Liputan6.com, Jakarta Hujan tak kunjung tiris. Sore itu, aku hanya bisa meringis. Sudah dua jam menanti dari jam 6 sore, ternyata supir pribadiku memberi kabar bahwa mobil kami mogok gara-gara melintasi genangan air. Walhasil, aku harus lebih sabar lagi menanti sambil menyelesaikan adegan akhir. Aku, Elina Falguni, tengah menyelesaikan film anyar Seperti Cintanya.
Lawan mainku, Pradipta Andika, sibuk menenangkanku. Kali ini, Dipta membaca dua kegelisahan di wajahku. Pertama, soal hujan yang enggan mereda. Kedua, soal kisah cintaku yang belakangan makin kusut.
Advertisement
Baca Juga
Baru kali ini aku jadi lawan mainnya. Entah kenapa, aku dan Dipta seolah sudah kenal belasan tahun. Dalam Seperti Cintanya, aku memerankan Alisa. Dipta menjadi Kanda. Adegan terakhir mengharuskan keduanya bertengkar dan saling tampar.
Kepala Keliyengan, Pipi Panas
Enam kali take, adegan ini akhirnya beres. Kepala keliyengan, pipi panas. Maklum, sutradara film ini yakni Arsa Budiaksa meminta adegan ini meletupkan emosi. Biar emosi, aku dan Dipta memutuskan saling tampar serta teriak betulan.
“Cut!” teriak Arsa yang membuat kami berdua seketika menarik napas lega. Aku sendiri sampai menangis betulan saking capai berteriak, kepala pusing, dan pipi perih seperti tersundut rokok.
Sambil menanti hujan yang masih congkak, aku duduk selonjoran di teras rumah yang didekor sebagai kontrakan karakter Kanda. Sambil menarik napas panjang, aku menikmati bau tanah basah.
Advertisement
Kayaknya Riga Gay
Dipta duduk di sampingku sambil menawarkan pisang goreng buatan Mang Danu, pembantu umum kesayangan kami semua. “Soal supirmu, sih mending disuruh pulang saja. Mobil ditaruh di bengkel. Toh, gue bisa antar lo pulang. Rumah masih di Cilandak, kan? Gue di Pondok Indah. Sama-sama Selatan, kan?” Dipta memulai obrolan.
“Kayaknya Riga gay,” sahutku sambil menatap dahan-dahan pohon yang terguyur hujan. Dipta syok sampai tersedak.
“Lo kalau mau kasih topik bahasan baru, bilang dulu, kek! Gue bahas gimana cara lo pulang, lo malah ngebahas cowok lo gay!” serunya lalu menyeruput wedang jeruk nipis, masih buatan Mang Danu.
Mandinya Lama Banget
“Oke, anggap topik pulang syuting sudah clear. Sekarang jelasin ke gue kenapa lo yakin Riga gay,” kata Dipta sambil meletakkan cangkir. Dia menatapku serius.
“Mandinya lama banget. Gue yang cewek saja kalah lama. Sekalinya keluar kamar mandi, buset baunya kayak peri. Gue kalah wangi, Dip,” jawabku.
“Sayangku, sejak kapan durasi mandi bisa dijadikan indikator seseorang itu gay atau lesbi? Don’t be shallow. Jangan bikin gue ilfil karena lo gue anggap salah satu artis cerdas di negara ini.”
Advertisement
Enggak Pernah Diapa-apakan
“Itu dugaan awal, Dip. Lo tahu selama pacaran gue enggak pernah diapa-apakan,” beri tahuku.
“Hei, siapa tahu dia lagi rajin ikut perkumpulan religius. Sekarang, kan lagi tren artis hijrah. Lo belum dinikahi tapi ngarep diapa-apain ya berarti lo kegatelan. Coba jelasin dengan lebih masuk nalar kenapa ujug-ujug lo menduga Riga gay. Jangan sampai pacaran empat tahun ambyar gara-gara dugaan lo yang enggak beralasan,” Dipta memperingatkan. Sampai di sini, aku bingung mulai menjelaskan dari mana.
Riga Beda dengan Evan
Benar, tak ada bukti autentik yang memastikan Riga gay. Dia juga tak punya aplikasi khusus LGBT untuk bersosialisasi atau perilaku yang mencurigakan. Seperti ngondek, misalnya. Toh zaman sekarang ngondek bisa dijadikan profesi seperti untuk melawak.
Memahami bahasa gaul dan kegemaran memakai kaus ketat yang memperlihatkan bentuk tubuh juga tak lantas membuat seorang laki-laki layak dituduh gay.
Yang kuingat, saat merayakan ulang tahun jadian pertama di Menjangan, Bali. Kami berciuman dan anehnya, aku tak merasakan chemistry apa pun. Beda dengan ketika aku dipacari Evan.
Advertisement
Tentang Prasangka
Lagi-lagi, ini pun tak bisa dijadikan acuan. Beda orang, kan beda gaya dan selera. Istilah kasarnya, beda rasa. Hujan akhirnya reda. Aku diantar pulang Dipta. Pertanyaan Dipta gagal kujawab. Besok libur syuting.
Aku akan bikin kejutan dengan mengunjungi Riga di lokasi syuting sinetronnya dengan membawa makanan favoritnya. Sebelum turun dari mobil, Dipta mengingatkanku untuk berpikir jernih.
“Prasangka, kalau dibiarkan akan menjelma jadi akar yang leluasa menembus tanah. Makin lama didiamkan, makin sulit dicabut,” ia mengingatkan. Aku hanya mengangguk.
Makin Kuat Dugaanku
Makin kuingat nasihat Dipta, makin kuat dugaanku. Bagiku ini sangat aneh. Setelah mandi dan pakai piyama, aku rebahan di ranjang sambil menghubungi asisten pribadi Riga, Rini, buat memastikan jadwal syutingnya.
“Rin, besok Riga dapat panggilan syuting jam berapa?” tanyaku lewat sambungan telepon.
“Ya, seperti biasa Mbak. Riga mah panggilan pagi melulu,” cetus Rini.
Keesokan paginya, aku memasak macaroni schotel bareng Mama. Satu loyang kecil sengaja kusisihkan untuk kubawa ke lokasi syuting.
Advertisement
Riga dan Dion
Jam 9 pagi aku berangkat dari rumah menuju lokasi syuting sinetron, di Bintaro. Tiba di sana, beberapa kru menyambutku dengan senyum. Yang lain melihatku dengan tatapan aneh antara tak enak hati atau malah kasihan?
Tak tahan mendapat tatapan seperti ini, aku mempercepat langkah menuju ke ruang artis. Sampai di sana, aku langsung membuka pintu. Riga yang sedang telanjang dada syok. “Kenapa enggak bilang kalau mau ke sini, sih?” sapanya, panik.
Belum sempat kujawab. Yang kulihat di ruang artis membuatku lebih panik. Riga dengan Dion. Berdua.
(Bersambung)
(Anjali L.)
Disclaimer:
Kisah dalam cerita ini adalah milik penulis. Jika ada kesamaan jalan cerita, tokoh dan tempat kejadian itu hanya kebetulan. Seluruh karya ini dilindungi oleh hak cipta di bawah publikasi Liputan6.com.