Liputan6.com, Jakarta - Pakar energi Universitas Indonesia, Iwa Garniwa menilai Indonesia sulit mendapatkan harga minyak dengan harga miring dari harga pasar.
"Pembelian minyak goverment to goverment bisa saja terjadi. Namun Angola itu masuk dalam anggota pengekspor minyak, artinya mereka juga terikat dengan harga pasar dunia," ujar Iwa di Jakarta, Senin (1/12).
Bahkan, pemerintah bisa dituding melakukan kebohongan publik jika rencana kerjasama impor minyak dari Sonangol EP perusahaan migas asal Angola batal terjadi.
Advertisement
Ini karena Menteri BUMN Rini Soemarno dan Menteri ESDM Sudirman Said sebelumnya mengatakan kerjasama ini dilakukan karena adanya pemberian diskon sebesar US$ 15 per barel yang membuat negara hemat Rp 30 miliar per hari.
Menurut dia, diskon bisa saja diberikan apabila kerjasama itu g to g. Artinya yang memberikan diskon adalah pemerintah.
Sedangkan Angola sebagai negara pengekspor minyak bagian dari OPEC tidak bisa serta merta menurunkan harga dibawah harga pasar.
"Diskon itu ada di kebijakan negara. Kalau Angola tidak tidak termasuk dari anggota OPEC, dia bisa memberikan diskon. Pasalnya, Angola adalah anggota OPEC," tegasnya.
Seharusnya, sebagai tokoh publik, pernyataan Presiden, Menteri ESDM dan Menteri BUMN itu mewakili jajaran di bawahnya seperti Pertamina.
Menurut dia, kepercayaan itu dimulai dari Presiden, kemudian level berikutnya adalah Menteri ESDM dan BUMN, lalu operator Pertamina. Di sini terlihat perbedaan penafsiran antara jajaran menteri dengan Pertamina.
"Situasi sekarang, terajdi perbedaan antara Pertamina, Menteri BUMN dan Menteri ESDM. Siapa yang melakukan kesalahan," pungkasnya.
Sebelumnya, Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said menyatakan kerjasama PT Pertamina dengan Sonangol EP sebagai bentuk untuk menjalankan arahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Presiden Jokowi berpesan untuk memperbaiki sektor energi salah satunya dengan memperbaiki pasokan energi, dengan mencari alternatif sumber energi.(Nrm)