Kenapa Masyarakat RI Masih Ogah ‎Bayar Pajak?

Masih banyak rakyat yang tidak percaya dengan undang-undang di bidang perpajakan.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 20 Feb 2017, 13:19 WIB
Diterbitkan 20 Feb 2017, 13:19 WIB
 Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Kementerian Keuangan, Ken Dwijugiasteadi.
Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Kementerian Keuangan, Ken Dwijugiasteadi.

Liputan6.com, Jakarta Penerimaan pajak ‎pemerintah selalu meleset dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Contohnya, realisasi setoran pajak 2016 hanya tercapai 81,54 persen atau sebesar Rp 1.105 triliun dari patokan APBN Perubahan Rp 1.355 triliun di 2016. Ada beberapa hal yang menyebabkan penerimaan pajak minim meskipun ekonomi Indonesia tumbuh di kisaran 5 persen.

"Kenapa ekonomi tumbuh, tapi pajaknya segitu-segitu saja. Kepatuhan dalam membayar pajak yang per‎lu diperhatikan, karena tax gap naik, berarti kepatuhan sangat rendah," ucap Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Ken Dwijugiasteadi, di gedung DPR, Jakarta, Senin (20/2/2017).

Ken lebih jauh menjelaskan beberapa faktor yang membuat masyarakat Indonesia masih enggan membayar pajak. Pertama, ucap dia, karena masih ada rakyat yang tidak percaya dengan undang-undang di bidang perpajakan. Faktor kedua, tidak percaya dengan petugas pajak.

"Akhir-akhir ini petugas pajak mulai dipercaya, dengan adanya tax amnesty, masyarakat percaya dengan pemerintah, petugas pajak dan UU Pajak," ujarnya.

Faktor ketiga, lanjut Ken, masyarakat enggan bayar pajak karena masih ada orang yang ingin coba-coba tidak membayar pajak. "Kalau ketahuan baru bayar pajak. Kalau tidak, ya tidak bayar. Kenapa? Karena masyarakat tahu Ditjen Pajak tidak punya akses, terutama ke perbankan," ujarnya.

Dia menambahkan, faktor keempat masyarakat ogah membayar pajak lantaran membayar pajak belum menjadi budaya. Ia mengharapkan generasi muda mendatang dapat lebih patuh membayar pajak.

Faktor kelima, Ken mengungkapkan, masyarakat belum patuh membayar pajak karena alasan pengisian Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan (PPh)‎ dinilai ribet. Orang akan membayar pajak apabila mengisi SPT jauh lebih murah.

"Jika di Amerika Serikat (AS), yang masuk 10 dan 40 besar (perusahaan), ngisi SPT bisa sampai 100 halaman tebalnya. Kita cuma dua atau empat lembar dan ini pun kita mau sederhanakan jadi dua lembar supaya gampang," ucapnya.

Ken mengaku, mengisi formulir SPT sangat mudah. Akan tetapi ada satu kolom yang sulit diisi, yakni kolom penghasilan. "Orang kalau mau ngisi kolom penghasilan di SPT, mikirnya lama bisa satu atau dua minggu, bahkan sebulan. Saya pernah mengalami, bukan saya tidak mau ngisi, tapi bill ketinggalan di mana-mana," celetuk dia.

Ken mengakui masyarakat harus mengetahui penggunaan uang pajak. Mengutip data Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Ken bilang, nilai Rp 1 triliun uang pajak dimanfaatkan untuk membangun jalan, infrastruktur lain, dan 20 persen dari APBN digelontorkan untuk pendidikan.

"Uang pendidikan 20 persen dari belanja negara sebesar Rp 2.000 triliun, itu kan berarti Rp 400 triliun. Itu uang dari pajak," tandas Ken. (Fik/Gdn)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya