Liputan6.com, Jakarta - Telah ada beberapa lembaga otoritas fatwa keagamaan yang menyatakan hukum bermuamalah dengan mata uang kripto adalah haram, seperti Al Azhar lewat Majma’ al Buhuts al Islamiyah dan Dar al Ifta Mesir. Di Indonesia, MUI pun mengeluarkan fatwa serupa.
Terkait hal ini, Majelis Tarjih dan Tajdid Pengurus Pusat Muhammadiyah memandang polemik mata uang kripto ini dapat dipandang dari dua sisi: sebagai instrumen investasi dan alat tukar.
"Sebagai alat investasi, mata uang kripto ini memiliki banyak kekurangan, jika ditinjau dari syariat Islam," kata PP Muhammadiyah dikutip dari keterangan resminya.
Advertisement
Baca Juga
Misalnya, sifat spekulatif yang kentara karena mata uang kripto sangat fluktuatif dengan kenaikan atau penurunan nilai yang tidak wajar. Selain sifat spekulatif, mata uang kripto juga dinilai mengandung ketidakjelasan (gharar).
"Bitcoin hanyalah angka-angka tanpa adanya underlying asset--aset yang menjamin bitcoin, seperti emas dan barang berharga lain," tutur PP Muhammadiyah.
Kedua sifat spekulatif dan gharar tersebut diharamkan oleh syariat, dan tidak memenuhi nilai dan tolok ukur Etika Bisnis menurut Muhammadiyah, khususnya dua poin ini, yaitu: "Tidak boleh ada gharar (HR. Muslim) dan tidak boleh ada maisir (QS. Al Maidah: 90)."
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Harus Memenuhi Dua Syarat
Sebagai alat tukar, PP Muhammadiyah memandang bahwa hukum asal mata uang kripto adalah boleh (mubah) sebagaimana kaidah fikih dalam bermuamalah. Bahkan, penggunaan mata uang kripto dinilai serupa dengan skema barter, asalkan kedua belah pihak yang terlibat sama-sama rida, tidak merugikan dan tidak melanggar aturan yang berlaku.
"Namun demikian, jika menggunakan dalil sadd adz dzariah (mencegah keburukan), maka penggunaan uang kripto ini menjadi bermasalah," kata PP Muhammadiyah.
Majelis Tarjih menilai standar mata uang yang dijadikan sebagai alat tukar seharusnya memenuhi dua syarat, yaitu diterima oleh masyarakat dan disahkan oleh negara yang dalam hal ini dapat diwakili otoritas resmi seperti bank sentral.
Advertisement
Fatwa Haram
Penggunaan Bitcoin sebagai alat tukar, menurut Muhammadiyah, tidak hanya belum disahkan negara--termasuk Indonesia, tetapi juga tidak memiliki otoritas resmi yang bertanggung jawab atasnya.
Perlindungan terhadap konsumen pengguna Bitcoin atau mata uang kripto lainnya juga masih menjadi pertanyaan.
"Dari hal-hal yang disampaikan di atas, dapat diketahui bahwa terdapat kemudaratan dalam mata uang kripto ini. Karenanya, Fatwa Tarjih yang terdapat di Majalah Suara Muhammadiyah edisi 01 tahun 2022 menetapkan bahwa mata uang kripto hukumnya haram baik sebagai alat [instrumen] investasi maupun sebagai alat tukar," tutur PP Muhammadiyah.
INFOGRAFIS: 10 Mata Uang Kripto dengan Valuasi Terbesar
Advertisement