Liputan6.com, Jakarta Tradisi halal bihalal dalam Islam menjadi fenomena budaya yang khas dan identik dengan masyarakat Indonesia setelah perayaan Idul Fitri. Kegiatan yang berisi silaturahmi dan saling bermaaf-maafan ini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari rangkaian ibadah di bulan Syawal. Meski demikian, banyak yang masih mempertanyakan bagaimana sebenarnya posisi halal bihalal dalam Islam dari sudut pandang syariat.
Baca Juga
Advertisement
Jika ditelusuri secara mendalam, halal bihalal dalam Islam memang tidak ditemukan secara eksplisit dalam Al-Qur'an maupun hadits Nabi Muhammad SAW. Tradisi ini merupakan hasil akulturasi budaya dan ajaran Islam yang berkembang di Indonesia. Meski begitu, esensi halal bihalal dalam Islam sebenarnya sangat sejalan dengan nilai-nilai ajaran Islam yang menganjurkan untuk saling memaafkan, memperkuat silaturahmi, dan mencairkan hubungan yang beku di antara sesama muslim.
Untuk memahami lebih lanjut tentang kedudukan halal bihalal dalam Islam, penting bagi kita untuk menggali sumber-sumber hukum Islam dan pendapat para ulama mengenai praktik ini. Artikel ini akan mengupas tuntas makna, hukum, sejarah dan keutamaan halal bihalal dari perspektif syariat Islam, sehingga masyarakat dapat memahami dengan baik dasar-dasar tradisi yang telah mengakar kuat dalam budaya Indonesia ini.
Berikut informasi lengkapnya, yang telah Liputan6.com rangkum pada Jumat (21/3).
Pengertian dan Makna Halal Bihalal
Secara bahasa, istilah halal bihalal berasal dari kata "halal" yang diulang dan diberi imbuhan "bi" di tengahnya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), halal bihalal berarti bermaaf-maafan setelah menunaikan ibadah puasa Ramadan, yang biasanya dilakukan oleh sekelompok orang sebagai bentuk silaturahmi.
Dari sudut pandang linguistik, sebagaimana dijelaskan oleh Quraish Shihab dalam buku "Islam yang Santun dan Ramah, Toleran, dan Menyejukkan", kata "halal" atau "halala" memiliki beberapa makna, di antaranya: menyelesaikan kesulitan, melepaskan ikatan yang membelenggu, meluruskan benang yang kusut, atau mencairkan yang beku.
Berdasarkan makna ini, halal bihalal dapat diartikan sebagai kegiatan yang bertujuan untuk menghangatkan hubungan yang tadinya membeku sehingga menjadi cair (harmonis), atau meluruskan benang yang kusut (melepaskan ikatan yang membelenggu) agar tercipta keharmonisan dalam hubungan.
Dalam perspektif Qur'ani, istilah halal seringkali dirangkai dengan kata thayyib (baik atau baik lagi menyenangkan). Al-Qur'an memang menuntut setiap kegiatan yang dilakukan umat Muslim harus mengandung sesuatu yang baik dan menyenangkan untuk semua pihak.
Inilah yang menyebabkan Al-Qur'an tidak hanya menuntut seseorang untuk memaafkan orang lain, tetapi juga untuk berbuat baik terhadap orang yang pernah melakukan kesalahan terhadapnya. Dari sini, dapat dipahami bahwa halal bihalal bukan hanya momen untuk saling memaafkan, tetapi juga untuk berbuat baik kepada siapa pun.
Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI KH Abdul Muiz Ali menjelaskan bahwa esensi halal bihalal dapat tercapai jika kita menempatkan diri dalam halal bihalal sebagai media rekonsiliasi lahir dan batin sekaligus momen yang merekatkan sosial, baik antar individu maupun kelompok dan golongan. Dengan demikian, pelaksanaan halal bihalal tidak saja bernilai ibadah karena mengandung muatan silaturrahim, melainkan juga sebagai media yang dapat menyatukan dan menguatkan hubungan antar sesama.
Advertisement
Hukum Halal Bihalal dalam Syariat Islam
Dalam Islam, tradisi halal bihalal tidak memiliki landasan hukum yang spesifik dari Al-Qur'an atau Hadits. Namun, jika ditinjau dari substansinya yang berupa silaturahmi dan saling memaafkan, maka tradisi ini sejalan dengan ajaran Islam yang menganjurkan untuk menjaga hubungan baik dengan sesama dan saling memaafkan.
KH Abdul Muiz Ali, Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI, menyatakan bahwa halal bihalal yang semula berhukum mubah (boleh) bisa meningkat menjadi sunnah jika diniatkan untuk melaksanakan perintah silaturahmi. Bahkan, halal bihalal bisa menjadi wajib jika dikaitkan dengan kewajiban meminta maaf dan menghalallkan kesalahan diri terhadap orang lain.
Hal ini sejalan dengan hadits Rasulullah SAW tentang keutamaan berjabat tangan yang merupakan bagian dari tradisi halal bihalal:
مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إِلاَّ غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَفْتَرِقَا
"Maa min muslimaini yaltaqiyaani fayatasaafahaani illaa ghufira lahumaa qabla an yaftariqaa."
Artinya: "Tidaklah dua orang muslim ketika saling bertemu kemudian berjabat tangan, kecuali akan diampuni (dosa-dosa) mereka berdua sebelum mereka berpisah." (HR Abu Dawud dan At Tirmidzi)
Quraish Shihab dalam bukunya "Wawasan Alquran" menjelaskan bahwa kata "halal" dalam konteks halal bihalal sebaiknya tidak dipahami sebagai pengertian hukum, melainkan dalam perspektif ukhuwah Islamiyah. Pasalnya, tidak semua yang halal dalam konteks hukum selalu menyebabkan hubungan harmonis antara satu sama lain. Ada beberapa hal yang halal tetapi dibenci oleh Allah, seperti perceraian, sebagaimana disebutkan dalam hadits Rasulullah SAW: "Abghdu al-halal ila Allah, ath-thalaq" (perkara halal yang paling dibenci Allah adalah pemutusan hubungan suami istri).
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa hukum halal bihalal dalam Islam adalah mubah (boleh), tetapi bisa meningkat menjadi sunnah atau bahkan wajib tergantung pada niat dan konteksnya. Selama kegiatan ini dilakukan dengan tujuan yang sesuai dengan ajaran Islam, yakni untuk memperkuat silaturahmi dan saling memaafkan, maka halal bihalal merupakan tradisi yang baik untuk dilestarikan.
Asal Usul dan Sejarah Halal Bihalal di Indonesia
Tradisi halal bihalal merupakan produk asli Indonesia dan tidak ditemukan di Makkah maupun Madinah. Hal ini menunjukkan bahwa halal bihalal adalah hasil pribumisasi ajaran Islam di tengah masyarakat Asia Tenggara, khususnya Indonesia. Terdapat beberapa versi tentang asal-usul tradisi halal bihalal di Indonesia.
Versi pertama menyebutkan bahwa tradisi halal bihalal pertama kali diinisiasi oleh Mangkunegara I atau yang lebih dikenal dengan sebutan Pangeran Sambernyawa (lahir 8 April 1725). Pada masa itu, untuk menghemat waktu, tenaga, pikiran, sekaligus biaya, setelah usai melaksanakan salat Idul Fitri, Pangeran Sambernyawa mengadakan pertemuan antara raja dengan para punggawa dan prajurit secara serentak di balai istana. Dalam budaya Jawa, seseorang yang lebih muda kemudian sungkem kepada orang yang lebih tua adalah suatu perbuatan yang terpuji. Sungkem berarti sebagai lambang penghormatan sekaligus permohonan maaf.
Versi lain menyebutkan bahwa tradisi halal bihalal lahir pada masa revolusi kemerdekaan, tepatnya pada bulan Ramadan 1946. Saat itu, kondisi Indonesia berada di titik genting akibat kedatangan kembali pihak Belanda. Beberapa tokoh menghubungi Presiden Soekarno dengan maksud agar beliau bersedia menggelar pertemuan pada hari Idul Fitri (Agustus 1946) dengan mengundang seluruh komponen revolusi.
Selain untuk membahas revolusi, tujuan dari pertemuan ini adalah agar Lebaran menjadi ajang saling memaafkan dan menerima keragaman dalam satu kesatuan dan persatuan NKRI. Presiden Soekarno menyetujui usulan tersebut, dan sejak saat itu, tradisi halal bihalal mulai marak dilakukan dan terus dilestarikan oleh masyarakat Indonesia sebagai ajang untuk memperkuat tali persaudaraan.
Meskipun halal bihalal adalah tradisi khas Indonesia, namun esensinya sangat sejalan dengan ajaran Islam. KH Abdul Muiz Ali menyebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW pernah melakukan semacam halal bihalal atau saling 'menghalalkan' serta melupakan kesalahan masa lalu ketika peristiwa Fathu Makkah (Pembebasan Kota Makkah). Pada saat itu, Rasulullah SAW memaafkan penduduk Makkah dan kelompok Quraisy yang semula memusuhi dan menentang dakwahnya. Peristiwa ini terjadi pada tahun 8 Hijriyah dan disebut sebagai rekonsiliasi terbesar sepanjang sejarah dunia.
Pada peristiwa Fathu Makkah, Rasulullah SAW menyampaikan, "Ini adalah hari kasih sayang (yaumul marhamah), hari di mana Allah SWT memuliakan bangsa Quraisy." Beliau kemudian memberikan jaminan keselamatan jiwa, harta, dan jaminan kehormatan kepada penduduk Makkah. Salah satu ayat Al-Qur'an yang dibacakan oleh Rasulullah SAW pada saat peristiwa Fathu Makkah adalah surah Yusuf ayat 92:
قَالَ لَا تَثْرِيبَ عَلَيْكُمُ الْيَوْمَ ۖ يَغْفِرُ اللَّهُ لَكُمْ ۖ وَهُوَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ
"Qaala laa tatsriiba 'alaikumul yaum, yaghfirullahu lakum wa huwa arhamur raahimiin."
Artinya: "Dia (Yusuf) berkata, 'Pada hari ini, tidak ada cercaan terhadap kamu. Mudah-mudahan Allah mengampuni kalian. Dan Dia adalah Yang Maha Penyayang di antara para penyayang.'"
Advertisement
Tujuan dan Hikmah Halal Bihalal
Halal bihalal memiliki beberapa tujuan dan hikmah yang sejalan dengan ajaran Islam. Pertama, halal bihalal merupakan sarana untuk saling memaafkan dan meminta maaf atas kesalahan yang pernah dilakukan. Dalam Islam, memaafkan kesalahan orang lain sangat dianjurkan, sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur'an surah Ali 'Imran ayat 134:
الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ ۗ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
"Alladziina yunfiquuna fis sarraa'i wad dharraa'i wal kaazhimiinal ghaizha wal 'aafiina 'anin naas, wallahu yuhibbul muhsiniin."
Artinya: "(Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan."
Kedua, halal bihalal menjadi momen untuk memperkuat silaturahmi dan ukhuwah Islamiyah. Rasulullah SAW sangat menganjurkan untuk menjaga silaturahmi, sebagaimana sabdanya: "Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia menyambung silaturahmi." (HR. Bukhari dan Muslim)
Ketiga, halal bihalal dapat menjadi media rekonsiliasi dan perekat sosial, baik antar individu maupun antar kelompok. Dalam konteks kehidupan bermasyarakat yang beragam seperti di Indonesia, halal bihalal bisa menjadi sarana untuk memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa. Hal ini sejalan dengan ajaran Islam yang memerintahkan untuk menjaga persatuan, sebagaimana firman Allah SWT dalam surah Ali 'Imran ayat 103:
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا
"Wa'tashimuu bihabl-illaahi jamii'aw walaa tafarraquu."
Artinya: "Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai."
Keempat, halal bihalal menjadi sarana untuk introspeksi diri dan memperbaiki hubungan dengan sesama. Muhammad Quraish Shihab dalam bukunya "Lentera Al-Quran: Kisah dan Hikmah Kehidupan" menyebutkan bahwa substansi halal bihalal jika dihakikatkan dengan Idul Fitri akan membuat semakin banyak orang yang mengulurkan tangan dan melapangkan dada dengan memaafkan.
Kelima, halal bihalal dapat menjadi ajang untuk dakwah dan syiar Islam. Dalam pelaksanaan halal bihalal yang agak formal, biasanya diisi dengan tausiyah dari ustaz atau ustazah dan pengajian, yang dapat menjadi sarana untuk menyebarkan ilmu dan nilai-nilai Islam kepada masyarakat luas.
Dengan demikian, meskipun tradisi halal bihalal merupakan hasil akulturasi budaya Indonesia dengan ajaran Islam, namun tujuan dan hikmahnya sangat sejalan dengan ajaran Islam yang menganjurkan untuk saling memaafkan, memperkuat silaturahmi, dan menjaga persatuan umat.
