Samsung Buka Pabrik di RI, Impor Ponsel Diharap Turun

Menteri Perindustrian Saleh Husin berharap langkah Samsung diikuti oleh produsen ponsel lain sehingga Indonesia tak lagi pada ponsel impor.

oleh Septian Deny diperbarui 16 Jun 2015, 13:12 WIB
Diterbitkan 16 Jun 2015, 13:12 WIB
Samsung Galaxy S5
Samsung Galaxy S5 (Liputan6.com)

Liputan6.com, Jakarta - PT Samsung Electronics Indonesia meresmikan pengoperasian pabrik perakitan telepon seluler di Indonesia. Pabrik tersebut ditargetkan mampu memproduksi sekitar 1 juta hingga 1,5 juta unit ponsel per bulan.

Menteri Perindustrian, Saleh Husin mengatakan, dengan adanya pabrik perakitan telepon seluler di dalam negeri, diharapkan mampu menekan impor yang jumlahnya mencapai 54 juta ponsel per tahun. "Selama ini impor cukup besar," ujarnya di Cikarang, Jawa Barat, Selasa (16/6/2015).

Saleh menjelaskan, pangsa pasar (market share) telepon seluler Samsung di Indonesia mencapai 40 persen. Dengan pangsa pasar sebesar itu, produksi telepon seluler Samsung di dalam negeri akan mampu mensubstitusi impor. "Samsung market share 40 persen. Kalau bisa dipasok dari dalam negeri akan bisa kurangi impor," lanjut dia.

Selain itu, Saleh juga berharap langkah Samsung ini diikuti oleh produsen ponsel lain sehingga Indonesia tak lagi ketergantungan pada ponsel impor. "Ini bisa jadi pemicu bagi merk lain. Kita juga berharap instansi lain bisa menjaga masuknya produk-produk ilegal yang menguras dan membebani industri di dalam negeri," tandasnya.

Untuk diketahui, Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan, Indonesia cukup getol impor mesin dan peralatan listrik terutama peralatan elektronik di antaranya ponsel pada Januari-April 2015 dibanding periode sama tahun lalu. Hal ini terjadi karena ada perang harga antar negara-negara ASEAN dalam menjual produknya.

Deputi Bidang Statistik, Distribusi dan Jasa BPS, Sasmito Hadi Wibowo mengatakan, penguatan dolar Amerika Serikat (AS) yang diikuti penurunan harga minyak dunia justru mendorong harga jual sejumlah produk dari negara ASEAN ‎semakin murah. Akhirnya terjadi persaingan atau perang harga.

"‎Walaupun dolar naik, harga turun lebih tajam. Ada perang harga karena produksi perusahaan di negara-negara ASEAN sudah banyak, sehingga timbul persaingan. Mumpung harga murah, kita banyak beli (impor)," ucap dia.

Kata Sasmito, persaingan atau perang harga terjadi antar China, Korea Selatan, Singapura, Vietnam, dan Malaysia mengingat produksi barang di negara tersebut berlimpah. "China menjual barang yang kadang harganya tidak masuk akal. Harga yang harusnya Rp 2 juta, dijual Rp 700 ribu. Mungkin manfaatnya serupa, tapi soal kualitas tidak tahu," ujar Sasmito.

Impor paling dominan yang dikirim ke Indonesia, sambung dia, berupa ponsel. Ponsel tercatat masuk dalam kategori barang mesin dan peralatan listrik.  ‎Dari catatannya, impor mesin dan peralatan listrik pada Januari-April 2015 mengalami kenaikan 7,31 persen menjadi US$ 2,3 miliar dari periode yang sama 2014 sebesar US$ 2,19 miliar. (Dny/Gdn)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya