Liputan6.com, Jakarta - Kota Surabaya, Jawa Timur masuk zona oranye COVID-19 pada Senin, 10 Agustus 2020. Hal itu juga ditunjukkan dari peta risiko COVID19.go.id yang dikelola Satgas Penanganan COVID-19 Pusat.
Juru Bicara Satuan Tugas Penanganan COVID-19 Wiku Adisasmito menuturkan, penentuan zonasi untuk metode pembobotan didasarkan pada 15 indikator terdiri dari tiga kelompok besar antara lain epidemiologi, surveillance dan pelayanan kesehatan masyarakat.
Di Surabaya, ia menuturkan, memang zona berubah dari merah ke orange. Hal tersebut bukan ditentukan dari tes saja tetapi juga jumlah kasus, kesembuhan, kematian dan penanganan.
Advertisement
"Terlihat memang zona berubah dari merah menjadi orange itu tentu terjadi bukan karena aspek tes saja tetapi penanganan kasus mulai membaik," ujar dia, Selasa (11/8/2020).
Baca Juga
Oleh karena itu, Wiku menuturkan, zonasi risiko tersebut perlu didorong untuk semakin baik menjadi kuning hingga hijau.
Wiku menambahkan, risiko peningkatan kasus COVID-19 di daerah dinamis karena terkait dengan kepatuhan perilaku protokol kesehatan yang ada di masyarakat dan kemampuan seluruh pemangku kepentingan termasuk pemimpin daerah. Hal ini untuk memastikan masyarakat dapat disiplin jalankan protokol kesehatan.
"Apa bila daerah risikonya naik kembali peringatan semua pihak di daerah tersebut untuk segera memastikan untuk segera disiplinkan," ujar dia.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini
Kota Surabaya Masuk Zona Oranye COVID-19 pada 10 Agustus 2020
Sebelumnya, sebagian besar kabupaten/kota di Jawa Timur (Jatim) kini telah berubah terkait zonasi peta risiko dari warna merah ke oranye. Terbaru yang menjadi zona oranye ialah Surabaya, Jawa Timur.
Data dari Satgas COVID-19 Jatim hingga Senin, 10 Agustus 2020, angka positif Covid-19 di Surabaya 9.751 dengan penambahan kasus 125 per hari.
Menurunnya tingkat risiko COVID dari tinggi ke sedang ini berseiring dengan bertambahnya surveilens atau pengawasan dan pelayanan kesehatan.
Berdasarkan data Satgas Penanganan COVID-19 Jatim, Senin, 10 Agustus 2020, jumlah rumah sakit rujukan COVID-19 yang semula 99 saat ini menjadi 127 rumah sakit. Ditambah lagi RS Darurat Lapangan di kawasan Indrapura, Surabaya.
Lalu mesin PCR yang tersedia kini mencapai 53 unit. Kemudian TCM sebanyak 23 unit, dalam sehari saja bisa melakukan 4.000-5.349 testing.
"Laboratorium pemeriksaan semuanya berusaha untuk menaikkan (testing), nantinya kita akan lebih representatif," ujar Ketua Satgas Rumpun Kuratif, dr. Joni Wahyuhadi, Selasa, 11 Agustus 2020.
Saat ini sudah 834.418 rapid test atau tes cepatyang dilakukan di Jatim. Artinya satu dari 48 penduduk di Jatim telah dites cepat.
Sedangkan tes swab atau tes usap, sebanyak 157.357 sampel telah diperiksa dari jumlah total 40 juta penduduk Jatim. "Testing itu PCR 1 dari 256 ribu penduduk. Jadi masih kurang," kata Dirut RSU dr. Soetomo Surabaya itu.
Joni juga mengatakan, pewarnaan risiko setiap daerah ini ditentukan Gugus Tugas pusat. Ada 15 kriteria dalam pewarnaan risiko atau zonasi tingkat risiko itu yang terbagi dalam tiga faktor besar: epidemiologi, surveilans, dan pelayanan kesehatan.
"Dari sisi epidemiologi yang paling penting, yang nilainya paling banyak 10 persen itu penurunan jumlah meninggal misalnya. Jadi bukan kumulatif, tapi penurunannya," kata Joni.
Advertisement
Masyarakat Harus Tetap Waspada
Dia bilang, evaluasi situasi penularan Covid-19 ini sebenarnya baru bisa dikatakan menurun selama 14 hari atau dua minggu. Pewarnaan, kata Joni hanya untuk memudahkan orang melihat risiko suatu daerah.
"Jadi risiko sedang misalnya, oranye, itu bukan berarti orang tidak bisa tertular. Masih bisa. Karena kasusnya masih ada. Bahkan, yang sudah hijau pun tetap harus hati-hati. Artinya protokol kesehatan tetap harus ditegakkan," ujar dia.
Pakar Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga, Dr Windhu Purnomo menuturkan, meski zonasi peta risiko COVID-19 berubah dari merah ke orange, masyarakat harus tetap waspada terhadap penularan COVID-19.
“Orange dan merah sesungguhnya zona yang tidak aman, hanya gradasi tingkat risiko orange sedikit lebih rendah dari pada merah. Harus tetap waspada,” kata Windhu saat dihubungi Liputan6.com.
“Aman hanya kalau sudah zona hijau. Semuanya tentu dengan asumsi bila data yang dilaporkan sebagai dasar pembuatan zonasi tingkat risiko adalah valid,” ia menambahkan.
Windhu menuturkan, pembuatan zonasi tingkat risiko ada potensi tidak valid lantaran kemungkinan seperti itu selalu ada pada data apapun bukan hanya berkaitan dengan COVID-19 saja.
"Baik yang disengaja atau tidak misalnya variabel tidak sesuai dengan defisinisi operasional yang sudah ditentukan, data yang dikirim tidak tepat waktu (keterlambatan),” kata dia.