin sama Agha?”
Suasana kemudian hening. Aku ingat betul malam itu Ian belum sempat menjawab lalu kubombardir dengan pernyataan berikutnya.
Wajah Ian berubah
“Oh ya, enggak mungkinlah lo diputusin Agha. Agha, kan enggak sekong kayak lo! Lagian lo aja naksir cowok pengunjung kedai kopi dari zaman baheula sampai sekarang juga enggak berani bilang, kan. Beraninya cuma ngelihatin sambil diam-diam motret dari kejauhan pakai ponsel. Jomblo enam tahun kayak lo sok-sokan nasihatin gue soal rekam jejak. Enggak salah, nih?” ucapku dengan nada tinggi.
Saat itulah aku melihat wajah Ian berubah. Ia menyembunyikan ekspresinya dengan menghabiskan teh manis hangat.
Advertisement
Kepergian Ian
“Sorry kalau perkataan gue menyinggung, Chan,” jawabnya seraya mencoba untuk tersenyum.
“Bagus kalau lo nyadar.”
“Aku pamit, ya.”
“Gih!”
Tanpa banyak bicara, Ian kemudian pulang. Aku langsung masuk kamar tanpa mengantarnya sampai ke pintu gerbang. Tanpa cipika-cipiki. Hatiku panas. Entah mengapa aku merasa seperti dihakimi.
Aku hanya ingin bahagia dengan mengikuti kata hati. Titik. Untungnya panas di hati ini tak bertahan lama. Baru rebahan di kamar, Agha kirim foto sedang di kolam renang bersama dua keponakannya. Oh, so sweet.
(Bersambung)
(Anjali L.)
Disclaimer:
Kisah dalam cerita ini adalah milik penulis. Jika ada kesamaan jalan cerita, tokoh dan tempat kejadian itu hanya kebetulan. Seluruh karya ini dilindungi oleh hak cipta di bawah publikasi Liputan6.com.