Pakar Geologi ITS: Warga Surabaya Sepatutnya Waspadai Potensi Gempa Sesar Waru

Keberadaan sesar Waru memanjang dari Gresik, Mojokerto, Jombang, Nganjuk, hingga Saradan. Sesar-sesar ini masih aktif dan mengalami pergerakan setiap tahunnya rata-rata sejauh 0,05 milimeter.

oleh Dian Kurniawan diperbarui 19 Jan 2021, 18:09 WIB
Diterbitkan 19 Jan 2021, 18:04 WIB
FOTO: Melihat Dampak Kerusakan Akibat Gempa Mamuju
Burung merpati hinggap pada dinding rumah yang rusak akibat gempa di Mamuju, Sulawesi Barat, Indonesia, Senin (18/1/2021). Sebanyak 679 orang mengalami luka ringan akibat gempa di Kabupaten Majene dan Mamuju. (AP Photo/Yusuf Wahil)

Liputan6.com, Surabaya - Dosen Departemen Teknik Geofisika Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya Amien Widodo mengungkapkan, dalam laporan Pusat Gempa Nasional 2017 disebutkan bahwa banyak kota di Indonesia dilewati oleh sesar aktif yang berpotensi mendorong terjadinya gempa.

Menurut dia, laporan yang tersaji dalam bentuk peta bahaya gempa itu menunjukkan potensi gempa akibat sesar aktif juga tidak sedikit keberadaannya di Provinsi Jawa Timur. Di antaranya ada sesar Wonorejo di Kabupaten Banyuwangi, sesar Probolinggo di Kabupaten Probolinggo, dan sesar Pasuruan di Kabupaten Pasuruan.

“Kota Surabaya bahkan dilewati oleh dua sesar yang berbeda, yaitu sesar Surabaya dan sesar Waru,” ujarnya dikonfirmasi terkait persebaran sesar di Surabaya, Senin (18/1/2021).

Keberadaan sesar Waru memanjang dari Gresik, melewati Mojokerto, Jombang, Nganjuk, hingga Saradan. Sesar-sesar ini masih aktif dan mengalami pergerakan setiap tahunnya rata-rata sejauh 0,05 milimeter.

"Maka sudah sepatutnya, kita mewaspadai terjadinya gempa dan meminimalisasi kerugian yang mungkin terjadi," ucap Amien.

Sebelum tak terkendali, kata Amien, Pemerintah Provinsi Jawa Timur dan terkhusus Pemerintah Kota Surabaya seharusnya telah menyiapkan langkah antisipasi.

Amien yang juga peneliti senior dari Pusat Studi Mitigasi, Kebencanaan, dan Perubahan Iklim (MKPI) ITS menyarankan kepada pemerintah untuk melakukan asesmen ancaman gempa, asesmen kerentanan bangunan dan kerentanan tanah, serta asesmen kapasitas masyarakat.

“Bila kawasan tersebut mempunyai kondisi tanah yang buruk dan bangunan yang kurang kokoh, maka bisa dikategorikan kawasan berisiko tinggi,” ujarnya.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Kenali Bencana

Sebaliknya, lanjut Amien, apabila kondisi lapisan tanahnya kuat dan bangunan berdiri kokoh, maka kawasan dapat masuk dalam klasifikasi kawasan berisiko kecil.

"Berdasarkan peta zonasi kawasan dengan tingkat risiko yang rendah hingga tinggi ini, dapat dibuat dan dijadikan acuan mitigasi. Setiap kawasan akan sangat mungkin memiliki arahan mitigasi yang berbeda, sesuai dengan levelisasi itu," ucapnya.

"Baik itu arahan mitigasi struktural, maupun arahan mitigasi nonstruktural, keduanya sama-sama penting dan perlu untuk diedukasikan kepada masyarakat," ujarnya.

Pada dasarnya, lanjut Amien, bencana alam tidak akan menimbulkan korban jiwa jika terjadi di kawasan tak berpenduduk. Namun, bukan sesuatu yang tidak mungkin untuk menghindari kerugian yang besar di kawasan padat penduduk.

“Maka, mari kenali bencana. Kita kenal dengan bencana, kita selamat,” ucap Amien.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya