Pengusaha Nilai Sosok Menteri Jonan Tepat Hadapi Freeport

Kadin mendukung ketegasan pemerintah kepada PT Freeport Indonesia lantaran Freeport mengulur-ulur waktu bangun smelter.

oleh Ilyas Istianur Praditya diperbarui 22 Feb 2017, 10:58 WIB
Diterbitkan 22 Feb 2017, 10:58 WIB
Menteri Jonan Terima Audiensi Daerah Penghasil Migas
Menteri ESDM Ignasius Jonan menerima audiensi Asosiasi Daerah Penghasil Migas terkait Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 37 Th 2016.

Liputan6.com, Jakarta - Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Wilayah Indonesia Timur berharap pemerintah mengelola isu PT Freeport Indonesia dengan baik. Jangan sampai memanasnya hubungan PT Freeport Indonesia dengan pemerintah menjadi kontra produktif dan tidak terukur.

"Isu PT Freeport ini harus dikelola dengan baik, terukur dengan target yang jelas," ujar Wakil Ketua Umum Kadin Kawasan Timur Indonesia H.Andi Rukman Karumpa, Rabu (22/2/2017).

Andi mengatakan, gejolak antara negara dan korporasi besar seperti Freeport lumrah terjadi di mana-mana. Misalnya dulu ada Aramco dengan pemerintah Saudi Arabia. Kemudian, Aramco jatuh ke pangkuan pemerintah Saudi.

Andi mengatakan, pihaknya mendukung ketegasan pemerintah kepada PT Freeport Indonesia. Sebab selama ini, Freeport mengulur-ulur waktu membangun smelter di dalam negeri. Freeport juga terkesan berusaha selalu mendikte pemerintah.

Terlebih saat ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dipimpin oleh sosok Ignasius Jonan yang dianggap tepat dan mampu mengatasi hal ini. "Dia ketemu Menteri Jonan yang keras kepala dan tidak mau didikte," ujar Andi.

Namun Andi mengingatkan agar isu ini dikelola dengan baik. Lantaran puluhan ribu pekerja tambang sudah dirumahkan. Tak hanya itu, jika ini terus berlangsung perekonomian di Papua akan ikut terguncang. Sebab, lebih dari 90 persen produk domestik bruto regional (PDRB) Kabupaten Mimika, sekitar 37 persen PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) Provinsi Papua berasal dari Freeport.

"Saya kira dampak-dampak ekonominya dan politik lokal juga harus dipertimbangkan. Makanya kita harap dikelola dengan baik, ujar Andi.

Sebagaimana diketahui, hubungan dengan pemerintah memanas setelah Freeport mengancam menggugat pemerintah ke Arbitrase Internasional, karena merasa hak-haknya dalam Kontrak Karya (KK) telah dilanggar.

Kemudian Freeport telah menghentikan kegiatan produksinya sejak 10 Februari 2017 lalu, karena tak bisa mengekspor konsentrat tembaga. Pangkal masalahnya, Freeport membutuhkan kepastian dan stabilitas untuk investasi jangka panjangnya di Tambang Grasberg, Papua. Sedangkan pemerintah menginginkan kendali yang lebih kuat atas kekayaan sumber daya mineral.

Pada 10 Februari 2017 lalu, pemerintah telah menyodorkan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) kepada Freeport sebagai pengganti Kontrak Karya (KK). Jika tak mau menerima IUPK, Freeport tak bisa mengekspor konsentrat tembaga, kegiatan operasi dan produksi di Tambang Grasberg pasti terganggu. Posisi pemerintah sebagai pemberi izin kini menjadi lebih kuat daripada korporasi sebagai pemegang izin.

KK memposisikan pemerintah dan Freeport sebagai dua pihak yang berkontrak dengan posisi setara. Ini adalah langkah pemerintah untuk memperkuat penguasan negara terhadap kekayaan alam. Tapi Freeport tak mau begitu saja mengubah KK-nya menjadi IUPK. Sebab, IUPK dinilai tak memberikan kepastian, pajaknya bisa berubah mengikuti aturan perpajakan yang berlaku (prevailing), tak seperti KK yang pajaknya tak akan berubah hingga masa kontrak berakhir. (Yas)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya