Liputan6.com, Jakarta - Banyak haters berkeliaran di media sosial. Mereka dengan asyiknya menebar kebencian, menyerang orang yang tak disukai, dan bahkan mem-bully orang tanpa rasa empati sedikit pun.
Menghujat, melecehkan, dan mencibir di media sosial seolah menjadi kebanggaan tersendiri bagi mereka. Apalagi kalau orang yang diserang sampai emosi dan menimbulkan perdebatan antar-warganet di kolom komentar.
Haters diprediksi akan makin menjamur jelang pemilihan presiden (pilpres) tahun depan. Penyebaran berita hoax dari akun-akun haters yang mendukung masing-masing calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) dipastikan akan bertubi-tubi.
Advertisement
Baca Juga
Psikolog Prof. Dr. Hamdi Muluk menilai, haters menjadi sangat berbahaya ketika diorganisir untuk keperluan politik dan dijadikan bisnis.
"Pada kenyataannya, terlepas dari keperluan politik, ada lho orang yang benar-benar membenci satu karakter. Nah, orang semacam ini sangat berbahaya jika mereka diorganisir untuk keperluan politik dan dijadikan bisnis," kata Hamdi kepada Tekno Liputan6.com via sambungan telepon, Selasa (4/9/2018) di Jakarta.
Hamdi memaparkan, di dalam buku berjudul Hate Spin: The Manufacture of Religious Offense and Its Threat to Democracy (karya Cherian George), dijelaskan kalau ada beberapa orang yang sengaja melakukan pemelintiran isu untuk menghembuskan hate speech dan sejenisnya.
"Hal ini terjadi akibat fenomena politik. Bahkan, ada kelompok tertentu yang rela membayar ‘pion-pion’ tak bersalah, dari yang awalnya bukan haters disuruh melakukan pelintiran kebencian. Sebagian gejala ini adalah persoalan," ucap pria yang juga berprofesi sebagai guru besar Fakultas Psikologi UI tersebut.
Tips Menyikapi Haters
Pakar media sosial Nukman Luthfie memberikan beberapa tips bagaimana cara menyikapi haters di media sosial.
"Amannya tidak usah kita hiraukan. Kalau ada yang mem-bully dan menyebarkan hoax tinggal lapor saja di platform terkait (Facebook atau Twitter)," ujarnya kepada Tekno Liputan6.com via sambungan telepon, Selasa (4/9/2018) di Jakarta.Â
Dengan semakin banyaknya selebritas dan tokoh ternama (seperti tokoh politik) yang aktif di media sosial, kian banyak pula akun-akun haters bermunculan.
Menjamurnya akun haters di berbagai platform media sosial menjadi fenomena tersendiri di sejumlah negara, termasuk Indonesia.
Ambil contoh ketika pembukaan Asian Games 2018 pada 18 Agustus, di mana Presiden Jokowi tampil apik ketika mengendari motor gede (moge) layaknya di film aksi menuju Stadion Glora Bung Karno (GBK).
Di saat beberapa warga Tanah Air memuji penampilannya, tak sedikit pula orang mencibir aksi tersebut sebagai pencitraan hingga membohongi masyarakat (karena tak mungkin seorang Presiden bisa melakukan hal itu).
"Secara umum media sosial itu tempat orang mencurahkan perasaan, baik senang, sedih, susah dan lain-lain. Ketika perasaan satu orang disampaikan, orang lain akan mengikuti," Nukman menjelaskan.
"Jadi ketika ada orang lain dengan perasaan yang sama nimbrung, lalu menuangkan rasa kekecewaan itu lebih mudah. Terlebih lagi karena ini online, ungkapan rasa kekecewaan pun semakin mudah menyebar," katanya menambahkan.
Advertisement
Ada Faktor Penentu
Ia menyebutkan, ada faktor penentu yang membuat haters makin menjamur di media sosial. Faktor pertama berhubungan dengan ungkapan kebencian kerap menyebar lebih cepat dan lebih kuat karena tidak tatap muka.
Haters juga tidak pernah kumpul atau bertemu secara langsung, sehingga menggunakan media sosial untuk "bertemu". Mereka juga biasanya tidak memakai nama asli, hal ini semakin membuatnya lebih berani dan vokal berujar kebencian.
"Selain menyebarkan seruan kebencian, haters juga sering menyebar berita-berita hoax atau berita palsu. Padahal mereka belum tentu mengerti apa isi berita yang mereka sebar," pungkas Nukman.
(Jek/Isk/Ysl)
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini