SHOWBIZ UNCENSORED: Aku Dilabrak Istri Sah Seorang Produser

Kisah terbaru Showbiz Uncensored kali ini tentang artis bernama Kavita Barata.

oleh Anjali L diperbarui 03 Feb 2020, 20:50 WIB
Diterbitkan 03 Feb 2020, 20:50 WIB
Showbiz Uncensored
Showbiz Uncensored

Liputan6.com, Jakarta “Kenapa harus jadi pemeran utama, sih? Honormu sebagai pemeran pendukung bisa kubuat sama persis dengan pemeran utama,” ucap Produser Janu Haridra, padaku, Kavita Barata.

Pak Janu menyampaikan ini padaku ketika kami tengah makan malam di sebuah rumah makan di kawasan Cikini, Jakarta, Januari 2019. Mendengar penawaran Pak Janu, aku sedih sekaligus bahagia.

Sedih karena lagi-lagi mimpi jadi pemeran utama kandas. Bahagia, karena tak perlu mengerjakan banyak adegan, uang melimpah. “Bagaimana? Ini win-win solution, kan?” tanya Pak Janu. Dalam hitungan detik, tangan kirinya meraih tangan kananku. Entah mengapa, kubiarkan itu terjadi.

Perempuan di Permakaman

Ilustrasi perselingkuhan.
Ilustrasi perselingkuhan. (Foto: unsplash.com)

Malam itu, akhirnya aku resmi menjadi pemeran pendukung film Perempuan di Permakaman yang diangkat dari kisah viral di jagat maya. Peranku sebagai Kina, perempuan yang mengakhiri hidup usai mendapati dirinya diperdaya dua laki-laki di kampungnya. Pemeran utama pria dan wanita telah ditentukan, yakni Kalya Hasra dan Lavanya Narwanti.

Sejumlah pemeran pendukung lain dipilih berdasarkan audisi. Aku juga. Tapi lewat audisi jalur khusus. Usai bersantap, Pak Janu memintaku agar menginap di kediamannya, di Jakarta Selatan.

 “Memangnya, istri Pak Janu enggak menanyakan kenapa Bapak enggak pulang malam ini?” tanyaku padanya. Dia diam namun tangannya sibuk membalas pesan WhatsApp.

“Pak?” tanyaku sekali lagi. Pak Janu masih diam. Barulah aku ingat. Dia pernah memintaku untuk tidak memanggilnya dengan sebutan Pak saat sedang berdua.

 

Rumah Impian di Jakarta

“Mas Janu?”

“Aku bilang ke Parvati kalau sedang ke Singapura dengan dana pribadi. Akun medsos aku matikan, WhatsApp kubuat privat. Jadi tak ketahuan pesannya sudah kubaca atau belum. Lagian, dia kan gaptek.”

Rumah Pak Janu yang berada di salah satu kawasan elit di Jakarta Selatan ini impianku sejak lama. Kapan, ya bisa punya rumah sendiri di sini? Pertanyaan itu selalu terlintas di benakku setiap kali naik ojek online melintasi daerah ini.

Dengan gaji sebagai figuran sinetron, pekerja lepas di salah satu perusahaan rintisan, dan sekali muncul jadi pemeran pendukung ala-ala di film, mau sampai beruban juga tidak akan terbeli.

Sarapan Buat Pak Janu

Saat jadi pemeran pendukung film Wajah Kuntilanak (2018), aku dikenalkan oleh manajer casting pada Pak Janu. Sepertinya, tanpa bermaksud ge-er, Pak Janu tertarik padaku.

Pagi hari, aku bangun lebih awal lalu membuatkannya sarapan nasi goreng, dengan potongan bakso, sosis, dan telur dadar yang kugulung layaknya di hotel bintang 4 atau 5. Aku juga menggoreng paha ayam. Plus teh tawar hangat. Pak Janu tampak senang.

“Di kulkas adanya ini, Mas. Maaf, ya?” sapaku sembari menghidangkannya di meja.

“Enggak perlu minta maaf, dong. Itu kulkas aku yang mengisi. Makanya, lain kali kamulah yang isi. Kan, uangnya tinggal minta ke Mas,” ujarnya.

Tunjangan Tiga Digit

Momen ini membuatku makin kepikiran. Sahabatku, Trika, bilang kalau aku sedang bermain api. Ujung-ujungnya, klasik, sih. Cepat atau lambat aku akan terbakar. Anehnya, setelah berminggu-minggu menjalani hubungan di belakang Ibu Parvati, kenapa aku tak kunjung hangus? Malah makin menikmati momen.

Akhirnya, aku menjawab ujaran Pak Janu tadi dengan berkata lirih, “Terserah Mas, saja.” Ia mendengar jawabanku, lalu mengangguk. Dan sejak itu, bukannya terbakar, aku malah kehujanan uang. Akibatnya, banjir bandang.

Perbulan aku mendapat tunjangan tiga digit. Itu belum termasuk kalau aku kerja betulan syuting film atau FTV, dibayar profesional. Pak Janu menginginkan permainan ini bergulir dengan cantik.

Ia tak pernah ikut campur kalau aku dimarahi sutradara karena berakting kurang dalam. Atau jika emosi yang kulepaskan kepada lawan main di depan kamera kurang gereget.

 

Telat Tiga Jam

Pernah, hari pertama syuting Perempuan Di Permakaman, aku dimarahi sutradara, Mas Priya, gara-gara hanya terlambat datang ke lokasi syuting tiga jam. Suasana hatiku jadi amburadul.

Malam harinya, pulang syuting, aku menuju kediaman Jakarta Selatan. Pak Janu lebih dulu sampai. Aku pun mengadu.

“Memangnya Si Priya itu enggak bisa diganti, apa? Aku tadi diomeli di lokasi syuting,” keluhku.

“Karena?” tanya balik Pak Janu.

“Telat tiga jam, aku mampir ke salon dulu,” aku menyahut.

“Terus Mas mesti memecat Priya dengan alasan memarahi pemain pendukung yang datang telat, sementara dua pemeran utama datang 30 menit lebih awal begitu?”

Aku hanya diam. Tidak berani melanjutkan komplain.

Habis Rumah, Terbitlah Mobil

Dua minggu setelah Lebaran 2019, aku diajak Pak Janu mengurus berkas-berkas kepemilikan rumah di Jakarta Selatan. Kediaman yang semula milik Janu Haridra kini atas nama Kavita Barata.

Habis rumah, terbitlah Toyota Alphard dua minggu kemudian. Sudah enggak paham lagi, sih definisi kalau bermain api kelak akan terbakar. Kuncinya, aku harus tetap profesional selama bekerja di lokasi syuting.

Pak Janu tak pernah membiarkan aku diperlakukan istimewa. Ya sudah, pintar-pintar aku membawa diri ke depan.

ART, Supir, dan Sekuriti Pribadi

Juli 2019, suatu pagi pintu kediamanku diketuk.

“Selamat pagi Ibu Kavita, saya Nani yang akan menjadi asisten rumah tangga ibu. Kalau ini, Seto supir pribadi ibu. Di sebelahnya Seto, Seno sekuriti untuk rumah ibu,” beri tahu Nani.

“Oh, kalian yang dijanjikan Bapak untuk menemani saya, ya? Masuk,” kataku.

Kepada tiga orang ini, aku memberi tahu apa yang mesti mereka kerjakan dan hak yang akan diterima setelah tugas ditunaikan. Baru selesai memberi arahan, pintu kediamanku kembali diketuk. Penasaran, aku membukanya.

Jadi Begini Tri...

“Kav, lo ke mana aja, sih? Setengah tahun lo ngilang gitu aja? Terus ujug-ujug semalam lo ngasih share location dan minta gue ke sini. Astaga Kav, kenapa mesti kayak gini, sih?” cerocos Trika, sahabat di rumah kontrakanku dulu.

“Sssssh! Sorry, sorry, gue minta maaf, Tri. Hayuk masuk ke kamar gue, yuk. Gue bisa jelasin semua ke lo,” ujarku sambil menarik Tri ke lantai dua kediamanku. Dengan raut muka bengong, Tri mau saja kugelandang ke lantai dua. Setelah pintu kututup dan kukunci, barulah aku bicara. 

"Jadi begini Tri...," aku memulai obrolan.

 

(Bersambung)

 

(Anjali L.)

 

Disclaimer:

Kisah dalam cerita ini adalah milik penulis. Jika ada kesamaan jalan cerita, tokoh dan tempat kejadian itu hanya kebetulan. Seluruh karya ini dilindungi oleh hak cipta di bawah publikasi Liputan6.com.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya