RUU Periklanan Digital Baru Paksa Google untuk Setop Bisnis Iklannya

Proposal bipartisan (disokong dua partai politik) baru mengincar Google dan akan memaksa raksasa teknologi itu untuk menyetop bisnis periklanan digitalnya jika disahkan.

oleh Iskandar diperbarui 23 Mei 2022, 10:20 WIB
Diterbitkan 23 Mei 2022, 10:16 WIB
Google Plex
Suasana kantor pusat Google di Googleplex, Mountain View, Palo Alto, California. Liputan6.com/Jeko Iqbal Reza

Liputan6.com, Jakarta - Bisnis periklanan Google yang selama ini meraup keuntungan besar bagi perusahaan, kemungkinan terancam tutup jika sebuah rancangan undang-undang (RUU) baru terkait periklanan digital disahkan.

Proposal bipartisan (disokong dua partai politik) terbaru mengincar Google dan akan memaksa raksasa teknologi itu untuk menyetop bisnis periklanan digitalnya jika disahkan.

Untuk diketahui, Kompetisi dan Transparansi dalam Undang-Undang Periklanan Digital diperkenalkan pada Kamis (19/5/2022), oleh sekelompok senator di subkomite Kehakiman tentang antimonopoli.

Mereka adalah anggota senator dan ketua, Sens. Mike Lee, R-Utah, dan Amy Klobuchar, D-Minn., serta sebagai Senator Ted Cruz, R-Texas, dan Richard Blumenthal, D-Conn.

Mengutip CNBC, Senin (23/5/2022), periklanan adalah bagian besar dari bisnis induk perusahaan Alphabet.

Pada Q1 2022, Alphabet melaporkan pendapatan US$ 68,01 miliar (sekitar Rp 997 triliun), yang mana US$ 54,66 miliar (sekitar Rp 800 triliun) di antaranya dihasilkan oleh iklan--naik dari US$ 44,68 miliar ( sekitar Rp 645 triliun) pada tahun sebelumnya.

RUU tersebut akan melarang perusahaan yang memproses lebih dari US$ 20 miliar (sekitar Rp 294 triliun) setiap tahun dalam transaksi iklan digital untuk berpartisipasi dalam lebih dari satu bagian dari proses iklan digital. Demikian menurut The Wall Street Journal, yang pertama kali melaporkan berita tersebut.

Google sendiri memiliki andil dalam beberapa langkah proses iklan digital, sebuah bisnis yang menjadi fokus gugatan antimonopoli yang dipimpin negara terhadap perusahaan tersebut.

Google menjalankan lelang atau pertukaran, tempat transaksi iklan dilakukan dan juga menjalankan tool untuk membantu perusahaan menjual dan membeli iklan. Jika undang-undang baru disahkan, mereka harus memilih di bagian bisnis mana yang ingin dipertahankan.

“Ketika kamu menggunakan Google yang secara bersamaan melayani sebagai penjual dan pembeli serta menjalankan pertukaran, itu memberi mereka keuntungan yang tidak adil dan tak semestinya di pasar,” kata Mike Lee kepada The Wall Street Journal dalam sebuah wawancara.

Ketika sebuah perusahaan dapat memakai semua 'topi' ini secara bersamaan, Lee menilai itu bisa merugikan semua orang.

 

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Penjelasan Juru Bicara Google

Logo Google
Kantor pusat Google. Foto: Digital Trends

Sementara juru bicara Google mengklaim alat periklanan dari Google dan lainnya membantu situs web dan aplikasi di Amerika Serikat (AS) mendanai konten mereka, membantu bisnis tumbuh, serta membantu melindungi pengguna dari risiko privasi dan iklan yang menyesatkan.

“Melanggar alat tersebut akan merugikan penerbit dan pengiklan, menurunkan kualitas iklan, dan menciptakan risiko privasi baru. Dan, pada saat inflasi tinggi, itu akan menghambat usaha kecil yang mencari cara mudah dan efektif untuk tumbuh secara online," ujar juru bicara itu.

Ia menyebut masalah sebenarnya adalah broker data berkualitas rendah yang mengancam privasi orang dan membanjiri mereka dengan iklan spam.

"Singkatnya, ini adalah RUU yang salah, pada waktu yang salah, ditujukan pada target yang salah," pungkasnya.

Koalisi di balik RUU tersebut menggarisbawahi cara dukungan untuk mengekang kekuatan teknologi melalui reformasi antitrust melintasi garis ideologis.

Google Blokir 3 Aplikasi Android Berbahaya yang Kuras Uang Pengguna, Apa Saja?

5 Aplikasi Ini Wajib Dihapus di Smartphone Android Anda
Jika Anda ingin performa smartphone Android yang digunakan lebih lancar, coba pikirkan untuk menghapus kelima aplikasi ini

Di sisi lain, Google terus memblokir aplikasi Android berbahaya yang menipu pengguna, namun sejumlah ahli memperingatkan bahwa aplikasi semacam itu terus berdatangan di toko aplikasi.

Banyak yang meniru aplikasi asli untuk mengelabui orang. Bahayanya, aplikasi tiruan kerap dipenuhi dengan trojan yang diam-diam mendaftar langganan berbayar.

Malware Joker mampu menyelinap melewati deteksi keamanan Google, dan baru-baru ini ditemukan di tiga aplikasi: Style Message, Blood Pressure App and Camera PDF Scanner.

Aplikasi terkait nama brand dan aplikasi populer juga ditiru oleh penipu untuk mendapatkan kepercayaan dari pengguna. Aplikasi itu termasuk GameBeyond, Tubemate, Minecraft, GTA5, dan Vidmate.

"Sementara aplikasi yang mengandung malware dihapus dari toko aplikasi setiap hari, aplikasi semacam itu terus-menerus muncul di toko aplikasi untuk menggantikan aplikasi yang telah diblokir," kata Igor Golovin dari Kaspersky, sebagaimana dilansir The Sun, Jumat (20/5/2022).

Ia memaparkan, aplikasi jahat itu secara diam-diam mendaftar langganan berbayar setelah pengguna membukanya, padahal pengguna baru melihat loading bar.

"Mereka biasanya membayar layanan yang sah atas nama pengguna dan penipu mengambil keuntungan dari uang yang ditagih. Jenis biaya berlangganan ini cenderung diambil dari pulsa telepon," ungkap Golovin.

Penjahat siber alias hacker jahat umumnya melakukan trik dengan mengunduh aplikasi Android, menambahkan kode berbahaya ke dalamnya sebelum mengunggah ulang ke toko aplikasi dengan nama yang berbeda.

Setelah aplikasi terinstal di smartphone kamu, aplikasi akan meminta akses ke pesan teks atau pemberitahuan, sehingga dapat mencegat kode konfirmasi untuk memulai berlangganan diam-diam.

 

Korban Terbanyak dari Arab Saudi

Aplikasi Android jahat yang menguras uang pengguna
Aplikasi Android jahat yang menguras uang pengguna. Dok: Kaspersky

Data menunjukkan korban Jocker sebagian besar di Arab Saudi (21,20%), diikuti oleh Polandia (8,98%) kemudian Jerman (6,01%).

Profesional keamanan dunia maya memperingatkan pengguna agar tidak mengunduh aplikasi dari sumber tidak resmi untuk melindungi diri mereka sendiri, sekaligus mengimbau untuk "tidak boleh lengah" saat memasang aplikasi dari Google Play.

"Baca ulasannya, baca tentang pengembangnya, syarat penggunaan dan pembayarannya. Untuk aplikasi perpesanan, pilih aplikasi terkenal dengan ulasan positif. Bahkan jika kamu memercayai sebuah aplikasi, kamu jangan terlalu memberikan banyak akses (permissions)," ucap Golovin memberikan saran.

Ia menambahkan, cukup izinkan akses ke notifikasi untuk sebuah aplikasi. Misalnya, untuk mengirim notifikasi ke perangkat yang dapat dikenakan.

"Aplikasi seperti wallpaper bertema atau pengeditan foto tidak memerlukan akses ke notifikasi," pungkas Golovin.

Infografis Google dan Facebook (Liputan6.com/Abdillah)

Infografis Google dan Facebook (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis Google dan Facebook (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya