ATSI Tanggapi Pernyataan bahwa Indonesia Tak Butuh BTS: Nyatanya Masih Perlu

ATSI menanggapi pernyataan yang menyebutkan bahwa Indonesia tidak membutuhkan BTS. Menurut Sekjen ATSI Marwan O Baasir, Indonesia masih membutuhkan BTS untuk menyebarkan sinyal telekomunikasi ke masyarakat.

oleh Agustin Setyo Wardani diperbarui 10 Jun 2024, 20:00 WIB
Diterbitkan 10 Jun 2024, 20:00 WIB
Sekjen ATSI Marwan O Baasir (Liputan6.com/ Agustin Setyo Wardani)
Sekjen ATSI Marwan O Baasir (Liputan6.com/ Agustin Setyo Wardani)

Liputan6.com, Jakarta - Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) memberikan tanggapan soal pernyataan yang menyebut Indonesia tak butuh lagi BTS (Base Tranceiver Station).

Pernyataan tersebut sebelumnya diucapkan oleh Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi (Menkomarves) Luhut Binsar Pandjaitan usai layanan internet berbasis satelit low earth orbit (LEO) milik Elon Musk, Starlink, hadir di Indonesia.

Sekretaris Jenderal ATSI Marwan O. Baasir mengungkap, saat ini BTS sebagai menara untuk menghubungkan smartphone dengan sinyal telepon dan internet masih dibutuhkan.

"Kalau lihat sekarang ya, nyatanya masih butuh BTS. Masih dibutuhkan masyarakat, kan belum tersedia komunikasi yang mumpuni," kata Marwan, ditemui di kantor XL Axiata, Senin (10/6/2024).

Menanggapi pernyataan Luhut kalau BTS tak lagi diperlukan, Marwan menyebut konteks BTS tak dibutuhkan itu adalah di perdesaan dan daerah yang sulit dijangkau akses internet.

Bahkan, ATSI menganggap kalau saat ini berbagai teknologi telekomunikasi harus saling melengkapi agar bisa menjangkau daerah yang sebelumnya sulit diakses oleh operator telekomunikasi karena mahalnya cost yang harus dikeluarkan untuk membangun infrastruktur di daerah 3T.

"Kalau menurut kami, ATSI, ini berdampingan industri yang ada sekarang. Starlink itu pelengkap untuk backhaul, karena nggak mungkin kalau langsung tersedia 100 persen, kan?" ujarnya.

Sementara itu, sebelumnya Presiden Direktur Smartfren Merza Fachys mengungkap hal serupa. Menurutnya, Indonesia masih membutuhkan BTS untuk menghubungkan pengguna dengan internet, terutama di smartphone.

"Kita tahu semua, negara ini memang butuh solusi untuk (menghadirkan akses internet) di seluruh negeri, seluruh areanya. Namun, kami seluruh pelaku industri telekomunikasi sudah sedemikian tekun membangun jaringan telekomunikasi dari tahun ke tahun agar dapat melayani masyarakat Indonesia," kata Merza.

Lebih lanjut, Merza mengatakan, operator seluler yang kini berjumlah 4 operator telah menggelontorkan ratusan triliun untuk investasi pembangunan jaringan.

"Apakah itu tidak akan dimanfaatkan?" tuturnya.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Minta Pemerintah Terapkan Aturan Ketat Buat Starlink

Internet satelit Starlink
Internet satelit Starlink. Liputan6.com/Iskandar

Menyoal Starlink, ATSI menyebutkan kalau operator seluler di Indonesia kini menganggap layanan internet berbasis satelit itu menjadi kekhawatiran tersendiri.

Marwan tak menampik saat ini pangsa pasar Starlink masih sangat kecil dibandingkan pangsa pasar operator telekomunikasi, namun, ATSI beranggapan regulator perlu mengatur Starlink dengan berbagai regulasi agar membuat persaingan jadi ada di level yang sama.

"Regulator mestinya ikut masuk mengatur, tata kelola niaganya gimana, kalau dia (Starlink) main di backhaul bagaimana, kalau di ritel bagaimana," tutur Marwan.

Terkait layanan Direct-to-Cell Starlink yang kini tengah diujicobakan, Marwan menyebut pemerintah perlu membuat aturan terkait hal tersebut.

"Kami ingin itu diatur, izin dia kan ISP dan VSAT, kok bisa masuk Direct-to-Cell, ini harus diatur. Kalau membuat aturan, perlu konsultasi publik setelah itu ada tanggapan dari semua pihak terkait. Ini kan industri ratusan triliun yang dibangun puluhan tahun," kata Marwan, meminta agar pemerintah menerapkan regulasi yang sama bagi Starlink.


TKDN Starlink Perlu Diatur

Perangkat Starlink (Foto: Starlink.com)
Perangkat Starlink (Foto: Starlink.com)

Marwan juga menyinggung soal Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) Starlink yang sudah mulai menjual layanan dan perangkat di Indonesia.

"TKDN-nya bagaimana, tingkat kandungan perangkatnya dalam negeri berapa tu, biar ketahuan. Jangan-jangan barangnya impor semua dari Vietnam," tutur Marwan.

Ia juga membandingkan ketika operator mau menggelar layanan 4G, perangkat jaringan yang digunakan dipersyaratkan untuk memenuhi TKDN.

"Bisa tidak, itu TKDN-nya diukur, operator kan semuanya sudah TKDN, opex-nya, capex-nya," ujar Marwan.

Lalu, hal lain yang juga perlu dilihat pemerintah adalah bagaimana kewajiban Starlink membangun jaringan di 3T.

"Jasa produknya adalah internet, jadi di tahap itu kan sama, cuma kan bedanya mereka coverage-nya nasional. Sekarang 3T-nya, kasih dong kewajiban-kewajiban itu (yang sama seperti dipersyaratkan untuk operator seluler-red). Itu yang kami sampaikan di KPPU," ujar Marwan memberikan penjelasan.

Infografis 10 Negara Pertama dan 10 Pengguna Terbaru Starlink. (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis 10 Negara Pertama dan 10 Pengguna Terbaru Starlink. (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya