Kisruh Hak Cipta API, Oracle Akhirnya Kalahkan Google

Sengketa hukum yang telah berlangsung selama sekitar 8 tahun tersebut dimulai kala pembelian perusahaan Sun Microsystem oleh Oracle pada 2009. Pada tahun berikutnya, Oracle melayangkan tuntutan hukum terhadap Google.

oleh Jeko I. R. diperbarui 08 Apr 2018, 10:00 WIB
Diterbitkan 08 Apr 2018, 10:00 WIB
Google Plex
Suasana kantor pusat Google di Googleplex, Mountain View, Palo Alto, California. Liputan6.com/Jeko Iqbal Reza

Liputan6.com, Jakarta - Kisruh antara dua perusahaa besar Oracle dan Google, akhirnya mencapai titik temu. Google akhirnya menang dalam sengketa hukum melawan Google terkait tuduhan pelanggaran hak cipta penggunaan Java API (Application Programming Interace) pada Dalvik, yang menjadi bagian dari sistem operasi Android.

Sengketa ini memiliki dampak besar tidak hanya bagi kedua perusahaan yang berseteru, tapi juga bagi industri software terutama Open Source. Selain menjadi preseden buruk baik bagi Oracle maupun pemilik software propietary lainnya, ada banyak implementasi software Open Source yang berpotensi menjadi rujukan tuntutan hukum berikutnya.

Sengketa hukum yang telah berlangsung selama sekitar 8 tahun tersebut, dimulai kala pembelian perusahaan Sun Microsystem oleh Oracle pada 2009. Pada tahun berikutnya Oracle melayangkan tuntutan hukum terhadap Google.

Duduk perkara kasus bermula ketika Google ingin membesut platform sistem operasi Android agar kompatibel dengan aplikasi yang tengah dikembangkan.

Alih-alih membeli lisensi platform Java dari Sun Microsystems agar program yang dikembangkannya bisa perusahaan teknologi asal Mountain View, Amerika Serikat (AS) itu memilih untuk mengembangkan versi mereka sendiri yang memiliki kemiripan dengan bahasa pemrograman Java yang dijuluki Dalvik.

Sidang pertama kasus tersebut digelar pada 2012 yang diakhiri dengan kemenangan Google, tetapi upaya banding Oracle membuahkan kemenangan pada 2014.

Setelah kasus dimentahkan oleh Mahkamah Agung AS, Google dan Oracle kembali berhadapan dalam persidangan kedua pada 2016 yang dimenangkan oleh Google.

Namun pada 27 Maret 2018, upaya banding kembali berakhir dengan kemenangan Oracle. “Fakta bahwa Android tersedia secara gratis bukan berarti penggunaan paket Java API oleh Google bersifat nonkomersial,” ucap tiga panel hakim Federal Circuit dalam putusannya yang mencatat bahwa Android telah menghasilkan pendapatan lebih dari US$ 42 miliar dari iklan.

“Pendapat Federal Circuit menegakkan prinsip hukum hak cipta dan menegaskan bahwa Google telah melanggar hak cipta,” kata Dorian Daley, pengacara Oracle.

“Kami kecewa pengadilan membalikkan temuan juri bahwa Java adalah terbuka dan gratis bagi semua orang,” kata Google dalam pernyataan resminya. “Keputusan seperti ini akan membuat aplikasi dan layanan online lebih mahal bagi para pengguna,” tambahnya. 

Lebih Jeli Menggunakan Solusi Open Source

Open Source
Open Source Software. Dok: irisns.com

Kemenangan Oracle ini menjadi berita besar di kalangan profesional pelaku TI (Teknologi Informasi), terutama bagi mereka yang berkecimpung dan menggunakan software berbasis Open Source.

Sebetulnya, ada banyak implementasi software Open Source yang bisa menjadi subjek tuntutan berikutnya baik oleh Oracle maupun pemilik software propietary lain seperti Microsoft, SAP, dan lainnya.

“Dari kasus tersebut kita semua bisa berkaca, meskipun diuntungkan oleh ketersediaan software Open Source yang memberikan alternatif solusi lebih baik dan efektif, tetapi kita juga harus jeli agar tidak salah memilih,” kata Julyanto Sutandang, CEO PT. Equnix Business Solutions dalam keterangan yang diterima Tekno Liputan6.com.

Ia menambahkan, tidak semua software Open Source adalah Open Source murni atau tak ternoda hak cipta propietary yang terkait dengan lisensi komersial.

Pada umumnya, software Open Source dibuat untuk satu tujuan ideal sebagai bagian dari infrastruktur TI secara umum, seperti Sistem Operasi Linux, Database Relational PostgreSQL, Kannel SMPP Gateway, Apache Web Server, dan sebagainya.

Pun demikian, ada pula software yang didistribusikan dalam bentuk kode sumber dengan lisensi Open Source, tetapi juga memiliki lisensi komersial sehingga tidak bisa dikategorikan sebagai Open Source murni, salah satu contohnya MySQL, Jboss, dan masih banyak lagi.

Ada pula inisiasi awal pengembangan software yang dilakukan oleh komunitas dengan tujuan menggantikan fungsi software propietary. Upaya pengembangan software tersebut dalam perjalanannya berupaya meniru fitur, mekanisme, dan yang paling sering adalah antarmuka pengguna (UI).

Hal itu bisa berpotensi menjadi sengketa hukum di masa mendatang, terutama setelah adanya preseden kasus Oracle vs Google ini.

“Pelajaran yang harus kita petik dari kasus Oracle vs Google adalah perlunya kehati-hatian dalam mengadopsi teknologi berbasiskan Open Source. Sebab, tak ada yang menginginkan migrasi dan perubahan yang sudak dilakukan akan menjadi bumerang di masa mendatang,” kata Julyanto.

 

Vendor Profesional Diperlukan

Julyanto Sutandang, CEO PT Equnix Business Solutions
Julyanto Sutandang, CEO PT Equnix Business Solutions

Pada dasarnya, setiap software memiliki risiko, tanpa kecuali pengadopsian software Open Source.

Karena itu, perlu dilakukan langkah pendekatan dan metodologi yang baik yakni menggunakan vendor yang mumpuni, dan mengambil alih semua tanggung jawab legal terkait penggunaan software tersebut,.

Selain itu, vendor ini juga diharapkan bisa melaksanakan proses implementasi, migrasi, dan mengoperasikan dengan baik, serta tentunya ketersediaan portofolio lengkap yang membuktikan kemampuan vednor dalam memberikan layanan yang profesional dan terpercaya.

(Jek/Ysl)

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

 

 

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya