Liputan6.com, Jakarta - Seorang peneliti dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Erliza Hambali bersama tim dari Pusat Penelitian Surfaktan dan Bionergi IPB, berhasil menemukan surfaktan untuk meningkatkan produksi minyak bumi dengan bahan minyak sawit.
Mulanya, inovasi ini didasarkan pada keinginan mengembangkan industri hilir dan meningkatkan nilai tambah pada minyak sawit.
Baca Juga
Erliza yang merupakan Kepala Pusat Penelitian Surfaktan dan Bioenergi IPB ini mengatakan, nilai tambah yang diperoleh dari sawit masih rendah. Karenanya, ia memiliki ide untuk mensitesi surfaktan supaya produk hilir bertambah dan memunculkan banyak industri.
Apa itu surfaktan? Surfaktan adalah zat bersifat aktif permukaan yang bisa menurunkan tegangan antarmuka, baik antar cairan dengan cairan, cairan dengan padatan, atau cairan dengan gas. Dengan sifat aktif ini, dua benda yang memiliki senyawa terpisah bisa bertendensi untuk saling bercampur homogen.
Singkat kata, surfaktan banyak diaplikasikan pada berbagai industri seperti kosmetik, sabun, deterjen, personal care products, produk pembersih, kertas, cat, dan perminyakan.
Minyak bumi sendiri diperoleh melalui tiga bagian, yakni primary, secondary, serta tertiary recovery. Pada primary recovery, minyak diperoleh dengan tenaga dorong alamiah yang diberi reservoir. Sedangkan di tahap secondary dan tertiary, teknologi atau metode yang dipakai untuk meningkatkan recovery minyak disebut enhanced oil recovery (EOR).
Erliza pun merumuskan solusi untuk bisa meningkatkan produksi minyak secara kimia. Hasilnya, inovasi ini diberi nama Surfakturtan Metil Ester Sufonal (MES) dari minyak sawit guna meningkatkan recovery minyak bumi (EOR). Ia dan tim memulai penelitian ini pada tahun 2001.
Selain eksploitasi minyak, terdapat pula eksploitasi gas bumi. Selain itu juga diproduksi air yang dikenal sebagai air formasi atau brine yang terkumpul bersama minyak dan gas di dalam lapisan reservoir pada kedalaman 1.000 meter di bawah zona minyak.
Belanda Ingin Jajal Produk Ini
Pada awal produksi reservoir minyak, volume air yang hanya sedikit dibandingkan volume minyak. Tetapi, seiring waktu volume air dalam reservoir menjadi makin rendah dan dominan dibandingkan minyak.
"Kondisi ini diikuti dengan penurunan tekanan reservoir, sehingga produksi minyak pada sumur perlu dibantu dengan teknologi secondary atau tertiary recovery," kata Erliza seperti dikutip Tekno Liputan6.com, Minggu (31/7/2016) dari buku Sumber Inspirasi Indonesia: 20 Karya Unggulan Teknologi Anak Bangsa yang diterbitkan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi.
Ia menjelaskan, surfaktan MES memegang peran penting dalam proses EOR. Sebab, minyak yang terjebak di dalam pori-pori batuan disebut blobs atau ganglia bisa didorong ke luar menggunakan surfaktan MES ini.
"Peluang memanfaatkan surfaktan MES pada aplikasi EOR cukup besar. Awalnya orang tidak kenal apa itu surfaktan. Karenanya, kami sibuk mempromosikannya," kata Erliza.
Dalam risetnya, telah dikembangkan formula oil well stimulation agent menggunakan surfaktan MES yang terbuat dari metil ester C12 yang bersumber pada palm kernel oil dan menggunakna reaktan NaHS03 atau Natrium Bisulfit. Formula tersebut terdiri dari 70 persen MES, 20 persen pelarut, 7 persen surfaktan non ionikm dan 3 persen co-solvent.
"Kini, surfaktan MES ini sudah dicari banyak orang. Bahkan Perancis dan Belanda pun antusias ingin mendapatkan surfaktan produksi kami," ucap Erliza.
Dalam upayanya mendekatkan inovasi ini pada dunia industri, Erliza sering menghadiri workshop, seminar, dan pertemuan ilmiah baik di dalam maupun luar negeri. Hasil riset ini pun melahirkan Pusat Penelitian Surfaktan dan Bioteknologi pada 2006 yang kini dipimpinnya.Â
Erliza juga mendapatkan Anugerah Kekayaan Intelektual Luar Biasa pada 2012. Bagaimana, hebat kan peneliti-peneliti Indonesia?
(Tin/Ysl)
Advertisement