Liputan6.com, Jakarta Rencana pemerintah menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% per 1 Januari 2025 mendatang memang memicu pro dan kontra di kalangan masyarakat. Banyak kekhawatiran yang timbul karena kenaikan ini memicu dampak yang membebani masyarakat, terutama golongan menengah ke bawah.
Adanya kontraksi ekonomi yang bisa terjadi seiring dengan diberlakukannya kenaikan PPN menjadi 12% memang termasuk dampak yang tidak bisa dihindari, mengingat perlunya penyesuaian dari masyarakat. Namun, beberapa ahli dan pengamat ekonomi memprediksi kontraksi ini sifatnya hanya temporer atau sementara karena pemerintah sendiri telah memperhitungkan dan menyiapkan langkah mitigasi.
Kenaikan PPN untuk Tingkatkan Pendapatan Negara dan Memperluas Ruang Fiskal
Menurut Chief Economist Bank Pertama, Josua Pardede, kenaikan PPN menjadi 12% yang direncanakan pemerintah ini memiliki tujuan untuk meningkatkan pendapatan negara dan memperluas ruang fiskal demi mendukung pembangunan berkelanjutan. Hal ini sesuai amanat dari tujuan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
"Dibandingkan dengan negara lain, tarif PPN Indonesia masih relatif rendah. Mayoritas negara maju memiliki tarif PPN antara 15-25%, sehingga langkah ini juga sejalan dengan tren internasional. Kemudian, data menunjukkan bahwa kenaikan PPN menjadi 11% pada 2022 tidak menyebabkan lonjakan inflasi yang signifikan, bahkan daya beli masyarakat tetap terjaga. Inflasi yang terkendali di angka 1,6% menunjukkan kemampuan kebijakan fiskal dan moneter dalam menjaga stabilitas ekonomi," ungkap Josua dalam wawancara tertulis bersama tim Liputan6.com.
Lebih lanjut, Josua juga menyoroti berbagai insentif yang akan diberikan pemerintah sebagai kompensasi bagi masyarakat yang terdampak dengan kenaikan tersebut.
“Pemerintah juga memberikan insentif PPN untuk barang kebutuhan pokok dan sektor vital (pendidikan, kesehatan, transportasi) senilai Rp265,6 triliun pada 2025, sehingga masyarakat berpenghasilan rendah tidak terkena dampak langsung kenaikan PPN. Lalu, Kebijakan ini mencerminkan prinsip ‘keadilan dan gotong royong,’ di mana barang/jasa mewah (seperti makanan premium, layanan VIP, dan pendidikan internasional mahal) dikenakan tarif PPN penuh, sementara kebutuhan dasar tetap bebas PPN. Terakhir, pemerintah telah mengimbangi kenaikan PPN dengan paket stimulus ekonomi yang mencakup bantuan pangan, subsidi listrik, dan insentif bagi UMKM serta sektor padat karya. Langkah ini dirancang untuk menjaga daya beli rumah tangga dan mendorong pemulihan ekonomi,” lanjutnya.
Advertisement
Paket Bantuan Pemerintah Sasar Banyak Kalangan
Seiring dengan keputusan pemerintah untuk menaikkan PPN menjadi 12%, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan bahwa pemerintah telah menyiapkan berbagai skema kebijakan dan program strategis. Bauran kebijakan ini diimplementasikan pemerintah dengan mempertimbangkan prinsip keadilan dan gotong royong, serta diiringi dengan langkah mitigasi berupa pemberian insentif di bidang ekonomi.
“Untuk itu, agar kesejahteraan masyarakat tetap terjaga, Pemerintah telah menyiapkan insentif berupa Paket Stimulus Ekonomi yang akan diberikan kepada berbagai kelas masyarakat,” ungkap Menko Airlangga.
Pemerintah sendiri telah memproyeksikan insentif PPN dibebaskan yang diberikan pada 2025 sebesar Rp265,6 triliun. Pemerintah tetap memberikan fasilitas bebas PPN atau tarif PPN 0% untuk barang dan jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat umum dan mempengaruhi hajat hidup orang banyak.
Barang dan jasa tersebut termasuk bahan kebutuhan pokok seperti beras, daging, ikan, telur, sayur, susu segar, gula konsumsi, jasa pendidikan, jasa kesehatan, jasa angkutan umum, jasa tenaga kerja, jasa keuangan, jasa asuransi, buku, vaksin polio, rumah sederhana dan sangat sederhana, rusunami, serta pemakaian listrik dan air minum.
Selain itu, ada juga beberapa insentif bantuan untuk rumah tangga berupa PPN Ditanggung Pemerintah (DTP) sebesar 1% dari kebijakan PPN 12% untuk arang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting (Bapokting) yakni minyak Kita, tepung terigu, dan gula industri, sehingga PPN yang dikenakan tetap sebesar 11%. Stimulus Bapokting tersebut cukup krusial untuk menjaga daya beli masyarakat terutama dalam pemenuhan kebutuhan pokok. Secara khusus, stimulus untuk gula industri diharapkan dapat menopang industri pengolahan makanan-minuman yang memiliki kontribusi sebesar 36,3% terhadap total industri pengolahan.
Ada juga kebijakan bantuan Pangan/Beras yang dirancang pemerintah sebanyak 10kg per bulan untuk 16 juta Penerima Bantuan Pangan (PBP) selama 2 bulan. Ada juga diskon listrik sebesar 50% selama 2 bulan (Januari-Februari 2025) untuk pelanggan dengan daya hingga 2200 VA.
Di sisi lain, kelas menengah juga mendapatkan berbagai stimulus kebijakan yang disiapkan pemerintah untuk menjaga daya beli. Misalnya PPN DTP Properti bagi pembelian rumah dengan harga jual sampai Rp5 miliar dengan dasar pengenaan pajak sampai Rp2 miliar, PPN DTP KBLBB atau Electric Vehicle (EV) atas penyerahan EV roda empat tertentu dan bus tertentu, PPnBM DTP KBLBB/EV atas impor EV roda empat tertentu secara utuh (Completely Built Up/CBU) dan penyerahan EV roda empat tertentu yang berasal dari produksi dalam negeri (Completely Knock Down/CKD), serta Pembebasan Bea Masuk EV CBU.
Kebijakan baru juga diberikan pemerintah untuk masyarakat kelas menengah seperti pemberian PPnBM DTP Kendaraan Bermotor Hybrid, pemberian insentif PPh Pasal 21 DTP untuk Pekerja di Sektor Padat Karya dengan gaji sampai dengan Rp10 juta/bulan, optimalisasi Jaminan Kehilangan Pekerjaan dari BPJS Ketenagakerjaan sebagai buffer bagi para pekerja yang mengalami PHK dengan tidak hanya manfaat tunai, tapi juga manfaat pelatihan dan akses informasi pekerjaan, serta Relaksasi/Diskon sebesar 50% atas pembayaran iuran Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) kepada sektor industri padat karya.
Beragam paket stimulus yang diberikan pemerintah diharapkan bisa menjadi ‘bantalan’ bagi masyarakat yang terdampak kenaikan PPN menjadi 12% tersebut. Sementara itu menurut Pengamat Perpajakan sekaligus mantan staf khusus Menteri Keuangan, Yustinus Prastowo, menekankan bahwa pemerintah harus fokus mengukur dampak di lapangan ketika program ini sudah berlangsung minimal 2 bulan setelah penerapan.
“Pemerintah juga harus fokus melihat sektor mana yang kemungkinan terdampak namun belum tercakup dalam skema stimulus, ini kan penting supaya jangan ada yang tertinggal. Lalu memastikan belanja APBN-nya tepat sasaran sehingga dampaknya bisa dirasakan oleh masyarakat,” ungkap Prastowo dalam sesi wawancara bersama tim Liputan6.com.
Prastowo juga melanjutkan bahwa adanya kontraksi ekonomi ini merupakan tanda bahwa ekonomi nasional mengalami pergerakan.
“Kalau kita berkaca pada pengalaman sebelumnya terkait kenaikan harga BBM maupun kenaikan PPN 11%, dampak inflasi ada tapi temporer. Artinya 3 bulan pertama ada tapi masih bisa diatasi, artinya ekonomi kita bergerak, tidak statis. Jadi, harapannya nanti juga temporer seperti itu, bisa dikendalikan dampaknya termasuk pemerintah kan diharapkan mengendalikan harga-harga yang variabelnya banyak ya,” ungkap Prastowo.
Ia menambahkan, “Maka menurut saya yang paling penting memastikan sinergi antara pusat dan daerah untuk melihat betul fakta lapangan apakah harga-harga dapat dikendalikan. Pemerintah kan punya kewenangan melakukan operasi pasar jika nanti ada kenaikan harga-harga tertentu. Menurut saya jadinya bagus karena pajak kan gotong royong, ya seperti iuran-iuran itu. Idealnya yang mampu membayar lebih besar. yang tidak mampu dibantu. Jadi harapannya dengan adanya stimulus dan mengejar pajak orang kaya, itu harapannya nanti bisa mengompensasi dampak atau risiko yang mungkin muncul,” tandasnya.