Ini Tanggapan Menteri Hanif Soal Aturan Bahasa Bagi Pekerja Asing

Menaker Hanif Dhakiri memastikan dengan tidak adanya kewajiban bagi TKA untuk berbahasa Indonesia maka syarat lain mengalami kelonggaran.

oleh Septian Deny diperbarui 28 Agu 2015, 14:45 WIB
Diterbitkan 28 Agu 2015, 14:45 WIB
Hanif Dhakiri Mengaku Siap Ditangkap
Menaker Hanif Dhakiri memastikan dengan tidak adanya kewajiban bagi TKA untuk berbahasa Indonesia maka syarat lain mengalami kelonggaran.

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri mengakui bahwa dalam aturan baru terkait tenaga kerja yaitu Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 16 Tahun 2015 tidak ada lagi ketentuan yang mewajibkan tenaga kerja asing (TKA) untuk bisa berbahasa Indonesia.

"Untuk bahasa Indonesia, diaturan kami yaitu Permenaker 16/2015 memang bahasa Indonesia sebagai syarat masuk bagi TKA tidak lagi dipakai," ujarnya di Kantor Kementerian Ketenagakerjaan, Jakarta, Jumat (28/8/2015).

Namun, dia memastikan bahwa penghapusan tersebut tidak akan menganggu proses alih teknologi dari para TKA tersebut kepada tenaga kerja di dalam negeri. "Tetapi dalam proses alih teknologi tetap akan diikuti dengan kemampuan berbahasa Indonesia," tegasnya.

Hanif menjelaskan, bahwa kebijakan yang diambil oleh Kementerian Tenaga Kerja bertujuan untuk melancarkan arus investasi asing ke Indonesia. Dengan demikian diharapkan mampu menumbuhkan lapangan kerja di Tanah Air.

"Karena kita perlu aturan yang mendukung percepatan investasi di Indonesia, terkait juga dengan pembangunan dan terciptanya lapangan kerja. Saat seperti ini kita perlu percepatan," kata dia.

Selain itu, Hanif juga memastikan bahwa dengan tidak adanya kewajiban bagi TKA untuk berbahasa Indonesia maka syarat-syarat lain juga akan mengalami kelonggaran. Menurutnya, pemerintah tetap punya sistem kendali terhadap TKA yang akan dan sudah bekerja di Indonesia.

"Tapi kita juga tetap punya sistem kendali. Syarat utamanya yaitu kompentensi dan jabatan. Juga ada syarat perluasan lapangan kerja bagi perusahaan yang menggunakan TKA. Misalnya jika dia pekerjakan TKA 10 orang maka harus juga menyerap sekian orang tenaga kerja kita," tandasnya.

Sebelumnya, Satuan Tugas Tenaga Kerja Indonesia (Satgas TKI) Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia meminta pemerintah untuk melakukan peninjauan ulang revisi Peraturan Menteri Keternagakerjaan Nomor 16/2015 Tentang Tata Cara Penggunaan TKA (Tenaga Kerja Asing).

Ketua Satgas TKI Kadin Indonesia, Nofel Saleh Hilabi mempertanyakan atas penghapusan kewajiban bagi TKA berbahasa Indonesia, yang telah diganti dengan semua TKA yang bekerja di Indonesia apapun jabatannya tidak perlu menguasai bahasa Indonesia. Revisi tersebut dilakukan untuk memperlancar investasi asing.

“Bagaimana bisa seperti itu. TKI kita saja kalau ditempatkan di suatu negara harus bisa bicara dengan bahasa negara itu, belum lagi harus mengerti budayanya juga,” ungkapnya.

TKI sudah banyak yang bekerja di Saudi Arabia, Jepang, Australia, Hongkong dan lainnya. Sebelum ditempatkan, mereka harus sudah dilengkapi dengan kemampuan berbahasa asing. Lalu mengapa TKA yang ada di Indonesia tidak diwajibkan berbahasa Indonesia.

Menurutnya, hal itu juga dapat menghambat transfer ilmu, terutama untuk pekerja asing di level-level tertentu seperti di tingkat Manajer atau Kepala Divisi. Menurutnya, pertimbangan pemerintah membebaskan TKA tidak berbahasa Indonesia semata-mata untuk memperlancar investasi asing adalah kebijakan yang kurang tepat.

Senada, Ketua Komisi IX DPR Dede Yusuf Macan Effendi menilai, untuk menggalang investasi tidak harus serta merta membuka pintu seluas-luasnya hingga menghapus aturan berbahasa Indonesia bagi TKA.

Dede berpandangan, jika aturan kemampuan berbahasa Indonesia dihapus‎, maka yang masuk bisa bermacam-macam yakni di antaranya seperti budaya, politik, nilai-nilai moral.

"Ini yang perlu diperhatikan, apakah kita sudah siap untuk menghadapi ini? Kami akan menegur pemerintah, semestinya sebelum mengeluarkan ini pemerintah mendengar para ahli. Saya pahami ini instruksi langsung para presiden, tapi kita bisa diskusikan bersama,"‎ kata Dede.

Mantan Wakil Gubernur Jawa Barat ini berujar, pemerintah seharusnya memberikan sosialisasi terlebih dulu jika ingin mencabut suatu kebijakan yang sudah ditetapkan sebelumnya. Selain itu menurutnya, masih ada cara lain untuk menarik investor agar iklim investasi di Indonesia membaik. (Dny/Gdn)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya