Liputan6.com, Jakarta “Wow, apa gue melewatkan sesuatu?” tanyaku, pada Riga yang tampak panik lalu menutupi kekagetan dengan menenggak air mineral dalam botol. Dion juga syok, ia bergegas memungut jaketnya di lantai. Tanpa sepatah kata, Dion yang mengenakan celana pendek dan kaus hitam berjingkat keluar ruangan sambil menunduk.
Pandanganku mengikuti langkah pemuda berbadan tegap dengan kulit sawo matang ini. “Celana boxer-mu ketinggalan di sofa, tuh!” ketusku. Dion menoleh ke belakang lalu buru-buru mengambil pakaian dalamnya. Setengah berlari, Dion keluar kemudian menutup pintu dari luar. Aku kembali menatap Riga. Kali ini ia duduk sambil menarik napas panjang.
Advertisement
Baca Juga
Aku meletakkan macaroni schotel di meja rias lalu duduk karena kaki mulai lemas. Perlahan terlintas wajah sejumah kru yang tadi menatapku dengan iba. Jangan-jangan mereka sudah tahu bahwa selama ini Riga sering mengundang laki-laki ke lokasi syuting tanpa sepengetahuanku.
Kayak Dialog Sinetron
Dan jangan-jangan, Dion hanya salah satu dari sekian banyak koleksi Riga di belakangku? Pada detik itu, aku sudah tidak bisa berprasangka baik lagi pada Riga. Yang kunantikan satu, klarifikasi detail soal apa yang baru saja terjadi.
“Elina, aku bisa jelaskan semua ini,” Riga memulai pembicaraan sambil menatapku.
“Ini, kok kayak dialog sinetron atau film drama level FTV. Kalau ada cowok atau cewek kepergok mesra sama lawan jenis, mereka selalu bilang, ‘Aku bisa jelasin semua ini.’ Atau ngomong, ‘Ini enggak seperti yang lo lihat.’ Gue enggak ngerti jangan-jangan selama ini lo menganggap hubungan kita kayak sinetron stripping. Penuh kepura-puraan dan akan ada episode akhir yang entah kapan tayangnya,” jawabku, panjang.
Advertisement
Kenal di Kelab
Riga terdiam. Aku menuntut jawaban jujur, sepahit apa pun itu. Aku terus mendesaknya. Aku mengancam bakal terus di ruangan sampai ia berkata jujur. Sebenarnya, aku tak tahu pakaian dalam yang tergeletak di sofa itu milik siapa. Mengingat, di ruang artis kadang beberapa pemain ganti baju dalam satu ruangan.
Ndilalah, saat kutegur soal celana boxer, Dion malah berbalik dan mengambilnya. Lebih dari lima menit, kami saling diam. Aku terus menatap Riga dengan hati terendam kecewa. Sementara ia berpikir seolah sedang memilih kata yang pas.
“Aku kenal Dion saat lagi dugem di salah satu kelab di Gatot Subroto. Kami bertukar nomor ponsel. Enggak ada kecurigaan apa-apa sampai dia WhatsApp duluan. Habis itu dia ngajak ketemuan. Sejak itu memang jadi dekat, lalu…” Riga bercerita. Sampai di sini, aku tak mau dengar lagi.
Apa Dion Cowok Pertama?
“Jadi si Dion ini cowok pertama yang kamu temui? Sorry, saat ini aku sudah enggak bisa berprasangka baik lagi sama kamu. Aku menduga dia bukan cowok pertamamu. Sekali lagi, sorry ya, Rig,” aku menyela.
Air mukanya seketika berubah. Riga kemudian berdiri, menghadap dinding, menarik napas dalam-dalam.
“Kamu ngajak aku pacaran ini dalam rangka menguatkan status sosial sebagai laki-laki? Ini pencitraan di depan infotainment kayak vokalis band yang kemarin mengundang sejumlah wartawan hiburan untuk meliput dia makan malam bareng cewek padahal sendirinya gay?” tanyaku, menahan kesal. Riga menoleh ke arahku.
Advertisement
Sembuh? Memangnya Kamu Sakit Apa?
“Bisa enggak, bahasamu diperhalus sedikit?” pintanya.
“Apa bedanya, sih Riga? Mau diperhalus kayak apa faktanya tetap sama, kan? Lo indehoi dengan sesama di belakangku.”
Riga minta kesempatan untuk memperbaiki keadaan. Saat itu aku mempertanyakan motivasinya untuk tetap mempertahankanku. Dia mengaku ingin sembuh. Sampai di sini aku malah semakin bingung.
“Sembuh? Memangnya kamu sakit apa, sih Rig? Aku enggak menganggap orang kayak kamu ini sakit, lo. Manajer aku pun terang-terang mengaku soal orientasinya. Dan aku enggak menghindarinya karena takut ketularan. Serius, sekarang aku benar-benar bingung dengan konteks sembuh versimu,” kataku.
Kedepankan Empati
Aku enggak setuju LGBT. Namun jika ada orang di sekitarku mengaku demikian, aku bisa menerima keputusannya. Aku enggak berubah dan tetap dekat dengan mereka. Mengapa? Bukan soal agama atau apa pun itu.
Aku menerima atas dasar empati. Aku hanya membayangkan andai mereka itu aku atau kakakku, enggak terbayang, sih rasanya dijauhi atau dirundung hanya karena perbedaan pilihan hidup. Selama mereka tak menyakitiku atau mengganggu hidupku, tak masalah. Menghadapi Riga pun aku berusaha tetap tenang dan mendahulukan empati.
Advertisement
Apa Kamu Menikmatinya?
Perkara hati hancur, itu urusan nanti. Lagipula ini bukan kali pertama aku patah hati. Jadi, aku sudah punya referensi jika hati hancur untuk kali kesekian.
“Kamu mau kita putus?” Riga bertanya.
“Jawab dulu dua pertanyaanku, Riga? Pertama, apa Dion orang pertama? Kedua, apa kamu menikmatinya? Jujur saja, sepahit apa pun gue bisa terima, kok,” aku balik bertanya.
“Dion orang kesekian. Aku enggak ngitung. Dan aku menikmatinya. Kayak nyandu.”
“Oke, kalau kamu mau putus, aku siap sekarang,” ujarku dengan yakin. Entah dari mana kudapat keyakinan itu.
Riga Belum Selesai Dengan Diri Sendiri
“Enggak sesimpel itu, Elina. Nanti kalau mama papamu bertanya soal aku, gimana?”
“Riga, lo itu tipe orang yang sebenarnya belum selesai dengan diri sendiri. Berkata jujur ke pacar sendiri saja mesti berpikir lima menit dan mesti ditunggui. Apa kabar lo mau menyelesaikan urusan gue sama mama dan papa?” ucapku ketus.
“Itu ada macaroni schotel. Jangan khawatir, kalau lo mau nambah atau kangen, tinggal WhatsApp gue. Nanti Mang Danu yang antar. Gue pamit,” aku menyambung.
Advertisement
Kunjungan Terakhir
Riga mencegat langkahku dan memelukku. Ia mengecup keningku. Seperti yang sudah-sudah, aku tak merasakan apa-apa. Hambar. Aku masuk ke mobil. Mang Danu terkejut dan menanyakan tumben kunjungan ke lokasi syuting berlangsung ekspres. Biasanya tiba siang, pulang sore. Atau tiba sore, pulang larut malam.
“Kunjungan terakhir, Mang. Jadi singkat saja,” beri tahuku. Mang Danu tak berani bertanya lagi. Mobil bergerak. Aku meluncur ke Instagram untuk menyapu geram.
Yang kulihat kali pertama di sana adalah unggahan Riga. Ia mengunggah foto matahari terbenam dengan keterangan, “Siang berakhir, esok surya kembali lahir.”
(Bersambung)
(Anjali L.)
Disclaimer:
Kisah dalam cerita ini adalah milik penulis. Jika ada kesamaan jalan cerita, tokoh dan tempat kejadian itu hanya kebetulan. Seluruh karya ini dilindungi oleh hak cipta di bawah publikasi Liputan6.com.