Liputan6.com, Jakarta - Sebanyak 24 tenaga kesehatan terdiri dari dokter dan perawat yang meninggal dunia karena Corona COVID-19 di Jawa Timur.
Pada pekan ini, seorang dokter anestesi yang sehari-hari bertugas di Rumah Sakit Haji Surabaya tutup usia karena COVID-19 pada 30 Juni 2020. Selain itu seorang perawat Rumah Sakit Islam (RSI) di Jalan Ahmad Yani, Surabaya juga tutup usia setelah terpapar COVID-19.
Ketua IDI Jatim, dr Sutrisno SpOG menuturkan, jumlah dokter terkonfirmasi positif COVID-19 mencapai 88 orang, dan dari jumlah tersebut, ada 13 dokter meninggal dunia karena COVID-19.
Advertisement
Baca Juga
Sutrisno menuturkan, beban kerja turut mempengaruhi tetapi saat ini sudah dikurangi. Selain itu, penyebab meninggalnya tenaga kesehatan karena Corona COVID-19 juga ada penyakit penyerta.
"Ada yang sakit jantung, diabetes, obesitas dan ada yang tidak ada komorbidnya,” kata dia saat dihubungi Liputan6.com, Kamis (2/7/2020).
Sutrisno pun menganjurkan agar seluruh rumah sakit harus menyesuaikan dalam membentuk membagi pelayanan COVID-19 dan nonCOVID-19. Selain itu, untuk menekan penyebaran COVID-19, ia mengimbau untuk menggelar tes masif, isolasi yang positif, rawat segera pasien yang sakit dan tracing intensif setelah ditemukan kasus konfirmasi positif.
"Jurusnya 3T, dan edukasi terus menerus oleh media, tenaga kesehatan, pejabat dan tokoh masyarakat,” ujar dia.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini
146 Perawat Terpapar COVID-19 di Jawa Timur
Sementara itu, Ketua DPW Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Jatim, Prof. Nursalam mengatakan, perawat sebanyak 146 orang terkonfirmasi positif COVID-19, dan dari jumlah tersebut 11 perawat tutup usia.
"Di Surabaya sekitar 63-65 (terkonfirmasi positif COVID-19)," kata Nursalam saat dihubungi Liputan6.com.
Ia menuturkan, ada sejumlah penyebab tenaga medis tutup usia karena COVID-19. Pertama, membeludaknya pasien sehingga membuat tenaga kesehatan kewalahan. Kedua, ruangan di rumah sakit bertambah untuk pasien COVID-19 sehingga perlu diperhatikan zona dan lingkungan untuk layanan COVID-19.
Ketiga, pasien memiliki penyakit peserta dan kadang tidak mengetahui positif COVID-19. Di sisi lain, perawat yang bertugas di poli klinik hanya menggunakan alat pelindung diri (APD) level dua, dan tidak memakai baju hazmat sehingga berisiko terpapar COVID-19.
"Kemudian sistem kesehatan. Anjuran WHO untuk menjalankan new normal disebutkan mengenai sistem kesehatan tetapi ini belum berjalan. Rumah sakit-rumah sakit besar menanggi berat-berat saja, dan semua pasien di bawa ke rumah sakit, ini persoalan,” ujar dia.
Selain itu, ia juga menuturkan, ada faktor penyakit penyerta dan masuk komorbid seperti perawat yang sedang hamil juga turut mempengaruhi. Oleh karena itu, ia mengharapkan perawat ada komorbid tidak menangani layanan COVID-19.
Untuk menekan angka kematian tersebut, Nursallam menuturkan agar diterapkan tes usap atau swab kepada tenaga medis secara berkala.
"Memang ada beberapa rumah sakit tak mampu karena biaya tinggi. Banyaknya pasien juga menjadi penting bagi masyarakat untuk memiliki kesadaran patuh protokol kesehatan dan jujur," ujar dia.
Advertisement