Haters Bisa Menjamur karena Impitan Ekonomi

Haters ternyata tak hanya bisa menjamur karena membenci satu karakter, tetapi juga bisa muncul karena impitan ekonomi.

oleh Iskandar diperbarui 05 Sep 2018, 06:30 WIB
Diterbitkan 05 Sep 2018, 06:30 WIB
Haters
Ilustrasi haters. Dok: birchhouse.media

Liputan6.com, Jakarta - Haters ternyata tak hanya bisa menjamur karena membenci satu karakter, seperti selebritas atau tokoh politik tertentu. Psikolog Prof Dr Hamdi Muluk menilai, haters juga bisa muncul karena impitan ekonomi.

"Selain orang yang membenci satu karakter, ada juga kalangan yang awalnya bukan haters, bisa ikut gerakan pelintiran kebencian karena impitan ekonomi," ujar Hamdi kepada Tekno Liputan6.com via sambungan telepon, Selasa (4/9/2018) di Jakarta.

Gawatnya, dengan bisnis pelintiran kebencian ini, dia melanjutkan, orang yang mulanya hanya memiliki kadar kebencian setengah menjadi full alias benar-benar benci kepada selebritas atau tokoh politik tertentu.

"Ada juga orang yang secara ekonomi berada di taraf bawah, tetapi ‘terpaksa’ jadi haters beneran karena ada tawaran pelintiran isu. Kebencian mereka biasanya didasari terhadap kelompok luar," ucap pria yang juga berprofesi sebagai guru besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia itu.

Hamdi Muluk menyebut, prakondisi itu adalah orang-orang yang mudah sekali membenci kelompok luar dan menumbuhkan inteloreansi dan prasangka. Biasanya, orang-orang macam ini masa kecilnya mendapat didikan secara otoriter. Dalam psikologi, hal ini disebut authoritarian personality.

Umumnya, karakteristik tersebut suka menjangkiti orang-orang sayap kanan konservatif atau disebut right wing authoritarian. Hamdi menilai, biasanya mereka mudah dijangkiti kebencian.

"Orang-orang fanatis, dogmatis, terlalu curiga dengan hal-hal yang berbau kebebasan. Mereka juga sangat rigid, pandangannya kaku, apalagi terhadap agama," ucapnya memaparkan.


Melempem di Dunia Offline

[Bintang] Topeng Media Sosial
Ilustrasi topeng. (anotherfacestudio/Tumblr)

Terkadang, kata Hamdi, orang dengan authoritarian personality itu enggak langsung kelihatan. Biasanya mereka di dunia online garang, di dunia offline malah melempem.

"Ada momen di mana kelompok itu terkadang merasa terancam. Di dunia offline kemungkinan berekspresi terbatas, jadi dia enggak bisa beringas di dunia nyata. Sementara di dunia maya kadang identitasnya disamarkan, jadi mereka bisa 'ngegas' dan menumpahkan energi negatif. Bisa jauh lebih brutal dari dunia offline," Hamdi menjelaskan.

Ia menilai, dunia maya penuh dengan anonimitas, menyebabkan orang yang tadinya tidak percaya diri jadi percaya diri, yang tadinya tidak "brutal" jadi lebih sadis.


Tips Menyikapi Haters

[Bintang] Fans vs haters
Ilustrasi fans vs haters. (via combiboilersleeds.com)

Pakar media sosial, Nukman Luthfie memberikan beberapa tips bagaimana cara menyikapi haters di media sosial.

"Amannya tidak usah kita hiraukan. Kalau ada yang mem-bully dan menyebarkan hoaks tinggal lapor saja di platform terkait (Facebook atau Twitter)," ujarnya kepada Tekno Liputan6.com via sambungan telepon, Selasa (4/9/2018) di Jakarta. 

Dengan semakin banyaknya selebritas dan tokoh ternama (seperti tokoh politik) yang aktif di media sosial, kian banyak pula akun-akun haters bermunculan.

Menjamurnya akun haters di berbagai platform media sosial menjadi fenomena tersendiri di sejumlah negara, termasuk Indonesia.

Ambil contoh ketika pembukaan Asian Games 2018 pada 18 Agustus, di mana Presiden Jokowi tampil apik ketika mengendari motor gede (moge) layaknya di film aksi menuju Stadion Glora Bung Karno (GBK).

Di saat beberapa warga Tanah Air memuji penampilannya, tak sedikit pula orang mencibir aksi tersebut sebagai pencitraan hingga membohongi masyarakat (karena tak mungkin seorang presiden bisa melakukan hal itu).

"Secara umum, media sosial itu tempat orang mencurahkan perasaan, baik senang, sedih, susah dan lain-lain. Ketika perasaan satu orang disampaikan, orang lain akan mengikuti," Nukman menjelaskan.

"Jadi ketika ada orang lain dengan perasaan yang sama nimbrung, lalu menuangkan rasa kekecewaan itu lebih mudah. Terlebih lagi karena ini online, ungkapan rasa kekecewaan pun semakin mudah menyebar," katanya menambahkan.


Ada Faktor Penentu

Ilustrasi haters
Ilustrasi haters. Dok: collegian.com

Ia menyebutkan, ada faktor penentu yang membuat haters makin menjamur di media sosial. Faktor pertama berhubungan dengan ungkapan kebencian kerap menyebar lebih cepat dan lebih kuat karena tidak tatap muka.

Haters juga tidak pernah kumpul atau bertemu secara langsung, sehingga menggunakan media sosial untuk "bertemu". Mereka juga biasanya tidak memakai nama asli, hal ini semakin membuatnya lebih berani dan vokal berujar kebencian.

"Selain menyebarkan seruan kebencian, haters juga sering menyebar berita-berita hoax atau berita palsu. Padahal mereka belum tentu mengerti apa isi berita yang mereka sebar," pungkas Nukman.

(Jek/Isk/Ysl)

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya