Badai Matahari Bisa Sebabkan Kerugian Materi hingga Rp 28 Ribu Triliun!

Saxo memprediksi badai matahari akan menyapu satelit yang berada di hemisfer barat.

oleh Liputan6.com diperbarui 10 Jan 2019, 06:30 WIB
Diterbitkan 10 Jan 2019, 06:30 WIB
Badai Matahari 2012
Badai Matahari 2012 (NASA)

Liputan6.com, Jakarta - Bank Denmark, Saxo Bank, belum lama ini merilis prediksi 2019. Ada beberapa hal mengerikan yang menjadi "ramalan buruk".

Salah satunya perkiraan itu adalah munculnya fenomena alam, badai matahari, yang diperkirakan memberi kerugian secara ekonomi.

Fenomena alam ini diprediksi akan menimbulkan kerugian sebesar US$2 triliun atau sekitar Rp 28.960 triliun!

Dikutip dari Metro, Kamis (10/1/2019), Saxo memprediksi badai matahari akan menyapu satelit yang berada di hemisfer barat.

Hal ini akan mengakibatkan kerusakan di GPS, wisata luar angkasa, serta infrastruktur logistik dan listrik.

Sebelumnya, badai matahari hebat pernah terjadi pada 1859. Peristiwa yang dinamakan Carrington Event ini menyebabkan lontaran massa korona (coronal mass ejection/CME) menghantam magnetosfer bumi. Peristiwa ini mengakibatkan aurora borealis terlihat di seluruh dunia.

Selain itu, ada juga prediksi bahwa Apple akan membeli saham Tesla seharga US$ 520 per lembar. Raksasa teknologi ini diperkirakan akan mengembangkan sahamnya di bidang otomotif.

Saxo juga memperkirakan Netflix akan gulung tikar pada tahun ini. Perusahaan asal Amerika Serikat tersebut "diramal" tidak akan kuat bersaing.

Sekadar informasi, prediksi ini berada di kajian "Outrageous Prediction" . Kajian tersebut memuat hal-hal yang kemungkinan akan terjadi pada 2019 dan berpengaruh terhadap finansial global.

Planet Terjauh Ditemukan

Ini 7 Benda Misterius Dari Luar Angkasa yang Berhasil Diungkap
Ilustrasi sisa bintang mati

Pesawat besutan NASA yang diterbangkan untuk mengeksplorasi Matahari, Parker Solar Probe, mencetak rekor menjadi objek buatan manusia tercepat di dunia.

Menurut informasi yang dilansir Business Insider pada Selasa (6/11/2018), pada Senin (5/11/2018) pukul 10.28 waktu setempat, pesawat tersebut melaju ke arah Matahari dalam kecepatan 213.200 mil per jam.

Jika dibandingkan dengan pesawat eksplorasi NASA untuk Jupiter, Juno, ia cuma mampu melesat dalam kecepatan 130.000 mil per jam setiap dua bulan sekali.

Kecepatan tersebut tentu terbilang sangat impresif, mengingat Parker Solar Probe harus bertahan dengan kondisi dan suhu sistem Tata Surya yang ekstrem.

Apalagi, saat ia terbang ke arah Matahari, ia harus bertahan dengan suhu 3,6 juta derajat Fahrenheit.

Sekadar informasi, misi ini disebut-sebut sebagai misi yang tidak ada duanya.

Bagaimana tidak, untuk bisa meluncur ke luar angkasa, Parker Solar Probe membutuhkan energi 55 kali lebih banyak dibandingkan untuk perjalanan ke Mars.

Secara ukuran, Parker Solar Probe tidak lebih besar dari mobil keluarga. Pesawat ini akan bertengger di atas roket Delta IV Heavy yang memiliki tinggi 72 meter, lebar 15 meter, dan bisa menampung lebih dari 600 ton bahan bakar.

Dalam perjalanannya, Parker Solar Probe disebut-sebut bakal jauh lebih cepat dibandingkan objek buatan manusia yang pernah ada selama ini.

Setelah melintasi Venus pada akhir September lalu, Parker Solar Probe akan mencapai Matahari sekitar bulan November dan memancarkan data pertamanya pada Desember.

7 Tahun Dekat Matahari

20160303-Gerhana-Matahari-Total-iStockphoto
Ilustrasi Gerhana Matahari Total (iStockphoto)

Misi Parker Solar Probe adalah selama 7 tahun dan sepanjang masa tersebut, pesawat ini akan mengitari Venus sebanyak enam kali dan memanfaatkan gravitasi Venus untuk memasuki orbit Matahari.

Total, Parker Solar Probe akan memutari Matahari sebanyak 24 kali dan berada di jarak terdekat 3,8 juta mil dari permukaan, yakni fotosfer.

Pada jarak yang begitu jauh dari Matahari, pesawat ruang angkasa ini akan terbang menuju korona yang suhunya bisa saja mencapai 3 juta celsius.

Pesawat ini bisa menahan panas karena adanya atmosfer tipis. Agar bisa bertahan, pesawat ini akan berlindung di belakang perisai panas setebal 12cm.

"Tidak ada hal mudah tentang misi ini, apalagi dengan kondisi sekitar yang sangat berat," kata Project Scientist Misi Parker Solar Probe Nicky Fox di John Hopkins University.

Dia menambahkan, "semua orang mengerjakan misi ini akan lega saat Parker Solar Probe keluar dari korona."

Reporter: Dream

Sumber: Dream.co.id

(Jek)

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya