Liputan6.com, Jakarta - Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) resmi disahkan.
Pengesahan revisi UU ITE ini diselenggarakan dalam Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat RI di Gedung Nusantara II DPR RI, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (05/12/2023).
Baca Juga
Jadwal Kualifikasi Piala Dunia 2026 Zona Asia Grup C: Big Match Krusial Timnas Indonesia vs Arab Saudi Malam Ini
Klasemen Kualifikasi Piala Dunia 2026 usai Timnas Indonesia vs Arab Saudi: Garuda Jaga Peluang Lolos
Jam Berapa Pertandingan Timnas Indonesia vs Arab Saudi? Ini Jadwal Kualifikasi Piala Dunia 2026
Menurut Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Budi Arie Setiadi, penyempurnaan atas pengaturan ruang digital itu memiliki arti penting untuk mewujudkan kepastian hukum
Advertisement
"Perubahan UU ITE didasarkan pada upaya memperkuat jaminan pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain," ujar Budi dalam penyampaian Pendapat Akhir Presiden RI di rapat dengan DPR itu.
"Untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis, agar terwujud keadilan, ketertiban umum, dan kepastian hukum," imbuhnya.
Mengutip siaran pers, UU ITE telah mengalami dua kali perubahan sejak diundangkan.
Yang pertama, perubahan menjadi UU Nomor 19 Tahun 2016, yang menunjukkan dinamika dan keinginan masyarakat akan penyempurnaan pasal-pasal UU ITE, khususnya ketentuan pidana konten ilegal.
"Delapan tahun sejak perubahan pertama, masih ada kebutuhan penyesuaian," dia menambahkan.
"Hal ini menunjukkan bahwa hukum perlu menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat dan perkembangan hukum, baik secara nasional maupun global," imbuhnya.
Sementara untuk perubahan kedua Undang-Undang ITE, menurut Menkominfo Budi Arie, ditekankan arti penting dalam mewujudkan keadilan, ketertiban umum, dan kepastian hukum di masyarakat.
Menurut Menkominfo Budi Arie Setiadi, dinamika pembahasan memperkaya dan menghasilkan substansi RUU Perubahan Kedua UU ITE ke arah yang jauh lebih progresif dan komprehensif.
"Semua pembahasan ditujukan untuk memperkuat kebijakan nasional, untuk memenuhi dan melindungi kepentingan masyarakat luas," kata Menkominfo.
Proses Pembahasan Revisi UU ITE
Â
RUU Perubahan Kedua UU ITE disampaikan Presiden Joko Widodo pada Ketua DPR RI, melalui Surat Nomor R-58/PRES/12/2023 tanggal 16 Desember 2021.
Pembahasan RUU Perubahan Kedua UU ITE dilakukan melalui 14 (empat belas) kali Rapat Panitia Kerja (Panja) antara Pemerintah dengan Komisi I DPR RI.
Panja lalu menugaskan Tim Perumus (Timus) dan Tim Sinkronisasi (Timsin) agar seluruh rumusan substansi RUU, disempurnakan dan disinkronisasi berdasarkan teknis penulisan perundang-undangan dan kaidah Bahasa Indonesia yang baik.
21 November lalu, Panja Pembahasan RUU menyetujui laporan Timus dan Timsin RUU.
Komisi I DPR RI dan Pemerintah menggelar Rapat Kerja pada 22 November dalam rangka Pembicaraan Tingkat I, dan telah menyetujui naskah RUU tentang Perubahan Kedua atas UU ITE untuk dibawa ke Pembahasan Tingkat II Sidang Paripurna untuk disahkan.
Kemudian, diselesaikan pembahasan dan disepakati perubahan 14 pasal yang sudah ada, serta penambahan lima pasal RUU Perubahan Kedua UU ITE.
Beberapa norma pasal yang disempurnakan antara lain mengenai alat bukti elektronik (Pasal 5), sertifikasi elektronik (Pasal 13), transaksi elektronik (Pasal 17), perbuatan yang dilarang (Pasal 27, Pasal 27 (a), Pasal 27 (b), Pasal 28, Pasal 29, dan Pasal 36 beserta ketentuan pidana (Pasal 45, Pasal 45 (a) dan Pasal 45 (b)), peran pemerintah (Pasal 40), dan kewenangan penyidik pegawai negeri sipil (Pasal 43).
Perubahan kedua UU ITE juga melengkapi materi yang meliputi identitas digital dalam penyelenggaraan sertifikasi elektronik (Pasal 13 (a)), perlindungan anak dalam penyelenggaraan sistem elektronik (Pasal 16 (a) dan Pasal 16 (b)),  kontrak elektronik internasional (Pasal 18 (a)), serta peran pemerintah dalam mendorong terciptanya ekosistem digital yang adil, akuntabel, aman, dan inovatif (Pasal 40 (a)).
Advertisement
Revisi UU ITE Wajibkan PSE Lindungi Anak
Sebelumnya, Kementerian Kominfo mengungkapkan dalam revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), akan punya aturan untuk melindungi anak-anak di ruang digital.
Direktur Jenderal Aptika Kominfo Semuel Abrijani Pangerapan melalui konferensi pers di Jakarta, Kamis (23/11/2023) mengungkapkan bahwa ini memang merupakan pasal yang baru di revisi UU ITE.
Pria yang kerap disapa Semmy ini mengungkapkan, misalnya Pasal 16A Ayat 1 yang berbunyi: "Penyelenggara Sistem Elektronik wajib memberikan pelindungan bagi anak yang menggunakan atau mengakses sistem elektronik."
Lalu Ayat 2: "Pelindungan sebagaimana dimaksud Ayat 1 meliputi pelindungan terhadap hak anak sebagaimana dimaksud dalam aturan Perundang-undangan dalam menggunakan produk, layanan, fitur, yang dikembangkan dan diselenggarakan oleh Penyelenggara Sistem Elektronik."
Semmy menyebut hampir semua negara di Eropa sudah menerapkan aturan perlindungan anak semacam ini.
"Sudah banyak juga masukan dari orangtua, ini anak-anak perlu dilindungi. Ini lah kita masukkan. Ini nanti akan diatur dalam PP (Peraturan Pemerintah) sendiri. PP-nya pun sekarang sudah disiapkan, karena Presiden minta cepat, perlindungan anak secara online," kata Semmy.
Â
Harus Lindungi Anak Mulai Desain Produk
Menurutnya, di revisi UU ITE ini juga akan diatur bagaimana Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) harus mempertimbangkan bagaimana perlindungan terhadap hak-hak anak, serta agar tidak terekspos dengan konten yang melebih batas usianya, dan mengganggu kesehatan anak.
"Jadi dari mau meluncurkan produknya pun dari desainnya harus memikirkan anak. Selama ini anak tidak masuk dalam konsep desainnya, internet buat semua itu," kata Semmy.
"Ada nanti bagaimana melakukan validasi bahwa ini anak-anak jangan diberikan konten-konten yang tidak sesuai, atau dia tidak boleh jadi target marketing. Jadi ini terkait desain daripada sistemnya," tuturnya soal revisi di UU ITE ini.
Semmy menyebut, internet sebenarnya mencoba meniru ruang fisik, di mana ruang untuk anak sebenarnya berbeda dengan orang dewasa. Ia mengatakan di ruang digital, anak dan dewasa bisa menjadi sebuah "melting pot."
"Bagaimana kita bisa melakukan perlindungan. Anak juga bisa mengakses konten-konten dewasa. Ini yang kita bilang tolong dipikirkan platform, jangan hanya cari duit, coba pikirkan bagaimana melindungi anak-anak," Semmy menambahkan.
Advertisement