Liputan6.com, Jakarta Festival film pendek tahunan yang diselenggarakan untuk mendukung komunitas pembuat film Asia, Viddsee Juree Awards 2020 telah digelar pada Jumat, (8/10/2020) lalu. Setelah melewati serangkaian proses, film berjudul Har karya Luhki Herwanayogi akhirnya terpilih sebagai pemenang Gold Award.
Tak asing di sirkuit festival film, Har pernah mendapat nominasi Film Pendek Terbaik di Festival Film Indonesia 2018, tayang di Busan International Short Film Festival 2019, hingga International Children Film Festival Bangladesh 2020.
Baca Juga
Kepada Liputan6.com, Luhki Herwanayogi mengaku jika awalnya ia tidak terlalu berekspektasi untuk menang di ajang Viddsee Juree Awards 2020. Sebab, yang terpenting bagi sineas asal Yogyakarta ini ialah karyanya dapat dinikmati oleh banyak orang.
Advertisement
“Cukup surprise ketika mendapat kabar jika film saya mendapatkan Gold Award. Tentunya saya sangat senang, award ini menjadi hal baik. Karena bisa membuka kesempatan untuk bertemu dengan lebih banyak lagi penonton,” kata dia dalam wawancara eksklusif.
Lantas, pria lulusan Universitas Gadjah Mada ini pun menceritakan proses awal filmnya bisa masuk sebagai nominasi di Viddsee Juree Awards 2020. “Mereka mengeluarkan informasi mengenai kompetisi ini, kemudian saya mendaftar. Lalu saya diberi tahu menjadi finalis hingga akhirnya mendapatkan Gold Award,” ungkapnya.
Saksikan video pilihan berikut ini
Di Balik Film Har
Har merupakan sebuah drama keluarga yang kisahnya berfokus pada seorang bocah laki-laki kesepian. Ia hidup bersama ayahnya yang pengangguran. Sementara ibunya diceritakan bekerja sebagai TKW di Hong Kong.
Filmnya mengambil latar waktu di tahun 1998, di mana Indonesia kala itu tengah menghadapi krisis moneter dan situasi politik yang memanas. Terinspirasi dari interaksi Luhki dengan sang ayah sewaktu kecil, Har sejatinya adalah sebuah kritik bagi pemerintah yang ingin ditampilkan setelah berakhirnya masa Orde Baru.
Menurut Luhki, saat itu masyarakat Indonesia terlalu antusias dengan perubahan besar-besaran dan berharap akan kehidupan yang lebih baik. Namun hingga saat ini, Indonesia masih bergelut dengan banyaknya pekerjaan rumah yang belum terselesaikan.
“Perkara pemenuhan hak-hak dasar (disimbolisasikan dengan ketiadaan listrik di desa Har) yang hingga kini masih belum bisa dinikmati seluruh rakyat Indonesia. Permasalahan ekonomi, keputusan politik yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak, hingga masalah ketenagakerjaan,” jelasnya.
Advertisement
Tantangan Terbesar
Mengambil setting di tahun 1998, Luhki mengaku jika ia dan tim harus melakukan riset secara mendalam sebelum mengeksekusi film tersebut. Bagi dia, menghadirkan realita yang sesuai dengan kejadian kala itu adalah tantangan terbesarnya saat menggarap film Har.
“Mulai dari cerita dan latar belakang karakter, konflik-konflik yang relevan, hingga artistik dan pakaian yang dikenakan, semua berdasarkan riset,” ungkapnya.
Untuk penonton yang kurang memahami kondisi politik dan ekonomi di tahun 1998, Luhki menggambarkannya lewat sejumlah adegan. Salah satunya ketika ayah Har sedang berkumpul dengan warga, lalu mereka berbincang tentang kondisi terkini di ibu kota.
Ending Film
Film Har sebenarnya memiliki premis sederhana, yaitu bocah laki-laki, kesepian, menunggu kepulangan ibunya yang seorang TKW di luar negeri tetapi tak kunjung tiba. Namun, bagi yang sudah menonton film ini, pasti akan timbul rasa penasaran di balik ending ceritanya.
Ke mana sebenarnya ibu Har? Apa yang terjadi dengannya sehingga tidak jadi pulang? Lantas, sang sutradara mengaku jika dirinya memang sengaja merancang akhir cerita yang memunculkan pertanyaan kepada penonton.
“Saya memang tidak ingin memberikan jawaban di film ini. Karena ini adalah simbol tentang banyaknya ‘pekerjaan rumah’ yang juga belum terselesaikan tentang isu-isu di negara ini yang saya angkat dalam film,” aku Luhki.
Advertisement
Proyek Baru
Kini, Luhki Herwanayogi tengah menyiapkan proyek baru. Ia memiliki dua naskah film pendek yang siap untuk digarap. Naskah pertama mengangkat konflik hubungan beda agama, sementara yang kedua mengulas tentang isu kesehatan mental.
“Saya pikir keduanya adalah masalah penting yang kadang luput dari perhatian. Dan kebetulan saya sedang cukup menaruh perhatian dengan hal ini,” pungkasnya.
Pemilik rumah produksi Catchlight Pictures Indonesia itu juga mengatakan jika dirinya sedang mengumpulkan dana dan mencari pihak-pihak yang ingin bekerja sama untuk mewujudkan naskah tersebut.
Sebelumnya, Luhki juga pernah membuahkan dua film pendek lain, yaitu On Friday Noon serta Don’t Play Alone.
Nah, bagi yang ingin menonton film-film pendek dari sineas lokal maupun Asia, bisa langsung mengunjungi kanal Viddsee Indonesia maupun Parade Film Pendek di platform streaming Vidio.