Menelusuri Jejak Freeport Keruk Emas di Tanah Papua

Tujuh puluh sembilan tahun yang lalu, tim ekspedisi Pemerintah Hindia Belanda yang dilakukan oleh Jean Jacques Doz masuk ke tanah Papua.

oleh Vina A Muliana diperbarui 20 Feb 2017, 12:23 WIB
Diterbitkan 20 Feb 2017, 12:23 WIB
Freeport Indonesia (AFP Photo)
Freeport Indonesia (AFP Photo)

Liputan6.com, Jakarta Tanah Papua menyimpan banyak sumber daya. Tak hanya keindahan alam, di dalam tanah Papua juga tersimpan mineral yang berlimpah. Maka tak heran jika saat ini di tanah tersebut berdiri salah satu tambang terbesar di dunia. 

Adanya tambang di Papua tersebut mempunyai kisah tersendiri. Tujuh puluh sembilan tahun yang lalu tepatnya 5 Desember 1936, tim ekspedisi Pemerintah Hindia Belanda yang dilakukan oleh Jean Jacques Dozy menemukan cadangan mineral yang disebut Ertsberg atau Gunung Bijih. Hal inilah yang menjadi titik awal keberadaan Freeport di Indonesia.

Mengutip Aljazeera.com, Senin (20/12/2017), ekspedisi yang dilakukan oleh Jean Jacques Body kemudian diabadikannya dalam sebuah laporan. Tulisan tersebut kemudian dibaca oleh Forbes Wilson yang memiliki posisi sebagai Direktur Freeport Sulphur, sebuah perusahaan tambang yang tengah berada di jurang kebangkrutan.

Forbes Wilson sangat tertarik dengan temuan yang dilakukan oleh Dozy. Dari sana Wilson mengendus kekayaan bumi Papua, ia pun yakin bahwa gunung bijih tersebut bisa menjadi cara ampuh membawa perusahaannya keluar dari kebangkrutan.

Wilson dan rombongannya akhirnya melakukan kunjungan ke papua pada Februari 1960 sesuai apa yang ditulis Dozy. Rombongan ekspedisi ini dibantu oleh suku setempat untuk menjelajahi wilayah pegunungan itu.

Saat mencapai Erstberg, dia terperanjat dengan hamparan bijih tembaga di atas permukaan tanah. Sebuah batuan hitam kokoh dengan kandungan tembaga menjulang 180 meter di atas permukaan tanah di ketinggian 3.600 meter di atas permukaan laut. 

Ternyata, wilayah tersebut tak hanya menyimpan mineral tembaga. Daerah di ujung barat Indonesia tersebut justru banyak menyimpan logam mulia emas. 

Mendapat kontrak dengan Pemerintah Indonesia

Pimpinan Freeport begitu gembira dengan kemungkinan keuntungan bakal diperoleh apabila mampu menambang lokasi tersebut. Mereka pun langsung mencoba untuk bernegosiasi dengan pemerintah Indonesia.

Namun, saat proyek tambang akan dimulai, hubungan Belanda dan Indonesia kian memanas memperebutkan Irian Barat. Singkat cerita, pihak Freeport baru berhasil mendapat kontrak di bawah pemerintahan Presiden Soeharto.

Melansir New York Times, kala itu pada 1967 kondisi ekonomi Indonesia belum begitu kuat, Soeharto sebagai pemegang kekuasaan melakukan berbagai terobosan untuk mendongkrak perekonomian. Salah satunya mengizinkan masuknya investasi asing.

Menteri Pertambangan Slamet Bratanata menandatangani Kontrak Karya pertama untuk masa 30 tahun. Lewat kontrak ini PT Freeport Indonesia menjadi kontraktor ekslusif Tambang Ertsberg seluas 10 kilometer persegi.

Pada 1980, Freeport juga menggandeng McMoran milik Jim Bob Moffet untuk bekerja sama dengannya mengeruk gunung emas di Papua. Bob pun akhirnya menjadi Presiden Freeport McMoran.

Dikutip dari mining.com, produksi pertama dari tambang terbuka dilakukan 43 tahun silam. Eksploitasi cadangan tembaga dan emas mencapai puncaknya pada 2001. Tambang Grasberg mampu mencapai kapasitas produksi hingga mencapai 238 ribu ton per hari.

Tambang modern dengan sistem kontrol satu titik mampu mengawasi areal tambang seluas 10.000 hektare dengan wilayah pendukung 202 ribu hektare, termasuk Pelabuhan Amamapare di hilir Timika.

Tambang Grasberg dan Ekspansi Lokasi Bawah Tanah

Tambang Grasberg adalah tambang emas yang terbesar di dunia dan tambang tembaga ketiga terbesar dunia yang merupakan milik dari PT Freeport Indonesia. Di tambang ini terdapat cadangan emas sebesar 25,8 juta ounce dan tembaga sebanyak 26,9 miliar pounds. Di tahun 2011, Freeport memproduksi 1,44 juta ounce emas.

Selain tambang terbuka (open pit), Freeport juga memiliki tambang bawah tanah yang terletak di bawah Grasberg. Hasil survei dan penelitian, ditemukan potensi mineral di bawah tanah, sehingga Freeport harus melakukan ekspansi ke lokasi tersebut.

Ada 5 tambang bawah tanah, yaitu Grasberg Block Cave, Kucing Liar, Big Gossan, DMLZ, dan DOZ. Proyek itu disebut-sebut bakal jadi penambangan bawah tanah terbesar di dunia.

Total panjang dari terowongan bawah tanah tersebut mencapai 450 km. Suhu udara yang ada di dalam tambang cukup dingin sekitar 15-16 derajat celcius. 

Sepanjang terowongan bawah tanah di kedalaman 1-2 kilometer, terdapat pipa-pipa besar, instalasi listrik, air dan infrastruktur pendukung lainnya. Pihak Freeport telah membuat semacam sumur besar untuk penampungan bahan mineral dan dialirkan ke atas permukaan tanah dengan mesin sejenis conveyor belt sepanjang 8 kilometer.

Seperti dilaporkan Fox Business, Freeport telah menanamkan investasi awal sebesar US$ 4 miliar, dari total US$ 17 miliar untuk membangun infrastruktur penambangan bawah tanah, meliputi akses jalan, teknologi pembersih udara, air dan listrik serta sistem pemadaman api dan keselamatan pekerja.

Di luar itu, total investasi yang telah dikeluarkan Freeport hingga 2013 mencapai US$ 10 miliar untuk membangun pabrik, pelabuhan, bandara, infrastruktur jalan, pembangkit listrik hingga pengolahan limbah.

Masa Depan Freeport

Baru-baru ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menerbitkan aturan baru yaitu Peraturan Menteri No 1 tahun 2017 soal mineral logam, meski tetap berpegang teguh pada aturan sebelumnya yaitu UU Mineral dan Batu Bara no 4 tahun 2009.

Melalui aturan tersebut, perusahaan tambang boleh mengubah statusnya dari Kontrak Karya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) jika belum membangun smelter sebagai syarat hilirisasi namun tetap ingin melakukan ekspor konsentrat.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan mengatakan, pemegang Kontrak Karya dapat melanjutkan usahanya seperti sedia kala dan tidak wajib mengubah perjanjian menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), sepanjang pemegang Kontrak Karya tersebut melakukan pengolahan dan pemurnian (hilirisasi) dalam jangka waktu 5 tahun sejak UU Minerba 4/2009 diundangkan (pasal 169 dan pasal 170).

Namun PT Freeport Indonesia dikabarkan menolak perubahan KK menjadi IUPK. Menurut Jonan, Freeport telah mengajukan rekomendasi ekspor dan disetujui pemerintah. 

"Saya berharap kabar tersebut tidak benar karena pemerintah mendorong Freeport agar tetap melanjutkan usahanya dengan baik, sambil merundingkan persyaratan-persyaratan stabilisasi investasi, termasuk perpanjangan izin, yang akan dikoordinasikan Ditjen Minerba Kementerian ESDM, Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu dan BKPM," katanya.

Jonan juga berharap Freeport tidak alergi dengan divestasi hingga 51 persen sesuai tercantum dalam KK pertama antara Freeport dan Pemerintah Indonesia dan juga ditegaskan dalam PP Nomor 1 tahun 2017.

"Divestasi 51 persen adalah aspirasi rakyat Indonesia yang ditegaskan Bapak Presiden agar Freeport dapat bermitra dengan pemerintah sehingga jaminan kelangsungan usaha dapat berjalan dengan baik dan rakyat Indonesia serta Papua khususnya juga ikut menikmati sebagai pemilik tambang emas dan tembaga terbesar di Indonesia," ujarnya.

Mundurnya Presiden Direktur dan arbitrase

Presiden Direktur PT Freeport Indonesia (PTFI) Chappy Hakim resmi mengundurkan diri dari jabatannya. Chappy sudah mengajukan surat secara resmi yang menunjukkan pengunduran dirinya.

Dalam siaran pers resmi yang dikeluarkan Freeport, disebutkan bahwa Chappy telah mengundurkan diri dan kembali menjadi penasihat perusahaan.

"PT Freeport Indonesia (PTFI) hari ini mengumumkan bahwa Chappy Hakim akan mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Presiden Direktur dan kembali ke posisinya semula sebagai penasihat perusahaan," tulis keterangan tersebut.

Dalam masa kerja tiga bulan, beberapa masalah menghimpit Chappy. Antara lain soal pembangunan smelter (sarana pengolahan mineral), divestasi saham PTFI, izin ekspor mineral, hingga polemiknya dengan Mukhtar Tompo, anggota Komisi Pertambangan asal Fraksi Hanura.

Empat masalah di atas memang berkelindan. Sebagai perusahaan dengan status Kontrak Karya (KK) PTFI wajib membangun smelter. Masalah smelter ini juga menjadi pemicu adu mulut Chappy dengan Mukhtar Tompo.

Lebih lanjut, PTFI dikabarkan akan menggugat ke ke Badan Arbitrase Internasional akibat menolak rekomendasi ekspor yang diajukan pemerintah.  Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan mengatakan bahwa masalah ini dapat  berdampak kurang baik untuk hubungan kemitraan.

Walau begitu, Jonan menilai langkah arbitrase ini dinilai jauh lebih baik daripada selalu menggunakan isu pemecatan pegawai sebagai alat menekan Pemerintah. (Vna/Gdn)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya