Konsultan Internasional Dilibatkan dalam Pengembangan Blok Masela

Menteri ESDM Sudirman Said telah meminta SKK Migas dan Direktorat Jenderal Migas untuk menyelesaikan hal ini.

oleh Pebrianto Eko Wicaksono diperbarui 07 Okt 2015, 11:27 WIB
Diterbitkan 07 Okt 2015, 11:27 WIB
Semester I 2014 Realisasi Produksi Minyak Nasional 796,5 MBOPD
Salah satu anjungan PAPA, Flowstation Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java (PHE ONWJ) yang ada di lepas pantai Karawang, Jabar, (28/7/2014). (ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja)

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah menyatakan, penyelesaian masalah pembangunan infrastruktur penyaluran dan pengolahan gas di Blok Masela, akan dilakukan dengan cara profesional.

Direktur Jenderal Minyak dan Gas bumi Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) I Gusti Nyoman Wiratmaja mengatakan, Menteri ESDM Sudirman Said telah meminta Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) dan Direktorat Jenderal Migas Kementerian ESDM untuk mencari rekomendasi terkait hal ini.

"Menteri ESDM meminta SKK Migas dan Dirjen Migas," kata Wirat, di Jakarta, Rabu (7/10/2015).

Wirat menambahkan, untuk mencari rekomendasi pembangunan fasilitas tersebut, pemerintah juga meminta konsultan independen yang mumpuni dengan kualitas internasional.

"Mencari konsultan independen dengan reputasi world class yang dapat memberikan rekomendasi profesional," tuturnya.

Belakangan ini muncul polemik dalam pengembangan fasilitas pengolahan gas dari Blok Masela menjadi gas alam cair (Liquid Natural Gas/LNG) di kalangan pemerintah.

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli menginginkan pembangunan fasilitas tersebut dilakukan di daratan (on shore) yang terletak di Pulau Aru. Untuk memasok gas ke pulau tersebut dibutuhkan pembangunan pipa sepanjang 600 kilometer (km).

Namun Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said ingin pembangunan faslilitas tersebut dilakukan di atas laut (off shore) berupa kapal (FLNG).

"Hitungannya SKK Migas lebih hemat off shore," tegas Sudirman.

Lalu mana yang lebih efisien dan murah di antara dua fasilitas tersebut?

Kepala SKK Migas Amien Sunaryadi mengungkapkan, jika pembangunan fasilitas pengolahan gas di daratan, masih membutuhkan fasilitas kapal untuk menyalurkan gas ke pipa yang terbentang ke fasilitas pengolahan gas di Pulau Aru.

"Dari peralatan bawah laut, pipa tetap harus ada kapal. Tapi ini kapal untuk pisahkan gas dan kondensat. Kemudian gas dengan pipa dibawa ke darat. Di darat kemudian dibuat fasilitas LNG. Jadi kalau fasilitas LNG di darat, tidak berarti nggak pakai kapal. Jadi tetap pake kapal. Lifting kondensat dari kapal, lifting LNG dari dermaga di darat," papar Amien.

Sementara jika fasilitas tersebut dibangun di atas laut, peralatan bawah laut (subsea) dari Blok Masela, kemudian disambung pipa naik ke kapal FLNG. Dari situ diproses untuk pisahkan gas dan kondesat, dan gas diproses jadi LNG.

"Jadi dari kapal itu pula lifting kondensat dan LNG. Ini konfigurasi kalau FLNG," jelasnya.

Menurut Amien, biaya yang diperlukan jika infrastruktur gas menggunakan pipa disalurkan ke daratan sebesar US$ 19,3 miliar sedangkan jika fasilitas dilakukan di atas laut (off shore) menggunakan fasilitas pengolahan terapung (FLNG), hanya membutuhkan biaya US$ 14,8 miliar.

Penyaluran gas dengan pipa juga lebih rumit dan memakan waktu lebih lama sekitar 1,5 tahun untuk mengkajinya, belum termasuk pembebasan lahan.

"Kalau on shore US$ 19,3 miliar, kalau off shore US$ 14,8 miliar dari sisi angka jauh lebih murah FLNG," pungkasnya. (Pew/Zul)*

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya