Liputan6.com, Jakarta Oh my God! Tasya Adriana mendadak mengganti rute perjalanan dari Vietnam ke Phuket, Thailand. Terbiasa pelesir ke Amerika Utara, Eropa, sampai Afrika Selatan, ia malah belum pernah keliling Asia. Sekalinya ke Asia, bingung mau negara yang mana dulu. Jangankan Vietnam, ke Singapura pun belum pernah.
Kalau pun pernah, dalam rangka transit beberapa jam di Bandara Internasional Changi. Luar biasa, mbak model yang satu ini. Setelah menggalau selama 3 hari, Tasya mengabariku pengin jalan-jalan ke Phuket dan mampir ke Phi Phi Island yang dulu dipakai syuting Leonardo DiCaprio untuk film The Beach.
Advertisement
Baca Juga
Well, aku juga belum pernah ke Thailand, sih. Jadi hayuk aja. Singkat cerita, kami berlibur ke Thailand berdua. Ya ampun, dua ladies jalan-jalan ditemani fotografer profesional ternyata seru banget. Kami menginap di hotel bintang lima di kawasan Patong.
Berpisah di Bandara
Rutenya, mengunjungi pulau-pulau eksotis di Phuket selama lima hari, cukup. Kemudian mampir ke Pattaya dan berakhir di Bangkok untuk belanja apalah-apalah. Entah berapa ribu foto yang sudah diambil, aku percaya saja pada pilihan fotografer.
Yang paling keren, dikirim ke ponselku. Feed akun Instagramku isinya foto-foto artistik dengan latar berbagai lanskap Thailand yang elok. Hari terakhir di Thailand, rasanya ogah pulang. Mau memperpanjang liburan, tapi enggak enak sama Pak Janu. Ya sudah, liburan jilid dua di Vietnam atau Malaysia boleh kali, ya? Asia dulu dihabiskan baru menjelajah Eropa dan Amerika, amin!
Berpisah di bandara internasional Soekarno-Hatta, Tasya berkali-kali mengucap terima kasih. “Gue enggak nyangka lo partner liburan yang seasyik itu. Enggak resek, easy going, enggak banyak cing-cong. Kenapa kita enggak kenal dari dulu sih, Vit?” celetuk Tasya sambil memelukku erat. Aku cuma bisa ngakak.
Advertisement
Cari Alasan yang Masuk Akal
Saat Tasya silam bersama sopir yang menjemput, saat itulah memoriku seperti disambar geledek. Astaga! Pernikahan Trika berlangsung tiga hari yang lalu! Ya Tuhan, kenapa aku bisa lupa sama sekali? Setidaknya, aku bisa mengutus Nani untuk menggantikanku berangkat ke Gedung Bahagia.
Seto datang menjemputku. Di dalam mobil, aku berpikir keras mencari alasan yang masuk akal mengapa batal hadir ke pernikahan Trika. Berkali-kali berpikir, rasanya mentok. Lalu, terbersit alasan menemani Tasya bedah kecantikan di Thailand. Malam itu, aku tidak bisa tidur. Aku menjawab chat Pak Janu sekenanya.
Yang ada di benakku kala itu, perasaan Trika. Seminggu kemudian, setelah hati tertata dan pikiran mulai tenang, aku memberanikan diri mengirim pesan ke Trika lewat WhatsApp. Aku bilang padanya ingin mampir ke rumah kontrakan. “Ok,” jawabnya singkat. Sudah terbayang, sih betapa kecewanya Tri.
Tasya, Tuh Mulutnya Comel
Jam 8 pagi, aku meluncur ke rumah kontrakan Trika. Kuketuk pintu dua kali, Trika membuka pintu dengan ekspresi wajah datar. Ia mengenakan kaus lengan panjang hitam polos dan rok panjang warna senada. Aku masuk, memeluknya, dan meminta maaf.
“Tri, sorry. Beberapa hari habis lo mengantar undangan, Tasya minta ditemani bedah kecantikan di Thailand. Operasinya, sih sebentar tapi dia pengin perawatan pascaoperasi sekalian. Gue enggak punya pilihan lain soalnya enggak enak hati. Tasya, tuh mulutnya comel. Kalau gue nolak terus dia ngadu ke teman-teman arisan gue yang lain, runyam gue,” cerocosku sambil duduk di ruang tamu.
“Sebenarnya lo punya pilihan lain, kok Vit,” jawab Tri sambil mengambil air mineral dari kulkas.
Deg, aku syok. Enggak menyangka Trika akan menjawab setegas itu. “Maksud lo, apa ya, Tri?” tanyaku sambil menatapnya penuh selidik.
Advertisement
Sampai Hati Menuduh Gue
“Lo punya pilihan buat berkata jujur ke gue. Lo enggak nemenin Tasya bedah kecantikan di Thailand. Lo memang niat liburan bareng dia. Lo tinggal bilang jujur, kok Vit. Enggak perlu bikin-bikin alasan kayak begini. Kelihatan konyol tahu, enggak?”
“Wah, lo sahabat gue tapi sampai hati menuduh gue, nih?” jawabku ketus.
Tri tidak merespons. Ia diam sambil mengutak-atik ponsel android yang harganya cuma dua jutaan, seolah mencari sesuatu di galeri. Beberapa detik kemudian, ia memperlihatkan tangkapan layar kepadaku. Serius, aku kaget bukan kepalang.
“Enggak nyangka seseru ini liburannya ya, Vit. Phuket, Phi-phi, Pattaya, Bangkok. Kenapa enggak sekalian riset warung ke beberapa rumah sakit, ya? Buat bahan kalau pengin permak tubuh, ha ha ha! Ini komentar Tasya. Yang kemudian hilang. Untung sempat gue screenshot. Kalau mau bohong, pastikan terbungkus rapi, Vit. Lo memang enggak bakat bohong,” kata Tri.
Trika Mengusirku
“Oh, baru tahu gue kalau lo sekarang memonitor kegiatan gue. Lo ini CCTV atau sahabat gue, sih Tri? Ya kalau gue akhirnya piknik ke Thailand memangnya kenapa? Toh gue juga enggak ngemis duit lo buat liburan!” sahutku dengan nada tinggi.
“Asal lo tahu ya, Trika. Gue ke sini bukan buat ngajakin lo ribut. Gue ke sini mau ngasih lo uang!”
“Eh, gue enggak butuh duit lo, Kavita Barata!”
“Oh, lo enggak butuh duit gue? Kalau enggak butuh duit gue ngapain lo ngundang gue ke pernikahan lo?”
“Oh, wow. Baru sekali arisan pola pikir lo berubah sedramatis ini, Vit?”
“Eh, jaga ba**t lo, ya! Enggak usah bawa-bawa geng arisan gue! Mereka sahabat gue yang enggak ngurusin urusan pribadi gue. Enggak ribet kayak lo! Tahu apa lo soal arisan tas Hermes. Biaya resepsi pernikahan lo aja enggak bisa buat beli tas Hermes arisan Monokrom!”
“Lo keluar gih!”
“Memang gue enggak mau lama-lama di rumah kontrakan ini. Rumah kontrakan sama gedung resepsi enggak ada bedanya!”
Advertisement
Unggahan dan Status Teks Trika
Baru selangkah aku keluar dari pintu rumah kontrakan, Trika melemparkan sesuatu dari belakang. Ternyata amplop berisi uang yang aku berikan.
“Gue undang lo karena gue mau sahabat gue datang menjadi saksi pernikahan. Lo enggak harus datang dengan tas seharga 1,3 miliar. Enggak harus datang dengan Alphard. Enggak harus pakai gaun batik Iwan Tirta. Lo datang sebagai Kavita yang dulu gue kenal. Itu saja,” ucap Tri dari ruang tamu rumah kontrakan. Aku diam.
“Gue sesimpel itu. Pola pikir lo yang membuat semua ini kelihatan rumit, Vit,” ucapnya sambil menutup pintu. Aku bergegas menuju mobil. Bersama Seto, aku pulang.
Seminggu berlalu sejak pertengkaranku dengan Trika. Aku unfollow akun Instagram Trika, lalu mengebloknya. Yang terakhir kulihat dari akun Instagramnya, unggahan warna hitam polos beberapa hari lalu dengan status teks, “Kelam kini menghantui, kucari sepi hidupku. Namun tak juga kujumpa tak daya kukejar hari.”
Nani Menangis Histeris
Cih, sok puitis. “Mampus lo kesepian enggak ada gue. Good bye CCTV, bhay cewek ribet,” ujarku dalam hati. Bulan demi bulan berlalu. Malam minggu, Tasya mengajakku ngopi-ngopi syantik di sebuah mal di bundaran Hotel Indonesia, Jakarta. Sambil belanja pastinya. Asyiiik!
Usai mampir ke sejumlah butik, aku dan Tasya ngopi. Kedai kopi belum tutup padahal mendekati jam 11 malam. Usai mengambil pesanan kopi dan kudapan, kami mencari tempat duduk. Aku dan Tasya duduk di bangku di sudut ruangan.
Aku langsung nyolok ponsel yang dari tadi kusenyapkan mengingat daya baterai kurang dari 10 persen. Saat nyolok, saat itulah aku tahu, Nani menelepon 8 kali. Penasaran, aku telepon balik. Nada sambung baru terdengar sekali, Nani langsung mengangkat telepon. Dari ujung telepon, ia menangis histeris.
Advertisement
Rumahku Dilempari Batu
“Eh, Nani kenapa lo?” tanyaku setengah berbisik. Colokan aku lepas, lalu beringsut ke luar kedai. Tasya tampak penasaran namun memilih diam sambil mengecek ponselnya.
“Mbak Vita, rumah Mbak Vita dilempari batu sama orang enggak dikenal…” jawab Nani terbata-bata. Lalu menangis sejadi-jadinya.
“Hah?” aku syok.
“Kaca-kaca jendela pecah, Mbak. Ini saya gemetaran karena ada botol isi minyak tanah juga yang dilempar ke teras. Saya mesti bagaimana Mbak? Pelipis Seno berdarah kena lemparan batu. Saya minta tolong Mbak,” sambung Nani lalu menangis megap-megap.
(Bersambung)
(Anjali L.)
Disclaimer:
Kisah dalam cerita ini adalah milik penulis. Jika ada kesamaan jalan cerita, tokoh dan tempat kejadian itu hanya kebetulan. Seluruh karya ini dilindungi oleh hak cipta di bawah publikasi Liputan6.com.