Liputan6.com, Jakarta - Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) sejak tahun lalu belum mampu mengangkat kinerja ekspor Indonesia secara signifikan. Perkiraan surplus pada neraca perdagangan Februari 2015 lebih rendah dibanding realisasi Januari tahun ini senilai US$ 710 juta. Â
"Neraca perdagangan Indonesia pada Februari ini surplus sekira US$ 680 juta sampai US$ 690 juta," kata Pengamat Ekonomi dari Universitas Padjajaran, Bandung, Ina Primiana saat berbincang dengan Liputan6.com, Jakarta, Senin (16/3/2015).
Â
Dirinya berpendapat, laju ekspor harus tertahan sejak penguatan kurs dolar AS hingga sempat menembus Rp 13.200. Hal ini bertentangan dengan pernyataan pemerintah dan Bank Indonesia bahwa momentum pelemahan kurs rupiah dapat meningkatkan kinerja ekspor Indonesia. Â
"Sebab produksi barang terganggu atau harus berkurang karena biaya bahan baku yang sebagian besar berasal dari impor semakin mahal akibat pelemahan rupiah. Produksi nggak maksimal sehingga ekspor tertahan," ujar Ina.
Di samping itu, dijelaskannya, ekspor produk maupun komoditas asal Indonesia kurang bergairah akibat perlambatan ekonomi negara-negara tujuan sehingga mengurangi permintaan. Apalagi harga-harga komoditas belum bergerak naik. "Jadi ekspor kita belum bisa lari kencang," tutur dia.
Â
Advertisement
Ina menerangkan, Indonesia belum mengalami perbaikan ekspor meski ada pertumbuhan industri manufaktur dalam negeri. Pasalnya, komponen dari produk manufaktur mayoritas masih mengandalkan impor sehingga ikut terkena imbas ketika rupiah terpuruk.
"Maka dari itu, industri komponen di dalam negeri perlu digenjot, termasuk industri pengolahan atau hilirisasi seperti barang tambang, hasil pertanian supaya punya nilai tambah dan berkontribusi besar pada ekspor," tegas dia.
Sementara dari sisi impor, menurut Ina, ikut mengalami penurunan akibat anjloknya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Terutama, sambungnya, impor minyak dan gas (migas) karena pencabutan subsidi Premium dan pemberlakuan subsidi tetap untuk Solar Rp 1.000 per liter.
"Karena subsidi dicabut, harga Premium jadi lebih mahal. Ini mengurangi konsumsi BBM oleh masyarakat," terangnya. (Fik/Ndw)