Ketimpangan Orang Miskin dan Kaya di RI Turun dalam Setahun

BPS menyarankan kepada pemerintaaah untuk terus menurunkan kesenjangan antara masyarakat miskin dan ka‎ya.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 01 Feb 2017, 13:45 WIB
Diterbitkan 01 Feb 2017, 13:45 WIB
20160608-Wajah Kepadatan Penduduk Ibu Kota yang Carut Marut-Jakarta
Kepadatan gedung bertingkat dan pemukiman penduduk dilihat dari kawasan Jembatan Besi, Jakarta, 5 Juni 2016. Tingkat kepadatan penduduk yang tinggi memicu berbagai permasalahan, dari tata ruang, kemiskinan hingga kriminalitas. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan kesenjangan pengeluaran antara orang kaya dan miskin (gini ratio) di Indonesia mencapai 0,394 pada periode September 2016. Angka ini turun dibanding ‎gini ratio di Maret tahun lalu 0,397 dan gini ratio di September 2015 yang sebesar 0,402.

Kepala BPS Suhariyanto mengungkapkan, gini ratio September 2016 sebesar 0,394, turun 0,003 poin dibanding Maret yang mencatatkan gini ratio 0,397 dan 0,008 dari realisasi gini ratio September 2015 sebesar 0,402.

"Itu artinya terjadi perbaikan pemerataan pengeluaran di periode September 2015 dan September 2016. Terjadi kenaikan pengeluaran di masyarakat level bawah lebih tinggi dibanding masyarakat ‎20 persen berpengeluaran ke atas," terang dia saat Konferensi Pers di kantornya, Jakarta, Rabu (1/2/2017).

Suhariyanto menuturkan, dari rasio ketimpangan 0,394 di September‎ 2016, wilayah perkotaan memiliki gini ratio paling tinggi dengan pencapaian 0,409 dibanding perdesaan yang sebesar 0,316.

Sementara gini ratio masyarakat 40 persen ‎berpengeluaran rendah ‎mencatatkan gini ratio 17,11, dan 40 persen dan berpengeluaran menengah 36,33, serta 45,56 untuk 20 persen berpengeluaran tinggi.

"Kalau angka gini ratio di bawah 12 berdasarkan standar Bank Dunia, ketimpangan tinggi. Kalau gini ratio 12-17 artinya ketimpangan sedang, dan di atas 17 berarti ketimpangan rendah. Di kelompok penduduk 40 persen pengeluaran rendah, angkanya 17,11 attinya ketimpangan sedang," papar dia.

Lebih jauh Suhariyanto menyarankan kepada pemerintaaah untuk terus menurunkan kesenjangan antara masyarakat miskin dan ka‎ya. "Kalau angkanya tinggi, akan memicu konflik sosial," jelas dia.

Dirinya mengatakan, kenaikan pengeluaran per kapita selama setahun dari September 2015-September 2016 untuk kelompok penduduk 40 persen terbawah sebesar 4,56 persen, untuk kelompok penduduk 40 persen menengah kenaikannya 11,69 persen, dan 20 persen teratas sebesar 3,83 persen.

"Peningkatan pendapatan ‎kelompok penduduk bawah tidak lepas dari upaya pembangunan infrastruktur padat karya, beragam skema perlindungan dan bantuan sosial di bidang pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan lainnya yang dijalankan pemerintah," terang Suhariyanto.

Alasan lain gini ratio merosot dalam setahun ini, kata dia, meningkatnya jumlah dan prosentase penduduk yang bekerja dengan status berusaha atau dibantu pekerja tidak bayar yang merupakan kelompok terbesar pada kelas menengah, sebagai dampak dari kondusifnya pengembangan UMKM.

Berdasarkan data Sakernas, terjadi peningkatan jumlah pekerja yang berusaha sendiri atau dibantu pekerja tidk dibayar dari 37,7 juta Agustus 2015 menjadi 39,5 juta di Agustus 2016‎ atau naik sekitar 4,77 persen.

Sementara untuk lapangan usaha industri pengolahan, konstruksi, perdagangan dan angkutan peningkaatannya jauh lebih tinggi lagi, yakni 9,44 persen dari 18 juta di Agustus 2015 menjadi 19,7 juta di Agustus 2016.(Fik/Nrm)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya