Kenaikan Tarif Listrik dan Inflasi Seperti Lingkaran Setan

APPBI tidak mempermasalahkan kenaikan listrik tersebut karena tarif listrik ini dibayar oleh penyewa toko.

oleh Septian Deny diperbarui 22 Jun 2014, 18:41 WIB
Diterbitkan 22 Jun 2014, 18:41 WIB
Gedung Jangkung di Jantung Ibukota
Citizen6, Jakarta: Gedung-gedung bertingkat di kawasan Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat. Tidak ada lagi ruang terbuka hijau, bahkan penambahan ruas jalan tidak bisa lagi, sehingga sering terjadi kemacetan. (Pengirim: Sunyoto)

Liputan6.com, Jakarta - Kebijakan pemerintah menaikan tarif listrik untuk golongan industri mendapat banyak penolakan dari pengusaha. Kenaikan yang ditujukan untuk mengurangi beban subsidi pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) ini dinilai tidak tepat karena diarahkan pada sektor yang produktif dan banyak menyerap lapangan kerja.

Sesuai keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), tarif listrik untuk golongan industri naik secara berkala berdasarkan tiga parameter yaitu kurs rupiah, harga minyak dan inflasi.

Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI), Handaka Santoso mengatakan, ketiga parameter tersebut tidak tepat jika dijadikan dasar dari kenaikan tarif listrik.

"Inflasi dikaitkan dengan kenaikan listrik ya tidak masuk akal. Jadi kalau kenaikan listrik salah satunya karena inflasi, sedangkan jika listrik naik, maka harga barang juga ikut naik. Ini seperti lingkaran setan," ujarnya kepada Liputan6.com di Jakarta seperti ditulis Minggu (22/6/2014).

Menurut Handaka, sebenarnya para pengusaha yang bernaung di bawah APPBI tidak mempermasalahkan kenaikan listrik tersebut karena tarif listrik ini dibayar oleh penyewa toko yang berada di dalam pusat belanja.

Namun yang dia sayangkan adalah kenaikan tarif listrik ini akan semakin memberatkan pengusaha setingkat Usaha Kecil dan Menengah (UKM) yang berada di dalam pusat belanja dan seharusnya mendapatkan dukungan dari pemerintah.

"Di pusat belanja seperti ITC, disana banyak UKM  tapi bayar listriknya golongan B3. Padahal di sana banyak UKM yang baru mulai belajar mendaftarkan mereknya, belajar packaging. Dengan kenaikan ini apa dia bisa bertahan. Karena komponen listrik dalam pusat belanja itu 50%. Kalau (tarif listrik) naik 13%, setengahnya saja sudah 6,5%," jelas dia.

Selain itu, dia juga menolak jika pusat belanja dianggap sebagai sumber pemborosan listrik karena banyak penggunakan lampu dan pendingin ruangan. Hal ini karena pusat belanja juga merupakan salah satu penggerak roda ekonomi dimana di dalamnya terjadi kegiatan jual beli dan juga banyak menyerap tenaga kerja.

"Pusat belanja tidak bisa dikonotasikan sebagain industri yang memboroskan listrik. Dan pertumbuhan ekonomi Indonesia bukan tumbuh dari ekspor atau sebagainya, tetapi karena konsumsi dalam negeri," tandas dia. (Dny/Gdn)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya