Kena Penyakit Belanda, RI Jadi Bangsa Lemah

"Tahun 1970-an kita kena penyakit Belanda, dapat uang banyak dari produksi migas," kata Menteri Koordinator Perekonomian, Sofyan Djalil.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 26 Feb 2015, 11:42 WIB
Diterbitkan 26 Feb 2015, 11:42 WIB
Sofyan Djalil dan Puan Maharani Penuhi Panggilan DPD
Menko Bidang Perekonomian Sofyan Djalil saat tiba di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (18/02/2015). Kedatangan Sofyan untuk memberikan penjelasan kepada DPD RI terkait kenaikan harga BBM (Liputan6.com/Andrian M Tunay)

Liputan6.com, Jakarta - Indonesia mendulang masa kejayaan dengan limpahan sumber daya alam, khususnya minyak dan gas (migas) sejak era 1970-an. Sayang, negara ini terlena dengan ekspor minyak dan gas bumi (migas) mentah karena mampu meraup pendapatan‎ berlipat sehingga menjadikan bangsa Indonesia lemah atau soft society.

Demikian disampaikan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Sofyan Djalil saat menghadiri Forum Konsultasi Daerah Penghasil Migas di Hotel Bidakara, Jakarta, Kamis. (26/2/2015).

"Tahun 1970-an kita kena penyakit Belanda, dapat uang banyak dari  produksi migas. Itu juga terjadi pada negara-negara yang punya sumber daya alam berlimpah, seperti migas, hasil tambang lain berlian, batu bara dan sebagainya," kata dia.

Indonesia, sambungnya, dianggap salah satu negara kaya sumber daya alam yang sulit bebas dari penyakit Belanda. Sejak meraup pundi-pundi uang dari pengerukan kekayaan alam, kata Sofyan, pemerintah justru mengalokasikan pendapatan tersebut untuk belanja tidak produktif.

"Belanja itu untuk memanjakan rakyat. Ini yang bahaya, sehingga kita jadi bangsa atau masyarakat yang lemah alias soft society. Bisanya hanya menengadahkan tangan," keluhnya.

Tak heran bila menurut dia, negara dengan limpahan sumber daya alam lebih jauh tertinggal dibanding negara lain tanpa kekayaan alam tersebut. Pasalnya negara lain menerapkan budaya kerja keras, sehingga menjadi bangsa yang maju atau tough society, seperti Jepang dan Jerman.

Sofyan menuturkan, anggaran atau pendapatan negara harus dialokasikan untuk belanja pendidikan, kesehatan, menciptakan pengusaha dan membangun industri agar pertumbuhan ekonomi Indonesia berkesinambungan, serta membuka lapangan kerja dan mengumpulkan pajak secara signifikan.

"Dulu memang ada kesalahan kebijakan migas, padahal Aceh dan Bontang masing-masing bisa menjadi kota industri di kawasan Barat dan Timur Indonesia. Maka dari itu, kita mulai memperbaikinya, memberi insentif supaya industri berkembang dan menciptakan multiplier effect berlipat," tegasnya. ‎(Fik/Gdn)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya